Devlin sedang berada di seberang taman terbuka ketika mendengar namanya berkumandang di udara. Dia menghentikan langkah dan berbalik untuk mencari sumber suara. Tepat saat itu, pandangannya menangkap sosok Jean. Wajah sedih wanita itu dalam sekejap berubah seputih kertas sebelum roboh di depan matanya.
"Jean!" pekik Devlin panik.
Dia berlari cepat melewati orang-orang yang berlalu lalang, meloncati pagar tanaman dan menyeberangi taman terbuka, untuk menghampiri Jean yang sudah tergeletak di lantai.
Napasnya memburu. Meskipun begitu, Devlin berusaha memanggilnya lembut, "Jean. Bangunlah, Jean ...."
Tangannya gemetar saat menyentuh wajah Jean untuk pertama kali dalam hidupnya dan merasakan jantungnya berdegup kencang. Wanita itu bergeming. Tidak ada tanda-tanda bahwa Jean akan sadar, membuat dadanya terasa perih.
Dengan perasaan kalut, Devlin mengedarkan pandangan menelusuri tubuh ramping yang terbujur di lantai. Pandangannya berhenti pada bagian rok wanita itu yang perlahan memerah. Ditelannya ludah ketika melihat darah mengalir dari antara kaki Jean.
Jean hamil? Mengapa Mike tidak memberitahunya?
Rahangnya mengetat dan tangannya terkepal hingga buku-buku jari itu memutih. Devlin pasti akan memaksakan diri untuk menjemput Jean dari rumah sakit tempatnya bekerja, jikalau Mike memberitahukan kabar baik ini sebelumnya. Rasa bersalah melilit dan membuat perutnya mual.
Suaranya terdengar kasar ketika dia bertanya pada kerumunan orang yang mengelilinginya. "Di mana IGD?" Tidak ada jawaban, memaksanya kembali bertanya dengan suara keras. "Jawab aku!"
Seorang tampak menyeruak ke deretan depan. Wanita paruh baya dalam seragam petugas pembersih itu membuka suara dan memaparkan rute menuju IGD. Devlin mendengarkan dengan seksama. Posisi kamar otopsi yang cukup jauh membuat dia segera bertindak, begitu petugas pembersih selesai bicara.
Tanpa membuang waktu, Devlin membopong tubuh Jean menyusuri lorong utara RSCM. Sepanjang jalan yang dilalui, bibirnya tak henti memanggil nama Jean berulang-ulang, berusaha membangunkan istri sahabatnya dari kondisi tidak sadar.
Devlin berbelok mengikuti arah panah pada papan petunjuk bertuliskan : Instalasi Gawat Darurat (IGD). Seorang petugas sekuriti yang berjaga di depan pintu IGD segera berdiri ketika melihatnya dari jauh. Lelaki kurus berlari ke dalam, dan sesaat kemudian dua orang lelaki muncul sambil mendorong brankar pasien menuju ke arahnya.
“Apa yang terjadi, Pak?” tanya salah satu dari lelaki dalam seragam petugas rumah sakit. Mereka membantunya membaringkan Jean di atas brankar.
“Jean pingsan dan … dan … kurasa dia keguguran. Tolong selamatkan dia, Pak,” mohon Devlin, tangannya refleks mencengkeram lengan lelaki itu, menahannya untuk tidak pergi.
Perawat yang bertubuh tinggi tidak menjawabnya. Alih-alih, pertanyaan Devlin dijawab oleh perawat lain yang mendorong bagian belakang brankar. "Jangan khawatir pak, istri bapak akan mendapatkan perawatan terbaik disini." Begitu cengkeramannya lepas, kedua petugas itu langsung mendorong brankar ke dalam bangunan.
Istri? Kening Devlin berkerut, hatinya merasa lebam mendengar kata itu. Dia pernah berpikir untuk memiliki Jean, tapi itu dulu, sebelum Jean menikah dengan sahabatnya.
Sekarang, setelah Mike meninggal, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka berdua. Hati kecilnya tidak yakin bahwa semua akan baik-baik saja setelah ini. Devlin hanya berharap, Jean dapat menerima dengan ikhlas rentetan kejadian buruk yang menimpanya—kehilangan Mike dan bayinya—dalam waktu yang bersamaan.
Devlin bergegas mengejar brankar yang sudah berjalan meninggalkannya di teras IGD. Sembari menyesuaikan kecepatan langkahnya membayangi kedua perawat lelaki itu, dia bertanya, "Apa yang akan terjadi padanya, Pak? Apa yang akan kalian lakukan padanya di dalam sana?"
Devlin tidak bisa meninggalkan Jean begitu saja di tangan orang asing, meskipun orang itu adalah seorang dokter, tanpa tahu apa yang akan mereka lakukan padanya. Baginya, Jean adalah orang yang sangat penting, lebih penting dari dirinya. Penyelamat hidupnya. Paling tidak, itulah yang dia percayai selama ini.
"Kami tahu perasaan cemas , Bapak, tapi tenanglah. Istri bapak akan segera ditangani oleh dokter kandungan. Akan ada serangkaian pemeriksaan fisik dan kondisi rahim untuk mengecek apakah jaringan bekas keguguran itu luruh semua atau hanya sebagian.
Jika masih terdapat sisa jaringan, maka harus ada tindakan kuret. Kemudian, akan ada pengambilan darah lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut," jelas si perawat sambil tergesa-gesa menyusuri lorong IGD yang sesak dan penuh dengan wajah-wajah cemas, termasuk wajahnya sendiri saat ini.
Ketika brankar melewati pintu ganda dua arah, perawat yang tinggi—dengan gerakan efisien dan tanpa bicara—menghadang Devlin. Tangannya memberi isyarat agar Devlin berhenti dan mempersilakannya menunggu di ruang tunggu. Lelaki itu lalu berlari masuk menyusul rekannya.
Hatinya nelangsa. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang, kecuali menunggu. Tubuhnya mematung di tempat. Dari celah pintu ganda yang mengayun buka tutup, pandangannya mengikuti brankar yang bergerak menjauh. Devlin masih bertahan di tempatnya beberapa saat, hingga pintu itu akhirnya diam dan tertutup sempurna, memisahkan dirinya dari Jean.
Demi apapun … bertahanlah, Jean, batinnya.
Tatapannya turun pada lengan dan pakaian yang dikenakan. Bercak darah Jean yang masih basah menempel di sana. Dengan langkah gontai, Devlin beranjak ke kamar mandi terdekat dan membasuhnya.
Teronggok kembali di ruang tunggu, Devlin mengambil waktu untuk merenung. Telapak tangan naik untuk mengurut rahangnya yang berhias janggut tipis karena belum sempat dicukur. Ditariknya napas panjang dan melepaskannya perlahan. Ini semua adalah salahnya.
Jean selalu menitipkan Mike padanya di setiap misi yang mereka jalankan, karena Mike dan Devlin adalah teman yang lebih erat hubungannya daripada keluarga. Bersama beberapa orang lainnya, mereka membentuk tim yang solid. Mereka sudah sering ditugaskan untuk mengungkap kejahatan besar, menghadapi maut, hampir mati, dan saling menyelamatkan satu dan lainnya.
Operasi yang dipimpin oleh Mike hari ini membawa misi untuk menggagalkan rencana peledakan bom di Jl. MH. Thamrin. Namun, mereka terlambat. Bocoran informasi itu mungkin terbongkar di saat-saat terakhir, sehingga para teroris memajukan waktu peluncuran aksinya.
Tepat ketika mereka akan menggagalkan ledakan ketiga yang dikabarkan adalah yang terakhir, bom itu meledak, menerbangkan beberapa orang dan membuat kaca besar di Gedung Sarinah bergelombang. Seorang wanita tampak menjerit sekitar dua puluh meter dari sumber ledakan, tubuhnya terseret-seret di aspal panas berusaha untuk melarikan diri.
Raung sirene mobil hitam milik tim khusus penjinak bom membelah kepanikan. Devlin segera menarik Mike menjauh dari Tempat Kejadian Perkara (TKP). Namun, dasar lelaki yang keras kepala, Mike dengan cepat memisahkan diri dan kembali ke TKP untuk menyelamatkan wanita yang terluka itu.
Devlin melihat Mike, tapi dibiarkannya lelaki itu sambil matanya mengawasi dari kejauhan. Kejahatan apa yang bisa dilakukan oleh seorang wanita terluka?
Tak satu pun dari mereka tahu mengenai rencana peledakan, yang awalnya tiga bom, telah berubah menjadi empat. Tangan Devlin terkepal hingga buku-buku jarinya memutih, ketika ingatannya kembali pada detik kejadian. Bom keempat meledak tepat di depan matanya dan dalam sekejap Mike hilang dari pandangan. Air matanya jatuh ketika mengingat rasa syok kehilangan Mike.
Ingatannya putus-putus setelah itu. Devlin ingat dia berteriak dan meronta sekuat tenaga, membuat tiga orang rekannya kewalahan menyeret tubuhnya keluar dari TKP. Kemudian, tangannya diborgol saat digiring ke kantor polisi pusat.
Ceramah atasannya dan rangkaian prosedur, membuatnya harus duduk di kantor selama beberapa jam sebelum dapat dibebaskantugaskan. Begitu semua tetek bengek itu selesai, dia langsung melesat ke RSCM dengan niat untuk mendampingi Jean mengidentifikasi suaminya. Namun, terlambat.
Begitu melihat sosok rampingnya terduduk lemah di ruang tunggu yang temaran, perutnya tiba-tiba mual. Rasa perih dalam dada timbul dan menggerogotinya dari dalam. Devlin tidak yakin bisa membawa tubuhnya lebih dekat pada Jean, memutuskan untuk berbalik dan pergi.
Bahkan saat ini, ketika dia menatap nanar pada dinding rumah sakit berwarna putih dan biru muda, Devlin tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Jean jika wanita itu siuman?
Devlin bukanlah Mike, yang supel dan tahu harus berkata apa di saat yang tepat. Pikirannya mencoba merangkai tata bahasa penghiburan, meskipun bibirnya tak yakin mampu mengeja kalimat-kalimat tersebut.
Selama karirnya yang berbahaya, Devlin tidak pernah memanjatkan doa sebelum beraksi. Dia percaya bahwa insting adalah satu-satunya penyelamat hidup dari bahaya yang mengintai. Kali ini, dengan kedua tangan terjalin, Devlin menundukkan kepala dan mulai berdoa.