Ziko membuka jas hitam yang menutupi kemeja biru navy. Merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan kepala yang bertumpu di tangan.
"Masih tak ingin pulang? Abang lelah, ingin tidur," kata Ziko.
Entah harus dengan cara apa lagi agar Zelin mau pulang. Ziko benar-benar tidak memiliki tenaga kalau harus meladeni pikiran-pikiran adiknya yang tak sejalan dengan dirinya. Dia bahkan hampir kehilangan kesabaran dalam menghadapi sikap adiknya hari ini.
"Apa yang terjadi pada Papa dan Mama? Kenapa aturan tak tertulis yang memberatkan ini harus hadir tiba-tiba?" tanya Ziko dalam hati.
Peraturan macam apa itu? Hanya sebuah peraturan yang dapat merampas hak orang lain untuk bahagia. Apa orang tua mereka lupa bahwa saat ini abad kedua puluh satu bukan abad ke tujuh belas saat berdirinya VOC.
"Aku tidak akan pulang sampai Abang menerima tawaranku," kata Zelin menantang.
"Kita bicarakan di rumah. Aku benar-benar lelah," jawab Ziko lembut.
"Aku ingin kita bicara sekarang juga! Akan ku cari wanita yang pantas untuk mendampingi Abang," kata Zelin dengan suara meninggi.
Ziko membuka matanya. Melirik Zelin dengan tatapan jengah. "Kamu, benar-benar menghabiskan stok sabar yang Abang miliki hari ini, Zelin. Katakan apa maumu yang sebenar?" tanya Ziko.
Sebelum Zelin dan Yhosan datang, Ziko baru saja menyelesaikan masalah penyelundupan dana perusahaan yang mengakibatkan orang asisten pribadinya. Lalu sekarang ada masalah baru yang timbul.
"Abang, juga sudah menghabiskan stok sabar yang Zelin punya! Zelin hanya ingin Abang menikah! Bukan karena setelah Abang menikah maka, Zelin juga bisa menikah bukan karena itu! Karena Zelin mau melihat Abang bahagia."
Zelin berkata dengan sepenuh hati meski setiap intonasi terdengar tinggi dan penuh penekanan. Eemm .... maksudnya mendalami peran sepenuh hati. Sebab diia memang harus sedikit berakting agar bisa mendapatkan persetujuan.
"Bahagia yang Abang rasakan bukan soal menikah, Zelin. Melihat kamu bahagia saja sudah bisa membuat Abang bahagia."
Deg!
Hati Zelin tersentuh mendengar penuturan Abangnya. Dia tahu bahwa kasih sayang Ziko pada dirinya tak perlu diragukan lagi.
"Kalau, Zelin katakan kebahagiaan Zelin ada pada saat Abang menikah. Apa, Abang mau menikah?" tanya Zelin pelan.
Andai tidak ada aturan itu. Pasti saat ini Zelin tidak sedang bertengkar dengan Ziko. Lalu tadi, Zelin dan Yhosan juga sudah menyetujui aturan tersebut. Sehingga yang mereka bisa lakukan sekarang hanyalah merayu dan membujuk Ziko untuk mau mengenal seorang wanita terlebih dahulu.
Zelin Dan Yhosan paham bahwa ini bukanlah sebuah hal yang muda. Dan mereka juga sudah setuju untuk melakukan semua ini.
"Tapi, Abang benar-benar tidak ingin menikah, Zelin!" kata Arya penuh penegasan.
"Hanya karena wanita merepotkan dan selalu menghabiskan uang?" tanya Zelin memastikan.
Ziko diam. Dia sama sekali tidak mampu menjawab. Sebab yang dikatakan Zelin bukanlah alasan utama. Ada seorang wanita yang telah mengisi hatinya.
Namun, perbedaan kasta membuat Ziko berfikir. Keluarganya tak mungkin mau menerima wanita itu dan nanti bukan hanya dirinya yang tersakiti tapi wanita yang dia cintai juga akan tersakiti.
"Kenapa Abang diam?" tanya Zelin.
Wanita ini memang tidak akan pernah tenang sebelum mendapatkan yang dia mau. Tanpa henti bertanya dan mencari informasi sampai hatinya bisa menerima.
"Pulanglah dan kita selesaikan semua ini di rumah," kata Ziko sekali lagi dengan harapan Zelin mau pulang kali ini.
Melihat kondisi yang sudah tidak kondusif dan raut wajah Ziko tidak bisa dikondisikan lagi. Daripada terjadi perang keluarga lebih baik Zelin pulang saja.
"Huum, baiklah." Zelin berkata dengan tidak semangat.
Namun, bukan Zelin Wiraguna namanya kalau dia tidak memiliki seribu satu cara. Meskipun saat ini dia mengalah, tapi ada sebuah cara yang akan dia lakukan setalah ini.
Pasangan kekasih itu akhirnya pulang. Meski belum mendapatkan keputusan, tapi mereka berdua tidak akan menyerah. Masih ada nanti malam dan seribu cara lainnya.
"Dasar bujang lapuk! Bisa-bisanya dia berpikir untuk tidak menikah. Apa tak ingin merasakan kenikmatan duniawi?" gerutu Zelin sambil membuka kasar pintu mobil milik Yhosan.
Sepanjang jalan dari ruangan Ziko menuju parkiran, Zelin selalu saja menggerutu tidak jelas. Sampai membuat Yhosan menarik nafas berkali-kali agar emosinya juga tidak ikut terpancing.
Feeling Yhosan sebelum datang ketempat ini ternyata benar. Ziko memang sulit diajak berbicara apalagi bekerjasama mengenai wanita. Padahal ini bukan untuk kepentingan pribadi, tapi juga masa depan dan generasi penerus keluarga mereka.
Yhosan sekali lagi mencoba untuk mengatur nafasnya. Disaat seperti ini, dia tak boleh ikut larut dalam emosi. Meski dia sendiri bingung bagaimana cara untuk menjelaskan pada orang tuanya mengenai pengunduran pernikahannya dan Zelin.
Saat Yhosan mengatakan kalau dirinya sudah melamar Zelin membuat orang tuanya sangat bahagia dan menginginkan hari pernikahan mereka dilaksanakan secepatnya. Namun, ternyata ada halangan besar yang menimpa mereka.
"Sayang, kamu laki-laki bukan?" tanya Zelin saat mereka berdua sudah berada didalam mobil.
Sontak saja pertanyaan itu membuat Yhosan membulatkan matanya sempurna. Dia sungguh tidak percaya dengan apa yang dipertahankannya kekasihnya itu.
"Memangnya selama ini, aku wanita?" Yhosan balik bertanya.
Zelin menatap Yhosan dengan tatapan mata menyelidik. Kalau dilihat dari atas sampai bawah, kekasihnya ini adalah seorang pria sejati.
Memiliki bentuk tubuh yang bidang. Perut kotak-kotak idaman kaum hawa. Rahang yang terpatri sempurna, suara bariton yang begitu merdu di telinga Zelin. Sudah pasti kalau Yhosanio adalah laki-laki tulen.
"Ah, sudahlah. Lupakan saja! Aku yakin jika kamu adalah laki-laki sungguhan," kata Zelin mengibaskan tangannya ke udara.
"Sepertinya, kamu sedang tidak sehat. Apa kita perlu membuat janji bertemu dengan psikolog?" tanya Yhosan serius.
Sontak saja mata Zelin membulat sempurna. Kulit pipinya yang putih tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus akibat kesal dengan perkataan Yhosan.
"Kamu menuduhku sudah tidak waras lagi?" tanya Zelin serius.
Yhosan yang mendapat tatapan seperti itu menjadi mati kutu. "Bu–bukan begitu maksudnya. Aku ... aku hanya ..." Yhosan berkata terbata-bata, dia bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Hanya apa?" tanya Zelin mendesak. "Ayo jawab," lanjutnya.
Yhosan tak mampu menjawab dan hanya bisa melihat ke sekeliling dengan tatapan permohonan. Berharap ada seseorang di luar dan dia mendapat cara untuk menghindar dari percakapan ini.
"Dua puluh detik, aku sudah menunggu kelanjutan kalimat itu. Dasar laki-laki! Kalian semua sama saja." Zelin memalingkan wajahnya dari Yhosan.
Yhosan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kenapa sejak tadi kami masih berada di basement?" tanya Yhosan dalam hati pada dirinya sendiri. "Aku merasakan sesak yang begitu dalam. Sepertinya riwayat ku akan tamat hari ini," sambungnya.
"Apa yang ada didalam pikiranmu ini ha?!" tanya Zelin mengarahkan telunjuknya ke kening Yhosan.
"Aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya sebuah cara untuk membuat Bang Ziko mau berkenalan dengan wanita," kata Yhosan tiba-tiba.
"Jangan bohong! Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Psikolog!" kata Zelin.
Emosi wanita ini sepertinya benar-benar diluar batas. Rencana pernikahan yang telah dia impikan gagal begitu saja akibat peraturan aneh. Membuat Zelin tak mampu menguasai emosinya sendiri.
"Eemm sebaiknya aku nyalakan mesin mobil dulu. Kita harus mendapatkan asupan udara segar agar bisa berbicara dari hati ke hati," kata Yhosan memberi saran.