.
.
.
.
Pagi ini terlihat lebih cerah dibanding pagi yang lain. Terlihat dari bagaimana kerlip hias lampu terlihat di berbagai sudut rumah yang nampak begitu hangat itu. Rumah Nagarjuna hari ini terlihat berkali lipat lebih hidup dan bahagia selalu terpatri di wajah para penghuninya.
Jagaddhitta Nagarjuna sang ratu pemilik rumah dengan gesit berjalan kesana kemari demi menyiapkan berbagai perlengkapan untuk memberi kejutan pada sang suami, Wayan Nagarjuna. Berbagai makanan disiapkannya, membawa tawa bahagia bagi para asisten yang membantu pekerjaan yang cukup melelahkan itu.
Sedang dua pangeran kecilnya, Hara dan Narel bersama kikikan tawa menyenangkan bermain di tengah pekerjaan bersama puluhan balon yang disiapkan. Dhita tak pernah merasa seringan ini, membayangkan bagaimana respon Wayan melihat semua kejutan yang khusus disiapkan untuknya. Kedua pangerannya terlihat bahagia, kendati mereka tampak belum memahami maksud apa dari semua persiapan ini.
"Mama kuenya kelihatan enak. Apa Narel boleh coba?"
Narel kecil dengan perjap lucu memandang takjub pada tumpukan kue berkrim putih tinggi di hadapannya. Mengundang gemas pada siapapun yang ada di sekitarnya. Hingga ketika jari kecilnya hampir meraih krim lezat itu, Hara muncul untuk menahan tangan kecilnya agar tak merusak tatanan kue buatan sang Mama.
"Jangan Narel. Kita nanti coba bareng-bareng waktu Papa udah pulang, oke,"
Binar cerah Narel lenyap begitu saja, digantikan lengkung rendah di wajah menggemaskan itu. Tangannya yang semula naik, kini menurun lemah dengan wajah yang mengerut sedih. Melihat itu, Dhita tersenyum hangat, melangkah pelan dem berlutut pada sang pangeran kedua. Mengusap bahunya lembut mencari perhatian putranya masih terlihat sedih.
"Narel sayang. Tunggu sebentar lagi, ya. Kita makan kuenya bareng sama Papa nanti. Kalo Papa udah pulang, kamu boleh makan kue ini sepuasnya…"
Perkataan Dhita benar mampu menerbitkan binar pada manik Narel yang semula mengerut sedih. Dhita menarik senyumnya lebar, cantik sekali. Dalam hati mengucap beribu syukur tentang hadiah Tuhan serupa kedua pengeran tampannya.
"Terimakasih banyak. Mama yang terbaik."
.
.
Hidup adalah kejutan yang siapapun tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Pada gelak tawa yang tercipta. Pada bahagia yang ada. Juga pada tubuh yang pernah teronta. Rencana Tuhan adalah misteri dan manusia tidak memiliki pilihan apapun untuk menolak. Takdir akan tetap ada mengikuti bagaimanapun ceritanya.
Persiapa kejutan mala mini terasa begitu sempurna. Juga bahagia yang nampak di wajah para penghuninya. Namun firasat sepertinya tidak pernah salah. Kendati suka cita yang ada tetap sesuatu nampak mengganggu pikiran Dhita sejak tadi. Terlihat dari bagaimana kepala selalu tertoleh pada sudut yang tak terjamah mencoba mencari jalan dari cemas yang selalu menghantuinya sejak tadi.
Tapi bahagia itu rasanya lebih mendominasi dan Dhita mencoba untuk tak lagi mempedulikannya. Pandangnya menelusur, mencari keberadaan dua putra kecilnya. Menghela napas lega ketika menyadari bahwa Narel ada tak jauh darinya dan Hara ada di lantai dua tengah balik menatapnya. Dalam hati Dhita selalu lantun harap tentang keberlangsungan acara membahagiakan ini.
Hingga pada waktu yang tak terhitung, pandangnya menatap sesuatu yang aneh. Jauh di sana, seseorang berdiri lurus menghadapnya. Dalam sadar yang terkumpul, Dhita tak pernah mengenal dan kemudian menyadari bahwa orang itu bukan seseorang yang seharusnya ada di sini. Ia seorang pria tinggi, dibalut hitam yang jelas ia bukan orang baik.
Pandang Dhita terpaku pada titik yang sama, hampir tak berkedip. Hingga pada detik yang tersisa kelereng cantik itu membelalak. Ketika pria hitam itu mengangkat sesuatu yang tak pernah terlihat menyenangkan. Itu senjata laras pendek dan moncongnya mengarah lurus pada putra kecilnya, Narel.
Waktu nampak menjadi sangat lambat. Bagaimana langkah kaki yang di paksa melebar itu berlari menghampiri putra kecilnya yang tak mengerti apapun. Dhita mengharap doa dalam hati, jangan sampai Narel terluka. Pada langkah kesekian, pada waktu yang tak pernah terduga, tangan Dhita terlulur menarik tubuh kecil Narel dalam dekap. Merengkuhnya erat dan pada detik tersisa, sentakan keras yang terasa panas menembus punggungnya.
Narel dalam dekap tersentak keras. Mengerjap pelan ketika menyadari sesuatu nampak mengenai wajahnya. Itu darah, milik sang Mama. Dhita tersenyum lembut menyadari putra kecilnya seperti ingin menangis. Keadaan menjadi sangat berantakan. Ketika orang-orang panik mencari pertolongan, teriakan ketika semua orang menyadari darah yang kian membasahi punggung Dhita. Lesatan peluru itu terjadi begitu cepat dan Dhita tak peduli kemana perginya sang pelaku.
"S-sayang,"
"Mama,"
Dhita bersama lekuk senyum di wajah, membelai pucuk kepala putranya berusaha memberi ketenangan. Kendati perih yang semakin lama membuat tubuhnya semakin mati rasa. Menghapus jejak darah yang sempat mengotori wajah menggemaskan Narel yang kini mengerut hampir menangis.
"Narel tunggu Papa pulang, ya,"
Dhita menyadari bagaimana orang-orang ingin segera memberinya pertolongan. Namun rasanya ia bahkan sudah tak memiliki harap apapun untuk tetap selamat dari semua ini. Baginya menenangkan putranya lebih penting daripada apapun.
"Mama sayang sama Narel,"
Pada detik yang melambat, rasa sakit itu lebih mendominasi dari segala rasa yang ia miliki. Dhita melemas bersama kerjap yang semakin melelahkan. Wajah pias Narel di hadapan nampak semakin berbayang. Jemarinya bergetar bersama gelenyar rasa kebas pada keseluruhan tubuhnya. Rasanya semakin tak sanggup lagi, bahkan hanya pada tiap hela napas yang ada.
Kepala Narel ia bawa pada kecup dalam. Memberinya banyak cinta yang mungkin tak bisa lagi ia beri. Kantuk menguasai bersama tubuh yang semakin terasa melayang. Pada tarik napas kesekian, Dhita tak sanggup lagi berpijak. Tubuh penuh darah itu jatuh di lantai yang dingin. Mengundang pekik nyata dari semua orang yang ada di sana. Narel terduduk sakit. Meraih wajah sang Mama yang terasa semakin dingin di tangannya yang hangat. Manik Dhita mengerjap, tersenyum lemah sebelum kiat wajah itu taklagi ada di sana. Manik cantik itu tertutup. Dhita pergi.
"MAMA,"
Itu Hara. Berlari menghampiri sang Mama yang masih berada di tangkup tangan Narel. Dengan kesadaran penuh, Hara menghempas wajah Narel keras, mengundang pekik ketika tubuh Narel berakhir jatuh terduduk. Hara mengguncang tubuh Dhita yang mendingin. Mencari ara agak Mamanya lagi membuka mata dan kembali bermain bersamanya. Anak itu menangis keras sadar betul dengan apa yang terjadi pada Dhita. Mamanya pergi dan ia tak mampu mencegahnya.
Bersama luka yang tak pernah nampak, kedua pangeran kecil itu terseok. Mama yang paling mereka cintai pergi bersama kedunguan yang tak pernah mampu mereka pahami. Bahkan pada hiruk pikuk yang tercipta, mereka tetap terpaku pada posisi. Hara yang kini menangis tersedu dan Narel yang hanya diam bersama air mata yang tak pernah didengar. Oraang-orang di sana saling menyetujui, bahwa luka paling nyata adalah kehilangan yang tak mampu dipahami.
Pada waktu yang kian habis, Wayan bersama senyum yang semula terpatri, harus menelan pilu yang tak pernah terasa seru. Beberapa langkah yang terajut, pandangnya menemukan sang belahan jiwanya terbaring berbalut merah dengan dua pangeran kecilnya yang tersedu. Sesuatu yang buruk terjadi dan ia tak mampu bisa mencegah semua perih yang melukai.
"Dhita,"
Air matanya jatuh hingga berakhir menderas. Di hari bahagia ini haruskah ia kehilangan segala cita yang ada? Wayan terpekur bersama tubuh yang bergetar sedih. Permatanya pergi dan ia tak tahu lagi bagaimana harus melewati hari yang akan datang bersama pelik yang tercipta kini.
"Aku kehilangan kamu, sayang,"
.
.
Luka yang tersisa tidak akan serta merta hilang kemudian. Pada waktu-waktu yang berlalu setelahnya, bahagia yang ada seakan tak pernah lagi singgah di sana. Semua pekerja di rumah Nagarjuna diminta pergi dan tak diizinkan untuk lagi berkomunikasi. Kehangatan hilang dan tak lagi ada menjadi pengiring langkah.
Nagarjuna terpisah menjadi sangat jauh. Wayan bersama rasa kehilangan tak lagi menatap pada putranya yang terkecil, Narel. Rasa marah menggelapkan hatinya dan menganggap bahwa anak itu adalah penyebab mengapa istri tercintanya harus pergi. Kendati semua orang sudah memberi tahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi, tapi Wayan tak ingin lagi peduli. Ia kehilangan dan Narel-lah penyebabnya.
Hara tak lagi menggenggam erat jemari kecil sang adik. Bersama kehilangan yang nyata, Hara menghempas Narel jauh. Tenggelam bersama lukanya dan tak ingin tahu bahwa ada jiwa lain yang mungkin lebih terluka darinya. Tapi Hara tak ingin peduli. Narel yang saat itu menangis mungkin hanya karena rasa takut karena Hara menangis lebih dulu di hadapannya. Narel masih sangat kecil dan ia tak mungkin memahami apa yang terjadi pada Dhita.
Namun tak ada yang pernah tahu, bahwa luka paling nyata adalah milik Narel. Diamnya saat itu, bagaimana tangisnya tak terdengar siapapun. Bagaimana sedu sedannya tak nampak di hadapan orang lain. Tapi hening yang ada menyadari dengan nyata bahwa Narel tengah berlubang dengan segala rasa kehilangan tak mampu tertangkap.
Tak ada yang pernah tahu, tangisnya tumpah tiap malam. Ketika bayangan mengerikan itu merecoki tiap hela napasnya. Ketika tetes darah itu serasa ada di wajah dan tangannya. Ketika debum keras itu terdengar di telinganya. Narel menderita parah dan ia hanya mampu tenggelam dalam hening yang selalu menemaninya. Anak itu ditinggalkan semua orang dan ia menemukan cara untuk membuat orang-orang mau menerimanya lagi.
Pada tahun-tahun yang berlalu, Narel bertahan dengan segala derita yang mendekapnya erat. Menjadi tak tampak di hadapan Papa dan Kakaknya adalah luka ternyata yang tak pernah menemukan penawar. Usahanya untuk menjadi yang terbaik adalah satu-satunya cara yang mampu ia pikirkan agar mereka mampu melihat padanya lagi. Kendati harapnya seakan tak lagi menjadi nyata, Narel hanya bisa menunggu untuk itu, dan jika usahanya tak mampu di terima, setidaknya Narel cukup bertahan hingga kini.