webnovel

1

Mereka melakukan tes psikologi lagi diakhir bulan seperti biasanya. Tapi, kali ini sangat aneh karena hanya lembaran soal milikku yang memiliki pertanyaan berbeda. Aku ingin mempertanyakan hal ini pada wali kelas. Anehnya wali kelas tengah tak hadir ke sekolah dengan alasan menjenguk orang tuanya yang sakit. Sebenarnya aku tak keberatan soal milikku berberbeda dengan siswa lainnya dalam ruangan ini. Hanya saja, soal ini tidak memiliki nilai positif untuk dijawab oleh orang normal dan aku kebingungan untuk menjawabnya atau tidak.

'Jika aku normal, aku akan menjawabnya tanpa protes dan menganggap ini biasa-biasa saja', itulah yang kupikirkan. Tapi, bagaimana menjawabnya agar memiliki poin normal?

Ini pertama kalinya aku harus berpikir agar terlihat sama seperti siswa enam belas tahun pada umumnya. Waktu mulai terasa berjalan begitu cepat dan aku hanya menyisakan satu soal yang belum terjawab. Soal ini menguras banyak waktuku karena pertanyaan anehnya. Bisa kau jawab jika soal ini menanyakan, 'apa yang akan kamu lakukan jika terjebak bersama seseorang dalam situasi satu orang harus mati', dan hanya ada dua pilihan di sini yaitu, 'bunuh diri atau membunuh'.

Kedua pilihan itu seperti memberitahu kalau aku terjebak dengan seseorang yang tidak bisa membunuh dan salah seorang dari kami harus mati. Bagi orang normal, membunuh adalah hal yang menakutkan dan bunuh diri adalah sikap keputus asaan. Kedua-duanya sama-sama sebuah dosa besar dan bukan pilihan yang benar. Tapi, membunuh bisa dilakukan untuk sebuah pembelaan diri, tapi seseorang itu tidak mengancam bagiku. Sepertinya memilih membunuh adalah pilihan yang wajar karena manusia itu egois. Dan lagi karena terdesak ingin selamat, tentu saja orang normal akan memilih membunuh karena insting alaminya.

Setelah bel sekolah berbunyi dan semua kertas soal tes psikologi dikumpulkan, semua siswa pergi ke kantin untuk makan siang, sedangkan aku lebih memilih duduk di loteng sekolah untuk menghirup udara segar dan kembali memikirkan semua jawaban tes psikologiku.

"Terjebak dengan seseorang yang tidak bisa membunuh", gumamku kembali memikirkan kalimat itu. Mataku terbelalak kaget saat sebuah pikiran terlintas dalam otakku.

Tentu saja orang itu tidak bisa membunuhku, karena seseorang yang dimaksud soal itu adalah orang yang memiliki perasaan atau hubungan denganku. Bahaya, aku menunjukkan sikap serakahku karena terlalu memikirkan diriku sendiri. Sepertinya nilai tes psikologiku tidak akan sempurna seperti sebelumnya. Ya sudahlah, itu hanya satu soal dan bukan semuanya.

Lima hari setelah tes psikologi itu, mereka mengumumkan nilainya lebih cepat dari biasanya, yang biasanya akan diumumkan seminggu setelah tesnya. Siswa-siswa yang antusias untuk melihat hasil kesehatan mental mereka menggerumbungi papan mading dengan ricuh. Begitu pun denganku yang juga tertarik dengan hasil milikku, aku mendekat ke keramaian dan mencari namaku di daftar nama paling atas, karena selalu mendapat poin terbaik. Nihil, tak ada namaku dalam sepuluh nilai tes psikologi terbaik di sana. Apa mereka lupa menaruh namaku?

"Kau mencari namamu?", tanya salah seorang perempuan yang tak kukenal namun mengenakan seragam yang sama dengan siswa satu angkatan denganku sekarang. Aku memang tidak pernah mengingat nama dan wajah siswa yang satu angkatan atau sekolah denganku karena jumlah mereka sangat banyak.

"Milikmu berada di garis paling akhir, mereka mewarnainya dengan polpen merah", jawab perempuan itu. Mataku melotot tak percaya melihat nilai yang tertera pada tes psikologiku. Bisikan-bisikan siswa mulai tertuju padaku, bahkan aku dapat menebak tatapan jijik dan sinis dari mereka. Mereka membohongiku kan?

"Apa selama ini dia merekayasa nilai tes psikologinya",~

"Entahlah, kudengar orang tuanya pernah mendapat riwayat rumah sakit jiwa",~

"Apa dia juga tidak waras?",~

"Kau yakin dia pernah meminum obat penenang?",~

Hentikan! Kenapa telingaku memanas? Aku harus menanyakan ini pada guru badan konsuling sekolah. Cepat, aku pergi ke kantor guru dan mencari guru badan konsuling. Seorang guru olah raga menghampiriku saat melihatku berdiri di depan pintu kantor.

"Ah kebetulan kau ada di sini, mereka salah dalam menyusun data tes psikologinya. Kau akan mengulang tes psikologi di psikiater. Ibu Lya sudah mengurusnya dan menitipkan ini padamu", ucapnya sambil memberikanku sebuah jadwal ke psikiater. Aku hanya mengangguk paham dan pamit untuk pergi karena tersisa setengah jam ke tempat psikiater. Apa ibu Lya sudah meminta izin orang tuaku untukku pergi ke psikiater?

Aku tidak terlalu memperdulikan itu dan tetap pergi ke alamat yang tertulis pada catatan dari ibu Lya. Sesampainya memasuki ruang tunggu rumah sakit, aku duduk sendirian di kursi tunggu karena tempat ini sangat sepi dan hanya ada resepsionis dan beberapa perawat yang berlalu-lalang.

Tak lama setelah aku memberikan catatan milikku ke perawat, namaku dipanggil untuk memasuki ruangan. Pertama memasuki ruangan ini, mataku tertuju pada dinding di mana aku akan duduk menghadap ke mana. Sekilas, aku melirik sekitar dan dengan santai duduk di depan seorang wanita di depanku tanpa meminta izin darinya.

"Kau tidak mau berbaring di sana?", tawar wanita itu.

"Tidak, aku hanya akan menjalani tes psikologi seperti biasa", jawabku seramah mungkin. Wanita itu mengangguk mengerti dan mengambil kertas dari dalam laci meja, menyodorkannya ke arahku.

"Isilah dengan jujur", ucapnya sebelum berlalu meninggalkanku keluar dari ruangan ini. Entah apa yang dia lakukan, aku tidak peduli. Cepat, aku mengambil polpen dari dalam tasku dan membuka lembaran soal tes psikologi. Mataku terbelalak melihat soal yang sama dengan kemarin di depanku. Apa mereka bercanda?

Sudah dua jam aku duduk dengan kepala yang panas karena berpikir. Wanita itu kembali dan menghampiriku, dengan segelas kopi yang baru saja diletakkannya di atas meja. Dia melirik ke arah lembar jawaban milikku yang tak terisi satu pun dan mengernyitkan alisnya tak mengerti.

"Apa ada yang salah?", tanya wanita kebingungan. Apa sebaiknya aku menanyakan ini? Tapi, jika perempuan ini juga sudah mengetahui tentang soal ini akan diberikan lagi padaku, itu artinya dia tengah dibayar seseorang kan. Tapi, untuk apa?

"Begini-" ucapanku terhenti karena sengaja menyenggol gelas kopinya hingga tumpah dan membasahi soal psikologi milikku.

"Maaf", panikku sambil membantunya memindahkan beberapa buku agar tidak terkena air kopi.

"Tidak apa-apa. Aku akan mengambilkan soal baru untukmu", jawab wanita itu dan berlalu mengambilkan kertas soal untukku. Dengan begini aku bisa memastikannya.

Mataku terbelalak saat membuka isi soal itu. Lagi? Soal ini sama seperti yang tadi ditumpahi kopi. Sepertinya aku harus menanyakan ini pada wanita di depanku.

"Maaf, apa aku boleh tahu siapa yang membuat soal ini?", tanyaku penasaran. Wanita itu terlihat malas membahasnya, tapi dibuangnya jauh-jauh perasaan itu untuk membuatku merasa nyaman di sini.

"Menteri kesehatan, mereka baru saja memperbaruinya kemarin", jawab perempuan itu, membuatku tersenyum miris. Kenapa hanya soal milikku yang berbeda? Tapi, guru olah raga itu bulang mereka salah dalam menyusun data tes psikologiku. Mungkin jawaban milikku benar semua.

Aku kembali menjawab kertas soal itu dengan jawaban yang sama seperti tes sebelumnya dan menyerahkannya pada wanita itu.

"Hasilnya akan keluar besok, kau boleh pulang", ucap wanita itu.

"Tentang jam dinding dalam ruangan ini, itu bukan posisi yang tepat karena akan membuat pasien terburu-buru", ucapku sebelum berlalu keluar dan pulang ke rumah dengan menaiki bus umum seperti biasa.

Disepanjang jalan aku merasakan sesuatu yang janggal, tapi tidak tahu apa itu. Mungkin, aku terlalu menganggap soal yang berbeda itu. Bisa saja lembaran soal itu habis dan mereka menambahkan yang baru kan? Tapi, bukankah mereka bisa mencetak soalnya lagi? Aku bersandar pada tiang halte bus sambil memijit kepalaku pusing.

"Kau lihat pengumumannya? Nilainya berada di garis paling bawah",~

Anak sekolah menengah atas sebelah sekolahku kah? Siapa yang tengah mereka bicarakan? Aku memperhatikan ke arah mana mereka berbicara dan menemukan perempuan memakai pakaian yang sama dengan mereka tengah berdiri menyendiri di sudut halte bus.

"Ya, aku tidak menyangka orang secerdas dirinya memiliki kelainan mental",~

"Aku yakin selama ini dia menyembunyikan sakit jiwanya untuk disukai semua orang"~

Dasar perempuan, mereka selalu membicarakan sesuatu tanpa mengetahui kebenarannya. Kenyataan yang memuakkan memang.

Tak lama sebuah bus singgah di depan halte bus ini, dan semua orang terburu-buru naik karena hari sudah semakin gelap. Setelah aku duduk di kursi dekat jendela, seorang perempuan yang tadi dibicarakan oleh orang satu sekolahnya menghampiriku.

"Bolehkah?", tanyanya hendak duduk di sampingku. Aku hanya mengangguk, karena menebak semua kursi bus sudah penuh. Dia duduk di sampingku dan membuka buku kecil yang tidak kuketahui karena menyibukkan diriku dengan ponsel. Karena sedikit penasaran, aku melirik ke arah perempuan yang duduk di sampingku.

Sebagai anak sekolah menengah biasa, dia orang yang berkecukupan dilihat dari sepatunya. Lalu, buku di tangannya, apa-apaan judul buku itu? Isinya bukan hal yang seharusnya anak tujuh belas tahun baca. Aku bingung dengan dengan sampul buku yang memiliki judul berbeda dengan isi yang dibacanya. Dia memang tidak waras. Ya sudahlah, lagi pula itu bukan urusanku. Sampai bus ini berhenti di halte berikutnya, aku bangkit dari dudukku hendak keluar.

"Mereka sudah mengulang tesnya bukan? Kau tidak perlu cemas jika ketahuan", ucapku pada perempuan itu sebelum keluar dari bus. Dia menampilkan senyuman mirisnya padaku di balik kaca bus dan berlalu dibawa bus yang mulai melaju. Sepertinya ucapanku cukup kasar untuk menghibur seseorang.

Saat aku memasuki rumah, ibu tiba-tiba memelukku dengan erat sambil menangis. Sedangkan ayah masih diam di tempat dengan wajah sendunya. Ada apa ini?

"Syukurlah kau baik-baik saja", ucap ibu dengan lirih.

"Ada apa? Apa kalian tengah bercanda?", tanyaku karena kebingungan. Ibu melepas pelukannya dan menangkup kedua wajahku.

"Ibu baru saja mendapat hasil tes psikologimu dari sekolah, tak ada kesalahan dalam penyusunan data tes psikologimu", jawab ibu. Tidak ada kesalahan? Jadi, aku mengulang kesalahan yang sama?

Aku terduduk di lantai dengan keringat dingin. Bukankah aku sudah menjawabnya dengan pemikiran normal? Apa mereka mencoba menjebakku? Tapi, siapa?

Aku berlari ke kamar, menghiraukan panggilan ibu dan mengunci pintu. Aku merebahkan diriku di atas kasur, sambil mendengar ketukan dan bujukan dari ibu untuk membuka pintu. Tangisnya yang terlihat khawatir padaku dan wajah ayah yang pucat pasi karena ketakutan. Jika hasil tes kedua ini sama, aku akan minta untuk menjalani rehabilitas sakit jiwa. Sangat merepotkan!

Aku melepaskan semua pakaianku dan masuk ke dalam kamar mandi setelah suara ibu dan langkah ayah pergi dari kamarku. Aku mengguyur kepalaku di bawah shower yang menyala. Mengosongkan kepalaku dengan air beku yang membasahi seluruh badanku. Aku tidak bisa berpikir untuk keluar dari masalah ini, karena terlalu lama bermalas-malasan. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku memakai baju lengan panjang dan celana selutut setelah keluar dari kamar mandi, lalu membaringkan diriku di atas kasur. Rasanya sangat melelahkan dengan banyak pemikiran seperti ini. Bahkan otakku tak henti-hentinya mengkosumsi lebih banyak pertanyaan lainnya.

Ibu kembali mengetuk pintu mengajakku makan malam, tapi aku menghiraukannya dan memilih bermain game pada komputerku. Sesekali, aku mengecek media sosial milikku yang akhir-akhir ini penuh dengan pesan perempuan dari sekolahku. Mereka sangat membosankan dan tidak menarik. Aku kembali berbaring di kasurku dan menatap langit-langit kamar yang gelap karena tidak kunyalakan lampunya.

Aku terjaga sepanjang malam dengan lingkaran hitam yang semakin membesar. Saat suara mesin mobil yang berhenti di depan rumahku, aku turun dari kasur dan melihat ke luar jendela. Seorang wanita dan tiga orang pria keluar dari mobil itu mengetuk rumahku. Wanita itu, dia adalah orang yang kemarin mengecek tes psikologiku. Mau apa dia datang ke sini? Sebaiknya aku turun ke bawah untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

Aku menyelinap ke bawah dan bersembunyi di sudut ruangan menunggu wanita itu bicara dengan kedua orang tuaku yang memintanya masuk ke rumah.

"Kemarin, sekolah meminta pengulangan tes psikologi anak ibu dan tak ada kesalahan pada data itu", ucap wanita itu, memulai pembicaraan. Ibuku diam dengan wajah terlihat sendu.

"Kami akan melakukan rehabilitas jika bapak atau ibu menyetujuinya", tambah perempuan itu lagi. Ibu tak bisa menahan tangisnya dan menyembunyikannya dengan memeluk ayah.

"Saya akan menyetujuinya", ucap ayah membuatku membeku di tempat. Kenapa ayah menyetujui begitu cepat? Aku keluar dari persembunyianku, menghampiri mereka untuk membela diriku. Padahal aku tahu ini tidak akan berhasil, karena kabur adalah solusi paling tepat untuk selamat dari mereka.

"Ibu! Aku tidak sakit jiwa seperti yang mereka bilang! Tesnya saja yang salah! Mereka tidak memberikan soal yang sama seperti temanku yang lain", ucapku. Ibu menatap wajahku dengan mata sayunya, dan menundukkan kepalanya.

"Maaf, ini untuk kebaikanmu", ucap ibu, membuatku membeku di tempat dengan kepala yang mulai terasa pecah. Tapi, kenapa?

"Kami akan membawamu ke rumah sakit untuk rehabilitas", ucap wanita itu, membuyarkan lamunanku. Seharusnya aku kabur dari sini sebelum mereka membawaku. Tapi, itu hanya akan memperburuk keadaan walau terlihat wajar. Sebaiknya aku ikut mereka untuk tahu siapa yang menjebakku seperti ini, toh mereka akan menangkapku juga. Tidak, aku akan melakukannya dengan wajar.

"Aku tidak akan ikut kalian!", marahku dan berlari keluar rumah dengan telanjang kaki. Tapi, usahaku sia-sia karena dua orang pria yang lebih besar dariku menangkap lengan bajuku dan menyeretku ke arah mobil. Seperti yang kuperkirakan, aku melanjutkan aksi terbilang lebay ini dengan memberontak seperti orang tak berdaya. Aku muak melakukan drama ini hanya untuk meyakinkan mereka kalau aku normal.

Dan akhirnya, aku duduk dalam mobil, diapit oleh kedua pria yang tadi mengejarku. Wanita itu duduk di depan dengan seorang pria yang menyupir mobil ini. Dia menengok ke arahku saat bercermin dengan cermin bedaknya.

"Kau tidak perlu bersikap seperti itu untuk terlihat wajar, itu sangat berlebihan", sinis perempuan itu. Entah kenapa, aku mulai membencinya saat itu.