webnovel

Dilarang Cemburu

Andra dan Andine bersikap layaknya sepasang suami istri yang begitu bahagia, padahal kenyataannya tidak demikian. Ketika ada yang tak sengaja bertemu dengan orang yang mereka kenali, maka saat itu juga seulas senyum merekah ditambah sapaan khas orang yang begitu ramah.

Namun, ketika orang-orang yang mereka kenali itu berlalu pergi, maka berlalu juga senyum di bibir Andra dan Andine. Mereka berdua kembali sibuk dengan urusannya masing-masing, jika disaksikan dengan teliti mungkin orang akan menyadari bahwa memang ada yang tidak beres dengan pasangan tersebut.

Namun, semua orang yang ada di sana kenyataannya tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang sedang menikmati hidangan sama seperti Andine dan Andra saat ini, ada yang mengobrol dengan teman sesama, dan kegiatan lainnya yang lebih banyak menyembulkan senyuman lebar dan tawa dari mereka, orang-orang terpandang.

"Senyumlah sedikit, jangan sampai orang mengira kita sedang bertengkar." Kalimat itu terdengar sedikit berbisik di telinga Andine, membuat ia menoleh ke arah sang suami dan menghentikan kunyahan di mulutnya.

Wajah lelaki itu datar, tapi tatapan dari kedua bola matanya begitu tajam tertuju ke arah manik kecoklatan milik Andine. Membuat wanita itu mendesah pelan kemudian mengikuti titah sang suami.

Ia menarik kedua sudut bibir ke atas, sehingga tampaklah selarik senyum di wajah milik Andine. Membuat Andra lantas tersenyum tipis seolah menyambut senyum manis istrinya tersebut.

Keduanya kemudian melanjutkan makan dengan bibir yang sesekali tersenyum tapi tidak terlontar sepatah kata pun dari mulut.

"Andra?" Seorang gadis bertubuh ramping menghampiri Andra, senyumnya yang lebar menambah kecantikan yang ia miliki.

Andra menoleh, sontak membalas senyum wanita yang menegurnya tersebut.

"Tasya?"

Tersisa Andine yang terdiam dengan tatapan bingung di tempat duduknya, mengamati bagaimana kedua manusia di depannya sedang saling menyapa kemudian berpelukan singkat.

"Cih!" lirih Andine dengan air muka tak suka.

"Ini …?" Tasya, gadis itu melirik sungkan ke arah Andine, bertanya pada Andra dengan ekspresi di wajah.

Pria itu langsung paham, "Aah, ini istriku, Sya. Namanya Andine."

Andine bergegas bangkit sambil merubah raut wajah masamnya dengan seulas senyum hangat, wanita itu menyambut jabatan tangan teman Andra tersebut.

"Ini teman kuliahku, An. Tasya namanya, kakaknya yang menikah sekarang ini," ucap Andra memperkenalkan gadis berkulit putih itu.

"Tasya."

"Andine."

Selanjutnya, setelah perkenalan singkat itu, Andra dibawa boleh Tasya menuju panggung kecil yang terletak di ujung ruangan. Walaupun dengan izin ingin mengajak lelaki itu duet dan menyumbangkan suaranya, tetap saja hatinya tak nyaman. Namun, Andine tetap mempersilakan. Meskipun Andra juga menolak ajakan teman lamanya tersebut.

Sorak sorai memeriahkan ruangan, tatkala Andra dan Tasya maju ke atas panggung. Semua mata tertuju ke arah mereka, membuat kedua anak manusia di sana menjadi salah tingkah.

"Oke, semuanya … di sini kita mau bawain lagu dari Ungu featuring Andien, yang judulnya, Saat Bahagia. Khusus untuk pengantin yang ada di singgasana sana." Kalimat yang baru saja tercetus dari bibir Tasya berhasil memancing sorak sorai para tamu undangan.

Sedangkan di sana, sosok wanita hanya bisa duduk terdiam menyaksikan sang suami yang akan bernyanyi dalam satu panggung bersama seorang perempuan yang katanya adalah teman lama.

Musik terdengar, di sana Andra berdiri sambil menggenggam mic bersama dengan Tasya. Keduanya memamerkan suara emas yang dimiliki, sejenak membuat Andine maupun para tamu undangan terpukau.

"Suara Mas Andra bagus juga," gumam Andine, dahinya kemudian berkerut halus. "Tapi kalau udah marah jelek banget!"

"Saat bahagiaku, duduk berdua denganmu, hanyalah bersamamu …."

"Mungkin aku terlanjur, tak bisa jauh dari dirimu … kuingin engkau selalu."

"Tuk jadi milikku, kuingin engkau mampu, kuingin engkau selalu bisa, temani diriku, sampai akhir hayatmu, meskipun itu hanya terucap dari mulutmu … dari dirimu yang terlanjur mampu bahagiakan aku … hingga ujung waktuku, selalu."

Merdunya suara Tasya dan Andra berpadu dengan alunan musik yang terdengar. Di sana, Andine harus berusaha tegar dan baik-baik saja sambil memamerkan selarik senyum di bibirnya. Seolah bangga dengan apa yang tampak di depan sana.

Padahal, hatinya berkata berbeda.

Riuh tepuk tangan mengapresiasi penampilan Andra dan Tasya barusan, setelah menyumbangkan dua lagu–sebab satu lagu pertama dirasa kurang oleh para tamu undangan–Andra dan Tasya akhirnya undur diri dari atas panggung, lalu berjalan berlainan arah sebab Tasya akan menyambut tamu yang lainnya. Keduanya berpisah dengan tak lupa saling berpelukan singkat melepas pertemuan.

Tak lupa juga Tasya sebagai teman karib yang begitu baik menitipkan salam pada Andine sebab tak sempat untuk menemui wanita itu secara langsung.

"Jalan ke sini bisa kali, nggak harus titip salam gitu," ketus Andine menimpali ucapan sang suami yang baru saja menyampaikan pesan Tasya untuk istrinya.

Andra menatap bingung ke arah wanita yang sedang mengedarkan pandangan tersebut, seolah sedang mengabaikan sosok lelaki yang ada di hadapannya.

"Tasya lagi sibuk, lagian apa salahnya kalau aku yang sampaikan? Masih mending dia ingat kamu, itu artinya dia menghargai dan menghormati kamu sebagai istri aku. Bagus 'kan attitude-nya? Nggak kaya kamu, bisanya cuma nyalahin orang lain."

Tanpa diduga, lelaki bertubuh tinggi itu justru balik mengomentari perliaku sang istri. Ketus jawaban Andine, tapi lebih ketus lagi balasan sang suami.

Namun, Andine sudah tak terlalu terkejut. Ia sudah terbiasa, dan tentu akan semakin membiasakan diri dengan sifat Andra yang memang menjengkelkan.

"Nggak usah merasa sok cemburu gitu, aku juga nggak peduli."

Nyes! Bagai tersiram air mendidih jantung Andine. Panas, perih, melepuh! Sayangnya, Andra mana tahu, dan tak akan peduli akan hal itu.

Gadis bermanik kecoklatan itu mendengkus sambil membuang pandangan, dengan sambil menjaga sikap berusaha menetralkan mimik muka agar tak terbaca sedang kesal oleh penilaian orang lain.

Beberapa waktu kemudian, Andra dan Andine pun pamit pulang. Tak lupa berjabat tangan pada pengantin yang sedang berbahagia, kemudian pada lelaki yang tadi mereka temui di awal kedatangan keduanya.

Andine dan Andra kembali berakting, memasang senyuman yang terbaik pada semua mata yang melihat. Tak lupa dengan gandengan tangan yang seolah tak ingin dilepas barang satu detik pun. Keduanya begitu serasi kala berjalan dan melewati pada tamu undangan yang hadir.

Setibanya di area parkiran, senyum di bibir keduanya lenyap begitu saja. Berganti dengan wajah datar tanpa ekspresi, seolah hal melegakan baru saja terjadi, ditambah tak seorang pun terlihat di sini.

"Aku ingatkan sekali lagi, Andine." Tiba-tiba Andra menghentikan langkah dan menoleh kepada sang istri, membuat wanita itu sontak mematung.

"Jaga sikap kamu di depan umum," ucap Andra dengan sorot tajam tertuju ke mata sang istri.

"Ingat, jangan sampai orang lain curiga dengan pernikahan kita," lirih pria itu nyaris tenggelam sapuan angin malam.

Andine tak memiliki waktu untuk mendesah dengan penuh kecewa lagi, ia hanya bisa mengangguk pasrah dengan semua aturan konyol yang dibuat oleh Andra.

"Paham 'kan?"

Andine mengangguk lagi, "Paham, Mas. Terus pertanyaannya, kapan tangan aku dilepas? Aku mau masuk mobil." Andine menunjuk tangan kanannya dengan lirikan mata yang masih tergenggam oleh Andra.

"Oh, sorry." Pria itu langsung menarik tangannya kembali dengan sikap salah tingkah.