Michael masih menepuk-nepuk punggungku, ketika suhu tubuhku kembali naik setelah tiga jam membaik dan berhasil melahap sup jagung hangat buatan Michael. Ia menyerah memberikan kompres manual, karena aku selalu tertidur dengan posisi miring membelakanginya. Handuk basahnya jadi terus terjatuh ke atas bantal dan membuat permukaannya basah. Akhirnya ia menempelkan sebuah plester kompres demam yang selalu tersedia di kotak obat milikku.
"Sebaiknya kita ke dokter, Maria." Michael akhirnya bersuara setelah menyadari bahwa aku tidak tertidur. Aku bisa merasakan kecemasan dari nada suaranya.
"Aku akan baik-baik saja setelah tidur, Michael. Jangan khawatir." Aku masih membelakangi Michael. Rasanya kepalaku pusing sekali, berputar-putar, tubuhku juga mulai merasa dingin hampir menggigil. Aku tak mau membuatnya lebih khawatir lagi, maka itu aku tak ingin melihatnya dan memperlihatkan wajahku yang mungkin terlihat pucat saat ini.
"Atau sebaiknya aku hubungi keluargamu, Maria?" Baru saja Michael mengatakan hal itu, suara pintu depan rumahku yang dibuka dengan keras terdengar.
"Maria? Kau di rumah?! Motor siapa itu?!" Suara pamanku menggelegar dari ruang depan hingga ke kamarku.
Mendengar hal itu, Michael langsung bangkit dan waspada. Ia mengepalkan tangannya seakan akan bersiap menghadapi seorang musuh yang mendobrak tempat kediamannya.
Ah.. gawat sekali!
Suara langkah kaki paman Rhon makin terdengar mendekat, lalu ketika ia akhirnya muncul dari balik pintu dan melihatku tertidur dalam selimut serta ada seorang pemuda berambut pirang gondrong disisiku, wajahnya langsung memerah penuh emosi.
"Siapa kau?! Apa yang kau lakukan disini?!" Paman Rhon menggeram. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal kuat-kuat.
"Paman, ini Michael. Teman yang aku ceritakan kemarin." Aku harus menjelaskannya sebelum pamanku meledak. Kepalanya bahkan sudah mengeluarkan uap ketika melihat rambut gondrong Michael yang diikat longgar serta tindikan di telinganya.
Lalu ketika pandangannya beralih padaku dan menyadari sebuah plester kompres menghiasi keningku, ia melupakan Michael.
"Kau sakit Maria? Itukah sebabnya kau tak masuk sekolah?"
"Aku begadang, lalu paginya aku pingsan. Michael yang menolongku dan merawatku sejak pagi. Paman." Jelasku sambil melirik pada Michael yang masih waspada.
Paman Rhon menoleh pada Michael. Tatapan nyalangnya berubah lebih normal. "Michael, terimakasih banyak sudah merawat keponakanku."
"Tidak.. bukan apa-apa, tapi sebaiknya kita bawa Maria ke dokter. Demamnya tak kunjung turun." Michael melirik padaku, ada rasa lega yang ia sampaikan pada lirikannya. Sebuah perasaan diterima.
Mungkin saja, ia sudah membayangkan akan diusir dengan sangat kasar oleh pamanku, nyatanya si penyihir ini lebih realistis ketimbang ayahku. Itulah kenapa, aku lebih nyaman bercerita pada paman ketimbang ibu atau ayahku. Dia mau mendengarnya dengan baik, melihat dari sisi yang berbeda lalu bisa memberikan sebuah saran yang cukup membantu.
***
Ternyata aku harus dirawat, dokter mengatakan bahwa aku mengalami gejala typus. Padahal aku sangat menjaga kebersihan dan pola makan, pada akhirnya jika Tuhan ingin aku sakit, aku bisa apa kan?
Hari pertama di rumah sakit, Michael tak mau meninggalkan aku selangkah pun. Memastikan aku nyaman di atas ranjang rumah sakit yang dingin. Beberapa kali membenarkan selimutku yang tersingkap dan selang infus yang tak sengaja terlilit di tanganku.
Ia bahkan izin untuk tak bekerja di bengkel selama 2 hari. Hanya untuk bisa merawatku di rumah sakit. Aku merasa begitu beruntung ia ada di sisiku saat ini. Michael pandai merawat seseorang dan menghiburnya, aku tidak sedikit pun merasa tak nyaman meski harus terus berbaring di ranjangku berkat dirinya.
Hari kedua berada di ruang rawat rumah sakit, dengan selang infus yang terpasang di tanganku yang segala pergerakan ku terbatas. Bersama dengan Michael yang masih terus setia membantuku menyuapi dan memanjakan aku.
Karena hari ini adalah hari terakhir bagi Michael untuk izin dari tempat kerjanya, akhirnya mau tak mau ia harus meninggalkan aku dan menyerahkan tugas merawat dan menjagaku di rumah sakit pada paman Rhon. Sebenarnya sejak awal paman Rhon tidak setuju jika hanya Michael yang menjagaku, karena itu setiap malam ia akan datang untuk bergantian dengan Michael.
Ayah dan ibuku? Aku bahkan tak yakin mereka akan datang kemari. Pekerjaan luar biasa mereka jauh lebih penting dari pada typus yang aku alami sekarang, toh tim dokter dan rumah sakit sudah memberikan perawatan yang baik padaku. Bahkan aku berpikir jika lebih baik mereka tak usah datang kemari.
Tapi di hari ketiga saat dokter telah mengizinkan aku pulang pada siang harinya. Ibu dan ayahku datang dengan wajah cemas. Aku seharusnya senang dengan hal itu bukan? mereka mencemaskan aku. . namun entah kenapa, aku justru tak merasakan apa pun atas kehadiran mereka.
Mereka hanya menjadikan kedatangan mereka sebagai formalitas, mereka datang hanya untuk menjemputku pulang, agar peran mereka sebagai orang tua tetap berjalan. Setidaknya itu yang aku fikirkan saat ini.
"Kenapa baru datang sekarang?" Paman Rhon mendelik kesal pada ayahku. Menuntut tanggung jawabnya sebagai ayah dari diriku. Aku meraih tangan pamanku, dan menariknya pelan. Berharap ia sadar bahwa hal itu tak ada gunanya. Aku tak mau ada pertengkaran adik kakak di sini. Di depanku yang baru saja merasa lebih baik karena sudah bisa pulang dari rumah sakit.
Ayahku hanya melirik pada paman sebentar lalu meraih pundakku, aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. Ayahku akan meminta maaf karena dia sibuk, selalu seperti itu. Saat aku melakukan pertunjukan tari ku untuk pertama kali, saat aku mendapatkan Mendali atas olimpiade matematika, saat aku menjadi penyandang nilai tertinggi nomor satu tingkat sekolah. Ia tak pernah hadir sebagai wali. Ayahku akan melakukan hal ini sebagai permintaan maaf. Menepuk pundakku dan berkata..
"Maafkan papa ya nak, papa sangat sibuk akhir-akhir ini." Wajahnya terlihat sedih. Sesedih itukah? Sedih karena tahu bahwa aku sakit? Atau sedih karena harus meninggalkan pekerjaannya?
"Tidak apa-apa." Jawabku cepat. Aku tak harus ikut-ikutan bersandiwara dengan suasana haru biru ini bukan?
"Apa kau tak cukup makan dengan baik di sana, Maria?! Bagaimana mungkin kau bisa sakit begini?" Ibuku menghampiriku, meraih kedua pipi dan mengecup keningku.
Hambar. Rasanya hambar! jika kasih sayang orangtua bisa dikecap, semua akan berkata rasanya manis. Semanis madu dan membuatmu merasa begitu bahagia. Tapi kecupan ibuku tadi terasa hambar.
"Aku makan dengan baik, tidur cukup dan berolahraga teratur ma."
"Pastikan kau jaga dirimu selama tidak tinggal dengan kami, kau juga harus memikirkan tentang prestasi sekolahmu." Ibuku melanjutkannya..
Sebuah tekanan yang dulu terasa biasa saja di telingaku setiap dia mengucapkannya. Tapi kini, rasanya aku muak mendengarnya. Ingin menutup telinga dan berpura-pura tak mendengarkannya.
Yang sebenarnya ia khawatirkan itu prestasiku, nilaiku atau keadaanku?!
Pamanku hanya melirik padaku, berharap aku mengatakan isi hatiku yang saat ini mungkin dengan jelas bisa ia lihat. Tapi aku masih tetap diam dan tersenyum sambil mengangguk.
Aku memang muak tapi jauh di lubuk hatiku, Aku .. tak mau menjadi pembangkang.
***