Andine mengempaskan duduk di kursi kerjanya, di atas meja terdapat sebuah laptop untuk menemani hari-harinya mengerjakan tugas, juga beberapa perlatan kantor yang tersusun rapi di tempatnya masing-masing.
Wanita muda itu memasang wajah serius, sorot matanya tajam tertuju ke arah layar dari benda elektronik tersebut.
Di depan meja kerja Andine, terdapat ruangan Direktur Utama. Sedangkan di sisi kanan dan kiri Andine hanya serupa ruang kosong yang tak diisi siapa-siapa. Gadis itu memang bekerja seorang diri, sebab karyawan yang lain ada di ruangan berbeda. Namun, meskipun begitu tak jarang pula ada beberapa pegawai yang akan melintas di hadapannya.
Jam sudah menunjuk ke angka delapan pagi, Andine menyeruput kopi yang tadi dibuatnya setiba sampai di sini. Aroma kopi yang khas serta rasa pahitnya dapat membangkitkan kembali semangat di dalam diri gadis itu. Seulas senyum sekilas tersungging darinya.
Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu yang mendekat ke arah Andine. Tanpa menoleh pun wanita itu sudah mengetahui siapa sosok yang sedang berjalan tersebut.
"Selamat pagi, Andine."
Gadis itu menoleh, tak lupa menyunggingkan senyuman hangat pada sosok pria berjas abu-abu di sebelahnya.
"Selamat pagi, Pak Arya," balas Andine kepada bosnya tersebut.
"Oh iya, selamat ya atas pernikahan kamu. Maaf saya tidak bisa hadir, karena kebetulan kemarin saya juga ada acara penting." Pak Arya menarik kedua sudut bibirnya ke atas, selarik senyum tersemat di wajahnya yang rupawan.
"Nggak masalah, Pak. Terima kasih atas ucapannya." Wanita berhidung mancung itu mengangguk sopan.
"Ya sudah, saya masuk dulu," pamit Pak Arya. Sejurus kemudian pria bertubuh tinggi itu kembali meneruskan langkah menuju ruang kerjanya, sosoknya lantas menghilang sesaat setelah Pak Arya menutup pintu.
Andine pun kembali memusatkan perhatiannya ke arah layar laptop di hadapan. Namun, baru aja akan kembali fokus, tiba-tiba lengan Andine disenggol oleh seseorang.
"Halo, pengantin baru ... cie yang udah nggak jomlo lagi!" Seorang wanita berambut sebahu langsung menggoda Andine, membuat wanita itu tersipu malu hingga kedua pipinya menghangat.
"Ihh, apaan sih, Mir! Ngagetin aja kamu tuh!" Andine mengomel.
Amira tertawa kecil, wanita berkulit putih itu menggeser sebuah kursi dan mendekatkannya ke arah Andine.
"Eh, eh ... ceritain dong gimana malam pertamanya?" Amira berbisik lirih di dekat telinga sahabatnya.
Wajah Andine sontak saja langsung memerah kala mendengar pertanyaan tersebut. Malu tentu saja, walau sebenarnya antara ia dan Andra tidak melakukan apa-apa.
"Ihh, kepo banget sih, Mir? Kalau penasaran, coba aja sendiri!" Andine terkikik geli melihat wajah Amira yang cemberut.
"Parah banget sih ... tinggal cerita doang. Deg-deg-an nggak? Keringet dingin nggak? Duh ... aku penasaran banget!"
"Aduh, udah deh. Aku malu tahu!" Andine mengibaskan tangannya di hadapan Amira.
Sungguh, sesujujurnya ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Amira.
Tentang cerita malam pertamanya dengan Andra. tentang kenyataan yang tidak sesuai dengan angan-angannya. Dan tentang kebenaran soal pernikahan yang ia alami dengan Andra.
Namun, demi menjaga nama baik sang suami serta kelangsungan usia rumah tangganya dengan Andra, Andine memilih memendamnya dan berusaha meyakinkan sang sahabat bahwa kisah percintaannya sangat baik-baik saja.
"Malu sama siapa sih?" Amira celingukan menoleh ke kiri dan kanan, "Nggak ada siapa-siapa juga!"
"Omes! Apa sih yang mau kamu tahu dari malam pertama aku?"
"Ya tentang itu!"
"Tentang apa?"
"Anu!"
Kring ...!
Dering telepon membuyarkan obrolan kedua gadis itu, Andine yang panik bergegas mengangkat gagang telepon.
"Halo, Pak?"
"Ke ruangan saya sekarang."
Andine menepuk jidatnya dengan hati penuh gelisah setelah mendengar suara Pak Arya di seberang telepon.
"B-baik, Pak." Gadis itu segera menutup kembali teleponnya.
"Kamu sih! Berisik banget tahu nggak? Pak Arya jadi panggil aku ke ruangannya," gerutu Andine, ia menyalahkan Amira yang menurutnya adalah penyebab mengapa keributan tadi terjadi.
"Kok aku sih? Aku 'kan cuma penasaran, lagian tadi aku bisik-bisik ya ngomongnya?" elak Amira. "Atau ... jangan-jangan Pak Arya dengar semua pembicaraan kita lagi? Makanya kamu dipanggil?" Amira membulatkan matanya, panik.
"Aduh ... kamu sih!" pekik Andine dengan suara tertahan seraya bangkit berdiri, gadis itu melangkah cepat menuju ruangan sang bos.
***
"Nanti, tolong kamu editin yang ini dulu. Lalu lanjut yang lain," jelas Pak Arya sambil menunjuk layar laptop miliknya, di sebelahnya berdiri sosok Andine yang sejak tadi mengamati penjelasan lelaki itu.
"Oh, baik, Pak." Wanita itu mengangguk mengerti. Sejenak, ia menghela napas panjang, sebab alasan ia dipanggil Pak Arya ke ruangannya adalah bukan untuk menegurnya soal keributan yang ia lakukan dengan Amira di luar ruangan.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak," pamit Andine, wanita itu hendak melangkah menuju pintu. Namun, kakinya kembali berhenti saat Pak Arya lagi-lagi memanggilnya.
"Ada apa, Pak?" Andine bertanya was-was.
Pak Arya berdehem sejenak sebelum bicara, pria itu menggaruk belakang lehernya dengan perasaan tak enak.
"Boleh mengobrol saat masih di kantor, tapi tolong volume suaranya dikecilkan."
Andine membeku di tempatnya berdiri, kalimat yang diucapkan Pak Arya sungguh membuatnya malu sekali.
"I-iya, Pak."
Amira sialan, pikirnya.
Jam makan siang, Andine dan Amira tengah menikmati waktu istirahat. Amira tak henti tertawa mendengar aduan Andine tentang teguran bos mereka.
"Berarti Pak Arya denger obrolan kita dong? Masa sih? Keknya aku udah pelan-pelan ngomongnya." Gadis itu masih terkekeh sambil mengunyah makanannya.
Andine mendengkus kesal.
"Tapi serius deh, kamu belum jawab pertanyaan aku soal tadi, An--"
"Aduh ... udah deh. Jangan dibahas lagi, kamu nggak bisa lihat tempat? Ini rame lho!" Andine kembali mengomel.
"Oke oke. Sorry!" sahut Amira sambil menahan geli di perutnya.
Kantin di kantor itu tampak ramai diisi oleh para pegawai, Andine dan Amira duduk berhadapan sambil menikmati bekal mereka masing-masing.
"An," panggil Amira kemudian. "Tapi, kamu beneran bahagia 'kan nikah sama Andra?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Amira. Pertanyaan yang justru menciptakan hening di antara mereka berdua.
Andine terdiam, membeku sejenak di atas tempat duduknya. Bagaimana dia harus menjawab?
"Ya bahagialah, kok kamu tanya gitu sih?" Andine lantas menjawab diiringi seulas senyum lebar di bibirnya. Lagi, Andine harus pura-pura baik-baik saja.
"Bagus deh kalau gitu. Soalnya kalian 'kan dijodohin, biasanya yang dijodohin itu butuh waktu lama untuk sama-sama menerima."
Andine mengangguk sambil menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi wajah yang sebenarnya sedang berusaha berpura-pura bahagia.
"Kita fine-fine aja kok, mungkin udah jodoh makanya cocok." Andine menyahut.
"Semoga jodoh sampe maut memisahkan." Amira tersenyum penuh syukur.
Andine kembali mengangguk mengiyakan, meski hatinya penuh keraguan.
Bisakah ia dan Andra selalu bersama-sama hingga maut memisah? Sedangkan pernikahan ini saja tak pernah diinginkan oleh suaminya.
Bersambung.