webnovel

Who Are You In My Mind

dr. Alvero Yudistira, Sp. Kj... seorang dokter ahli kejiwaan. Tidak banyak yang tahu dia pernah mengalami gejala psikosis di usia 19 tahun. Sekarang, ia dihantui perasaan bahwa suatu hari nanti penyakitnya akan kambuh. Perasaan yang akhirnya membuatnya membatasi diri untuk berhubungan dengan orang lain. Vero bahkan tidak punya keberanian untuk mempertahankan orang yang ia cintai.

Romaneskha · 现实
分數不夠
67 Chs

Chapter 3: Perasaan yang Tak Terkatakan

Alvero Yudistira duduk santai di sebuah café yang memperdengarkan musik blues. Kepalanya sedikit bergoyang mengikuti rhytm gitar yang mengalun saat itu. Sementara matanya menyorot pada kertas buram sebuah buku, novel thriller dengan tokoh utamanya seorang psikopat. Tidak lama, Angel datang dan duduk di sampingnya, "Sudah selesai bacanya?"

"Hampir," sahut Vero seadanya.

"Gimana menurut kamu soal novel ini?"

"Gimana apanya?" Vero pura-pura tidak mengerti.

"Jalan ceritanya?"

"Bagus."

"Terus? Kok mukanya biasa aja? Kayaknya nggak excited gitu?"

Vero tersenyum. Ia menutup buku dan meletakkan buku itu di meja. "Excited, kok! Buktinya hampir habis kubaca. Cuman, namanya juga fiksi, penulisnya bukan psikiater, kalau ada yang sedikit nggak sesuai sama fakta, wajar banget lah."

"Dari sepuluh sampai seratus, berapa penilaian kamu?"

"Delapan puluh."

Angel yang bertopang dagu, ia tidak ingin mengalihkan tatapannya dari Vero. Perempuan itu mulai berpikir lagi tentang betapa sempurna hidupnya jika bisa selamanya bersama Vero. Laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya, memukau dari semua sudut. Sekilas, Vero tampak seperti bad boy. Mulutnya terlalu manis pada makhluk bernama perempuan, tatapannya selalu menunjukkan ketertarikan terhadap mereka. Sekalinya dia diam, sungguh keterlaluan. Angel dibuat hampir mati penasaran berkali-kali. Kadang, Vero juga terkesan kasar dan liar. Biar begitu, siapa yang tidak rela dikasari oleh makhluk yang punya perut rata dengan ukiran otot yang tidak terlalu besar, namun rapat berbentuk.

"Berhenti melihatku seperti itu! Kamu bikin aku takut," ujar Vero tanpa menoleh pada Angel.

Mata Angel memicing, "Hmm... kamu bikin aku gila. Ada juga... aku yang harusnya takut sama kamu," Angel sekali lagi kecewa karena tidak bisa merasakan hal-hal yang kasar yang biasa dilakukan pria pada wanitanya. Ya. Memang sedikit mengecewakan dan membuat perempuan syok, karena Vero sebenarnya sangat ramah dan perhatian. Sama sekali bukan bad boy.

Vero yang Angel kenal, tidak pernah terlihat jalan dengan perempuan lain kecuali dirinya. Kesetiaan seperti itu hanya dimiliki seseorang yang memang mencintai wanitanya. Tapi, Vero tidak pernah mengatakan apa pun soal perasaannya pada Angel. Dan mungkin Vero tidak sadar bahwa ia menyakiti Angel perlahan dengan sikapnya itu.

"Aku masih punya banyak novel, aku ingin sekali mendengar pendapatmu,"pelan Angel.

"Bawa saja. Nanti kubaca."

Angel tersenyum getir, "Aku tahu gimana sibuknya kamu, tapi tidak sekali pun kamu menolak apa yang kuminta. Sebenarnya membaca novel bukan hal yang penting."

Vero yang asyik mendengarkan musik, tiba-tiba tercegat. Ia berpaling ke Angel, perempuan yang selalu bersemangat, cerdas dan terkesan apa adanya, tiba-tiba berubah jadi murung.

"Apa... ada yang salah?" ragu Vero.

Angel mengangguk, "Aku yang salah," katanya.

Kening Vero mengeryit.

"Aku terlalu mengharapkanmu. Seperti yang orang-orang bilang, bahwa mereka iri karena aku bisa pacaran sama kamu, Ver! Aku mau itu jadi kenyataan," suara Angel terdengar berat.

Vero tertunduk. Ia sangat mengerti bagaimana perasaan Angel, tapi hari itu untuk pertama kalinya Angel mengatakan isi hatinya dengan begitu jelas.

Lima belas menit berlalu, Vero masih tidak bersuara. Selalu saja, jika Angel membahas soal hubungan mereka, suasana berubah menjadi dataran putih tempat para Eskimo bermukim. Vero kedinginan sampai tidak bisa menggerakkan mulutnya. Jantungnya juga seperti ikut-ikutan membeku. Vero memainkan gelas bening berisi soda dan kristal es sambil mendengarkan musik blues yang terdengar semakin lembut. Ia menyingkap rambutnya. Andaikan dirinya normal, Vero tidak akan begitu saja menyia-nyiakan Angel. Dan hal yang lebih buruk tiba-tiba terlintas di pikiran Vero, Angel akan meninggalkannya sendiri. Segala ketakutan yang berkumpul di benaknya, bisa saja membuat Vero kehilangan kontrol diri. Dan untuk beberapa hal Vero ingin Angel tetap berada di sisinya.

"Maaf, aku terlalu banyak bicara. Tapi, beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena mikirin ini, Ver!" ujar Angel lagi. Angel bisa membaca gesture Vero yang terlihat gelisah sendiri saat itu.

Vero mencengkram kuat gelas bening, ia kira ketakutannya akan menjadi kenyataan. Tapi, Vero tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia kehilangan kemampuan untuk berpikir dan merasa tenggelam dalam jurang yang paling gelap. Vero cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada hal lain di sekelilingnya. Tentang café tempat ia berada dan Angel yang masih duduk di sampingnya. Duduk diam dengan tatapan kosong ke meja bundar di hadapannya. Vero memalingkan wajah sekali lagi, tidak tega jika harus berlama-lama memperhatikan perempuan yang selalu saja dibuatnya sakit hati.

"O ya... sebenarnya tadi Ayah memintaku tetap di rumah karena ada tamu yang akan datang. Ayah bilang sahabat baiknya, sudah lama mereka tidak bertemu. Ayah juga mau memperkenalkan aku ke mereka."

Hening sejenak.

"Jadi... kamu mau pergi?" Vero akhirnya bersuara.

Angel mengangguk sekali.

Tidak ada tanggapan dari Vero.

Angel kemudian menggeser kursi ke belakang dan berdiri. Perempuan itu bersiap untuk pergi. Namun... "Entah kenapa aku merasa kamu punya trauma sama hubungan seperti ini, tapi kamu tidak pernah cerita soal diri kamu sendiri, Ver! Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran kamu. Itu juga bikin aku kecewa. Aku benar-benar butuh waktu, Ver! Kecuali kamu sudah punya jawaban!" katanya tampak tak rela karena Vero sama sekali tidak mencoba menahannya untuk tidak pergi.

Seperti ada yang memakunya, Vero memang tidak bergerak. Dan, "Butuh waktu?" Vero berpikir bagaimana wujudnya pernyataan itu, apa itu berarti Angel mencoba menjauh darinya.

"Aku pergi, ya!"

~II~

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa...

"Yudi! Kami terpaksa mengikat kamu karena kamu tidak berusaha untuk tenang," tangan Vero menekan dada pemuda 20 tahun yang dibawa orangtuanya karena mengamuk, terus berteriak, meronta dan berusaha memukul orang lain.

"Rendi! Ikat cepat!" perintah Vero pada perawat yang sejak tadi membantu Vero menahan lengan Yudi. Ada tiga orang lagi yang memegangi orang itu. Yudi sebenarnya berperawakan kurus, tapi entah kenapa tenaganya menjadi sangat besar ketika ia mengamuk.

Tepat setelah Yudi berhasil diikat, Vero menuju tempat penyimpanan obat, ia mengambil jarum suntik dan obat cair yang tersimpan di dalam botol kaca. Sebuah kapas yang telah dibubuhi alkohol ia usapkan ke lengan kanan Yudi dan ia menusuk area itu dengan jarum suntik. Obat yang menembus otot, akan bereaksi dalam beberapa menit dan akan menahan sikap agresif Yudi untuk sementara.

Yudi dengan matanya yang memerah, tangan mengepal dan mulut yang tersumpal kain, ia menyoroti Vero. Yudi mungkin marah pada Vero, dan saking marahnya sampai ia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Sekilas akan terlihat seperti itu. Tapi, Vero akan lebih mengerti. Yudi datang padanya sejak tiga tahun lalu dengan keluhan yang sama. Ada hal yang tidak bisa dikontrol oleh anak itu tentang perasaan dan pikirannya. Hal yang membuatnya kehilangan kendali. Mengingat pribadi Yudi yang tertutup, tidak mudah untuk Vero membuat Yudi percaya dan terbuka kepadanya. Hingga terakhir kali Yudi dirawat setahun lalu, anak itu akan mencari Vero jika ia merasa tidak nyaman dengan perasaannya. Curiga berlebihan terhadap orang lain tanpa sebab, merasa orang lain tidak menyukai dirinya, merasa tidak percaya diri dan selalu merasa setiap tindakannya akan membuat orang lain terganggu. Jika semua perasaan itu muncul, anak itu akan mengisolasi diri di suatu sudut di mana ia tidak akan bertemu dengan orang lain.

"Katakan padaku, Kak! Aku tidak tahu bagaimana caranya supaya tidak terus-menerus merasa curiga. Ketika aku melihat wajah orang lain, dari dalam diriku, seperti ada yang berbisik, bahwa seseorang itu baik, seseorang itu jahat. Aku tidak tahu apa aku harus mempercayai perasaanku itu? Kadang aku melihat wajah orang berubah-ubah, mereka mengerikan, mereka seperti hantu. Aku juga tidak tahan melihat orang berbisik, atau mengeluarkan suara-suara yang terkesan mengejek. Kupikir mereka sedang berbicara buruk tentangku, aku merasa sangat marah dan aku akan memukul mereka karena itu. Mereka akhirnya membenciku karena sikapku, mereka menjauhiku. Pada akhirnya aku tidak punya teman. Kak, Tolong aku! Bagaimana agar perasaan ini tidak menguasaiku?" Vero mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Prayudi Dirga padanya. Saat itu Yudi masih berusia 18 tahun. Ia mengerti tentang kondisinya yang abnormal, ia mengerti bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa. Ia cukup pintar untuk memahami apa yang terjadi pada dirinya, namun tidak cukup mampu untuk menangani episode yang timbul bertubi-tubi.

Vero sebenarnya cukup terkejut dengan ungkapan Yudi saat itu, dia yang masih begitu muda dan sudah mengalami gejala gangguan jiwa cukup berat. Apakah Yudi tidak akan bisa kembali ke kondisi seperti orang kebanyakan? Dia yang muda, seharusnya melanjutkan sekolah, bekerja, menikah dan punya anak. Vero tidak ingin berpikir bahwa itu tidak akan terjadi. Namun, ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Yudi mengalami penurunan fungsi sosial secara signifikan seiring berjalannya waktu. Tanda dan gejala yang muncul juga semakin berat.

Beberapa menit berlalu, Yudi mulai tenang. Vero mengambil beberapa lembar tisu dan mengusapkan kertas tipis itu ke wajah Yudi yang berkeringat.

"Apa kabar? Kita bertemu lagi," lirih Vero sambil tersenyum.

Kedipan mata Yudi melambat.

"Istirahatlah dulu! Setelah kamu bangun, kita bicara!"

Vero berada di posisi yang sama sampai Yudi benar-benar menutup mata. "Pantau tanda-tanda vital per lima belas menit, dan lepaskan ikata setelah 30 menit!" perintah Vero pada perawat yang berjaga di ruang gawat darurat itu. "Aku akan bicara pada keluarganya."

"Cuci saja lenganmu dulu!" Angel baru saja datang. Ia segera menghampiri keluarga Yudi dan meminta waktu untuk bicara.

Vero belum berpaling, ia memperhatikan lengan kirinya yang penuh luka cakar. Sudah jadi kebiasaan, ketika menghadapi pasien ia menyingsingkan lengan kemejanya. Dan akibatnya, lengannya penuh bekas luka.

Vero menuju wastafel dan mencuci tangan di sana. Ia diam-diam memperhatikan Angel dari cermin yang tertempel di dinding di atas wastafel. Angel yang terlihat manis seperti biasa. Vero juga masih bisa mendengar pembicaraan Angel dan keluarga Yudi dari tempatnya berdiri. Seseorang yang mengaku bibi dari Yudi, tapi Vero sangat yakin bahwa perempuan setengah baya yang datang bersama Yudi hanyalah asisten rumah tangga keluarga Yudi.

Pada Angel, Vero tidak yakin perempuan itu berhasil untuk menjauh darinya. Meski tidak sedekat sebelumnya, Vero masih bisa merasakan perhatian Angel yang begitu besar padanya.

Beberapa menit kemudian,

Vero asyik dengan beberapa temannya ketika Angel tiba-tiba melemparkan berkas rekam medis ke atas meja dekat Vero.

"Aku sudah melengkapi catatan riwayat penyakitnya!" kata Angel jutek.

Vero menggigit bibir sejenak sambil memperhatikan Angel yang berubah menjadi sangat mengerikan. Vero bisa memaklumi itu. Namun, tidak dengan teman sekantornya yang lain, mereka tercengang. Untuk beberapa hal, Vero yakin hubungan mereka akan menjadi gosip terpanas di minggu ini.

Vero hanya membaca sekilas tulisan Angel. Tentang Yudi, sebagian besar sudah ditangkap sendiri oleh telinganya. Tidak ada indikasi putus obat atau tekanan yang berlebihan yang Yudi terima dari sekitarnya. Semuanya berjalan wajar-wajar saja, anak itu sekarang kuliah di jurusan komunikasi semester 3. Vero menuliskan beberapa nama obat lengkap dengan dosisnya ke dalam rekam medis, kemudian membubuhkan tanda tangannya.

"Kunaikkan dosisnya,"ucap Vero tidak dikhususkan pada siapa pun. Ia kembali memperhatikan Yudi yang terpejam. Vero menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Untuk sesaat Vero merasa tidak berguna dan segala hal yang buruk yang akan terjadi pada pasiennya yang satu itu membuatnya gelisah.

"Apa tidak apa-apa?" pelan Rendi.

"Kita pantau beberapa hari, kalau efek sampingnya terlalu berat. Aku akan mengganti jenis obatnya."

"Bukan itu maksudku, Dok!"

Vero berpaling ke Rendi.

"Soal Angel, kalian tidak pernah seperti ini sebelumnya," jelas Rendi.

Vero berdehem. Pertanyaan pribadi selalu membuatnya tidak nyaman. "Sepertinya aku harus pergi, aku keluar sebentar...,"ujarnya tampak ragu.

Vero beranjak dari tempat duduk, kemudian berjalan ke luar ruangan. Saat itu matahari sudah meninggi dan dia punya waktu satu jam untuk beristirahat.

~II~