Tak begitu lama setelah gerobak bakso Mas Deri berlalu, Mas Huda pun kembali memasuki ruang kerjanya. Dewi yang sejak tadi masih merasa kepedasan pun kemudian berlari keluar dan hanya berkata,"Mas Huda, aku mau beli minum yang seger-seger dulu. Nitip nggak?"
"Ya, mangga satu." Mas Huda berteriak pula menjawab pertanyaan dari Dewi.
Kebetulan, sebelah toko selisih satu bangunan ada yang jualan minuman pop ice. Segala rasa minuman tersebut tersedia di sana. Ya ... namanya juga usaha. Yang penting yakin dan konsisten. Itu, slogan yang selalu diucapkan oleh Bu Ria, pemilik usaha kecil-kecilan pop ice tersebut.
Sementara sambil menunggu Mbak Dewi kembali, Mas Huda memutuskan untuk duduk sejenak di depan saja, di dekat etalase. Sambil membuka kembali ponselnya.
"Siapa tahu saja, Nadia sudah membalas pesanku," gumamnya.
"Maaf Mas Huda, aku baru balas. Dosen ku killer Mas, jadi nggak berani buka ponsel waktu jam kuliah tadi," jawab Nadia. Sementara saat itu, sudah hampir jam setengah 4 sore. Nggak mau berlama-lama menunda waktu percakapan di wa, Mas Huda pun langsung menelpon Nadia saja.
"Halo ... assalamu'alaikum," sahut Nadia.
"Wa'alaikumsalam. Kamu jadi mau mudik jam berapa Nad? Laptopnya kamu bawa kan sekarang?" tanya Mas Huda langsung tanpa basa basi lagi.
"Iya, ini aku bawa Mas," jawab Nadia.
"Kamu tunggu setangah jam lagi bisa nggak? Aku segera otw ke kampus kamu buat ngambil," tanya Mas Huda.
"Hah? Mas Huda seriusan?" tanya Nadia yang begitu tak percaya dengan kata-kata Mas Huda.
"Iya, sekarang kamu tinggal jawab saja Nad. Masih sempat nggak kalau setengah jam lagi?" tanya Mas Huda lagi.
"Masih kok Mas. Aku, bisa naik bus yang agak sorean nggak apa-apa nanti," jawab Nadia.
"Ya sudah, kita ketemuan di depan kampus. Aku otw sekarang ya," kata Mas Huda yang langsung menutup percakapan.
Setelah itu, terlihat Mas Huda begitu bersemangat dan langsung mengambil jaket, tas dan juga helmnya.
"Lhah, Mas Huda kok malah mau pergi sih ini? Pop icenya gimana?" teriak Mbak Dewi yang kebetulan juga sudah datang kembali dengan membawa minuman di kedua tangannya seperti anak SD yang sedang sangat senang menikmati istirahat di sekolahnya.
"Buat kamu saja Wik, titip toko sebentar ya. Aku pergi dulu," sahut Mas Huda sambil mengeluarkan sepeda motornya dari dalam parkiran.
"Oh ... iya Mas. Hati-hati!" sahut Dewi sambil terus memandangi ulah aneh bosnya.
"Siaap," sahut Mas Huda. Dia segera menjalankan sepeda motornya menuju kampus Nadia. Yang diam-diam, dia juga sudah tahu di mana kampus Nadia.
****
Sementara, Nadia yang berada di kampus masih saja tidak percaya.
"Tunggu, emangnya Mas Huda sudah tahu di mana aku kuliah ya? Perasaan, aku sama sekali belum pernah cerita sama dia deh. Apa ... jangan-jangan selama ini Mas Huda emang stalking aku? Tapi ... buat apa coba?" batin Nadia saat duduk di salah satu teras kampusnya.
"Hey! Ngelamun aja! Katanya mau mudik kamu Nad? Kok masih di sini aja sih?" Suara Arini yang tiba-tiba saja menggemparkan suasana lamunannya.
"Astaga Arini, kamu ngagetin aja. Gimana-gimana?" tanya Nadia yang ternyata sejak tadi nggak mendengarkan pertanyaan dari Arini.
"Kamu ngapain masih di sini? Nggak jadi mudik apa?" tanya Arini lagi, dan dia pun ikutan duduk di sebelah Nadia.
"Oh ... soal mudik? Ya jadilah Rin. Sayang tahu, kalau aku nggak pulang, sebulan sekali belum pasti bisa pulang. Mumpung waktunya kan juga lagi pas. Kerjaan sama kampus juga pas sama-sama libur," jawab Nadia.
"Ooh ... ya udah yuk, mau bareng keluar sama aku nggak? Sekalian aku boncengin sampai depan," ajak Arini yang sudah siap dengan mengenakan jaket dan juga slayernya.
"Kamu ... duluan aja deh Rin. Aku, masih ada urusan sebentar di sekretariat soalnya. Tapi makasih banyak buat tawarannya ya. He ... he," jawab Nadia yang tanpa dia sengaja membohongi Arini. Dia berpikir, kalau dia cerita kalau sedang ada janji dengan Mas Huda nanti dipikirnya ada hubungan apa-apa.
"Ya udah deh, kalau gitu aku duluan ya. Jangan lupa, lusa tugas dari Pak Rudi harus diberesin. He ... he," kata Arini sebelum meninggalkan Nadia sendirian di teras kampus.
"Iya. Tapi bukannya kamu ya Rin, yang sering terlambat ngumpulin tugas? Wkkk," sahut Nadia.
Arini pun berlalu, sementara Nadia jadi merasa bersalah sudah membohongi sahabatnya.
"Sorry ya Rin, aku dah bohong sama kamu kali ini. Oiya, udah berapa menit dari tadi ya? Sebaiknya aku jalan ke depan sekarang deh. Kasihan kalau nanti Mas Huda nungguin," kata Nadia dalam hati kecilnya.
Setibanya di depan, Nadia pun menunggu di sebuah halte kampus. Berulang kali, bus jalur menuju terminal datang menghampiri. Berulang kali pula, Nadia melihat jam di tangan kirinya. Ada rasa gelisah yang ternyata diam-diam bersemanyam di dalam lubuk hatinya. Ketika dalam hitungan detik demi menit sudah mulai melampau waktu setengah jam yang sudah dijanjikan oleh Mas Huda barusan. Nadia yang terlalu memperhitungkan dengan matang, sementara sepertinya Mas Huda hanya sekedar mengira-ngira. Setengah jam, waktu yang dia butuhkan dari tokonya hingga ke kampus Nadia.
"Sudah lebih dari 40 menit padahal. Apa jangan-jangan Mas Huda kesasar? Ah ... nggak mungkin kalau itu, dia pasti sudah sangat hafal dengan jalanan di kota ini," kata Nadia dalam hati.
"Apa sebaiknya, aku share lokasi saya lah." Nadia pun kemudian membuka ponselnya dan mengirim lokasi kepada Mas Huda.
"Mas ... aku di halte depan kampus sebelah kanan ya," bunyi chat Nadia mengikuti lokasi yang baru saja dia kirimkan. Sekaligus dia juga mengirimkan foto, dimana dia sedang berada pada saat itu. Namun tentu saja, chat itu sama sekali tidak dijawab oleh Mas Huda. Jangankan dijawab, dibaca pun tentu saja belum. Karena saat itu dia sedang di perjalanan.
Nadia hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, saat kondektur menawarkan bus agar ditumpangi olehnya.
"Terminal Mbaknya?" tanya kondektur. Tak heran, sekarang ini orang yang masih menggunakan jasa bus kota sudah cukup jarang. Apalagi di luar jam kampus dan jam sekolah, semakain jarang orang yang mau memanfaatkan jasa angkutan murah meriah tersebut.
"Itu ... Mas Huda bukan ya? Kayaknya sih ...," batin Nadia saat meihat sesosok pria sedang menjalankan sepeda motornya perlahan sambil menengok ke kanan dan ke kiri tepat di lokasi depan kampus. Nadia pun keluar dari halte dan mencoba untuk melambaikan tangannya.
Dan benar, sepertinya pria itu memang benar Mas Huda. Semakin terlihat jelas setelah semakin dekat dan juga dia membuka helmnya. Senyumnya yang merekah, membuat seketika hati yang gelisah mendadak musnah.
"Alhamdulillah ... akhirnya sampai juga Mas Huda," sahut Nadia dengan senyum bahagia di wajahnya.
*****
Bersambung ...