Seperti yang sudah Bryan katakan bila, dirinya akan menghabiskan waktu bersama dengan Elina.
Tempat pelarian yang pailng nyaman bagi Bryan ialah wanita club ini. Entah apa yang membuat hatinya begitu terikat dengan Elina.
Apa pun masalah yang sedang dirinya hadapi wanita inilah yang paling tepat untuk bersinggah.
Sepulang dari minimarket Bryan langsung menyusul masuk ke kontrakan yang di tempati Elina.
"Kamu pasti belum makan?" tanya Elina, sambil menata piring di atas meja.
"Emmm, tadi si sudah. Tapi, perut aku masih muat kok menerima makanan dari kamu," gumam Bryan sambil memeluk Isa dari belakang.
"Sudahlah Byan jangan nakal, aku mau buatin makanan dulu," sahutnya, sambil melepaskan tangan lelaki tersebut dari perutnya.
"Kita sudah lama tidak bercinta," cetus Byan.
Elina yang baru saja melangkah satu jangkah menuju dapur, seketika terhenti saat mendengar apa yang dikatakan oleh lelaki itu.
"Kapan kita bisa melakukannya lagi?" ucap Byan lagi.
"Kamu bicara apa? Aku tidak mengerti, sudahlah kamu laparkan, jangan banyak bicara yang ada cacing-cacing di perutmu akan kian meronta-ronta," jawab Elina, lalu kembali melanjutkan langkah.
Elina begitu paham, atas yang di ucapkan oleh Bryan. Akan tetapi dirinya tak ingin memikirkan hal itu terlalu dalam, karena saat ini pikiran dan hatinya sedang tak baik. Dan butuh waktu untuk bisa hidup seperti semula.
"Huh!! Elina, udah jangan mikir yang aneh-aneh deh. Kamu punya banyak hal yang lebih penting dari ini," batinnya.
Malam yang indah, rembulan bersinar amat terang. Bintang- bintang berkelip di setiap penghujung sudut
Di temani rembulan, Elina dan Bryan menghabiskan makan bersama, tanpa ada sesuatu hal lagi yang mengganggu.
"Masakan kamu yang paling aku rindukan," ucap Bryan, sambil tersenyum. Menatap Elina yang sedang membereskan makanan.
"Dasar, tukang gombal," cibirnya tersenyum tipis.
"Aku seriusan, bahkan saat makanan di rumah tidah menggugah seleraku. Masakan kamu yang selalu aku inginkan," ungkap Bryan, beralih duduk di sofa.
"Emm, kamu kenapa tidak pindah ke apartemen aja. Kan tempatanya lebih nyaman ketimbang di kontarakan begini," lanjut Bryan, menatap Elina yang berdiri di sampinganya.
Mendengar apa yang dikatakan oleh Bryan membuat wanita tersebut seketika terdiam.
"Sini-sini duduk, jangan masam dulu mukanya," sambil menarik tangan Elina.
Mata Bryan menatap lekat Elina, hingga sangat dekat sekali. Tapi, tak membuat wanita tersebut merubah ekspresinya.
"Uang aku kurang, rencanya dari awal gitu. Biar kalau waktu Sindy pulang dari asrama dia ngerasa nyaman. Tapi ternyata tabungan aku kurang, bahkan mama dan papa sama sekali tak menujukan rasa pedulinya ke aku. Iya tau, aku sudah dewasa dan aku sudah lulus sekolah, mungkin pemikiran mereka, aku sudah bisa cari uang sendiri tanpa mendapatkan uluran tangan dari mereka," terang Elina.
"Udah jangan sedih, kamu yang sabar ya cantik. Aku ada disini dan selalu mendukung apa yang menjadi keputusan kamu," sahut Bryan, tersenyum, sembari mengarahkan kepala Elina agar bersandar di dadadnya yang bidang.
"Aku bantu aja ya?
"Hah? Bantu apaan?" menatap Bryan, yang mengelus-elus rambutnya.
"Ya aku bayarin kamu, untuk tinggal di apartemen,"
"Jangan!" tolak Elina, dengan mata melotot.
"Kenapa? Apa salahnya, niat kamu kan cuma mua bantu kamu dan adik kamu," terang Bryan.
"Ya pokoknya jangan, kamu udah terlalu banyak bantu aku Byan. Bahkan aku belum sempat membalas kebaikan kamu, lebih baik kamu kasihkan ke orang yang lebih membutuhkan. Aku bisa cari uang dengan hasil kerja kerasku kok," jelas Elina.
Elina tak ingin mendapatkan gelar sebagai wanita matre, walaupun pekerjaanya sebagai pelayan club namun, dirinya masih punya harga diri. Dan tak ingin mendapatkan panggilan seperti itu
"Ya sudah, kalau itu mau kamu. Aku juga enggak akan maksa tapi, kamu kalau butuh apa-apa bilang aja ke aku ya,"
"Iyaa, Byan." jawab Elina, sambil tersenyum. Lalu kembali menyadarkan kepalanya pada dada bidang milik Bryan.
Arloji di dinding terus saja berputar, hingga waktu menujukan pukul 21: 30 wib.
Mata Elina seketika panik. Karena, ia lupa jika hari ini ada kerjaan yang tak bisa di cancel lagi. Dengan terburu-buru dan campur panik, Elina sudah tak bisa lagi berpikir normal, jika dirinya malam ini tidak berangkat maka gajinya akan di potong.
"Byan! Ayo anterin aku ke club, aku lupa ada kerjaan malam ini," ajak Elina, sambil menarik tangan lelaki tersebut.
"Kamu kenpa sih Sa? Jangan buru-buru gitu dong," bingung Byan, karena tiba-tiba Elina menarik tangannya begitu saja.
"Tarik nafas buang, ulangi lagi,"
"Hufffttt! Udah pokoknya kamu harus anterin aku ke clun sekarang juga," pinta Elina.
"Kok mendadak si? Katanya kamu enggak kerja malam ini,"
"Iyaa, tapi ternyata aku ada kerjaan lain lagi dan ini bersangkutan sama gaji aku," jelasnya.
"Ayoo, Byan. Gak ada lagi waktu untuk santai," lanjut Elina, dengan wajah yang panik.
Namun, Byan tetap diam di tempat dan tak ingin mengikuti apa yang menjadi permintaan Elina. Ia sengaja diam lalu menatap wanita di depannya.
"Kok malah diam si? Ayo Byan," ringik Elina, dengan wajah masamnya.
"Kamu bisa gak hai ini enggak usah kerja, ada hal yang mau aku omongin sama kamu," ungkapnya.
"Apaan lagi sih? Kenapa enggak bilang dari tadi," dengus Elina.
"Gaji aku gimana, nanti aku enggak bisa bayar sekolah Sindy. Dia sekarang lagi butuh biaya banyak banget," lanjutnya.
"Udah, jangan pikirkan itu. Aku akan tanggung semuanya," jawab Bryan.
"Udah ah, jangan. AKu enggak mau ngerepotin kamu,"
"Udah, enggak apa-apa. Aku mau bicara sama kamu, jadi malam ini kamu jangan kemana-mana,"
"Hmmm, ya udah deh. Aku izin dulu," jawab Elina, langsung melepaskan tangannya dari genggaman Bryan.
Entah apa yang akan di katakan oleh Bryan, karena terlalu banyak hal yang Elina anggap tak penting tapi bagi Bryan itu penting.
Terlahir dari keluarga berada, membuat Bryan dengan mudah mengeluarkan segala uangnya untuk membantu Elina.
Menjadi satu-satunya cucu kesayangan, membuat lelaki tersebut merasa damai karena, mempunyai banyak tabungan untuk masa depan. Terkadang, hal ini juga membuat lelaki berada ini merasa tak nyaman dengan segala aturan yang di buat oleh keluarganya.
"Kamu mau bilang apa lagi?" tanya Elina, menyusul Bryan yang duduk di sofa.
Ketika Bryan akan mengucapkan perkataanya, tiba-tiba ponsel miliknya pun berdering.
"Siapa?"
"Angkat aja dulu," ucap Elina, tersenyum tipis.
"Eee-ee, okee. Tunggu bentar ya," ucap Bryan segera menghindar dari Elina.
Perasaan Elina tak enak ketika Bryan menyanggupi untuk membantu dirinya membiayai Sindy, karena dia sudah terlalu banyak membantu dirinya dalam hal apapun.
Ia hanya takut, jika sampai keluarga Bryan tau apa saja yang sudah di lakukan lelaki itu untuk dirinya.
Bryan: Halo, ada apa Mora?
Mora: Kamu dimana? Aku di rumah kamu nih, masa yang ada cuma pembantu kamu,
(Seketika Bryan terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh wanita tersebut. Karena, Mora bukanlah tipe orang yang tak mudah untuk di bohongi)
Mora: Kenapa diam? Jawab dong!
Bryan: Eee-ee, aku lagi keluar sama teman-teman. Kamu ngapai si semalem ini ke rumah, kayak enggak ada hari lain aja (Nada Byan sedikit kesal, karena Mora selalu mendadak datang ke rumahnya)
Mora: Terserah aku lah, udah buruan balik aku tunggu! ( Dengan nada yang tinggi, Mora langsung menutup kalimatnya dan menghentika sambungan telpon)
Bryan tak mempunyai kesempatan lagi untuk menyangkal ucapan Mora. Harapannya malam ini ia ingin menghabiskan waktu bersama Elina.
"Siapa yang nelvon? Mama kamu ya?" tanya Elina.
Spontan Bryan menoleh kebelakang, ia merasa terkejut karena tiba-tiba Elina berada di belakangnya.
"Kamu mau pulang ya?" dengan wajah yang masam, Elina langsung memeluk Bryan dari belakang erat- erat.