Keesokan harinya, perusahaan otomotif itu digemparkan atas meninggalnya Ceo mereka Tuan Hiroshi. Berita itu langsung merebak dengan cepat ke seluruh perusahaan di seantero kota. Tidak terkecuali perusahaan pengembang dimana Tama bekerja. Dia sangat syok mendengar berita kematian Ceo asal Jepang itu yang begitu mendadak tepat di hari pertama Rafline bekerja di perusahaan itu.
Setelah jam kerja usai, Tama pun langsung menuju ke Perusahaan otomotif tersebut. Di benaknya tersimpan begitu banyak pertanyaan. Apakah ini ada kaitannya dengan jamu yang dibuat oleh Raflina?
Begitu sampai di sana, Tama ditahan oleh sekuriti untuk masuk karena sedang diadakan do'a bersama untuk mendiang Tuan Hiroshi. Memang, setelah jam kerja selesai, para pegawai di sana melakukan do'a bersama di Aula gedung. Meski mereka tidak bisa melihat jenazahnya untuk terakhir kalinya karena begitu dinyatakan meninggalkan Jenazah itu langsung dipersiapkan untuk di kirim ke negara asalnya.
Tidak berselang lama, acara itu selesai. para pegawai pun satu persatu meninggalkan aula tersebut. Diantara kerumunan pegawai itu, terlihat Raflina yang sedang berjalan sendiri. Tama dengan sigap menghampirinya. mencekal tangan Raflina dan membawanya ke tempat yang sepi. Gadis itu terhenyak sesaat sembari mengikuti tunangannya itu.
"Apa-apaan sih kamu?" hardik Raflina saat sudah berada si salah satu sudut yang sepi di perusahaan itu. Dia terus meronta dari pegangan Tama yang kuat
"Kamu yang membunuh Tuan Hiroshi?" tanya Tama langsung ke intinya. Mata Raflina membulat.
"Kenapa kamu menuduhku seperti itu? Tuan Hiroshi itu meninggal karena serangan jantung. Tidak ada sangkut pautnya denganku."
"Bohong! Kamu meracuninya dengan ramuan semalam itu 'kan?"
"Enggak!" sergah Raflina.
"Jawab dengan jujur!" bentak Tama. Dia sama sekali tidak perduli kalau ada orang yang mendengar. Yang dia inginkan adalah kejelasan tentang berita itu.
"Kenapa Raflina? kenapa kamu membunuh pria-pria jepang yang tidak bersalah!" serang Tama yang tidak berhenti menyudutkan gadis itu. Seketika raut wajah Raflina merubah murka, seolah tidak terima dengan perkataan yang terlontar dari tunangannya itu.
"Tidak bersalah katamu! Mereka adalah keturunan pembunuh! iblis! Mereka pantas mati!" tandas gadis itu berapi-api. Dahi Tama berkerut, tidak mengerti maksud dari perkataanya.
"Maksudnya Pembunuh?"
Dengan sekali sentakan Raflina melepaskan pegangan tangan Tama yang mulai kendor. Sorot mata gadis itu sangat tajam mengisyaratkan kebencian yang dalam.
"Kamu tidak tahu apa yang dilakukan oleh para bedebah itu kepada leluhurku. Betapa menderitanya dia hingga maut menjemput. Belum lagi aib itu masih terkenang sampai sekarang. aku masih di cap sebagai keturunan bekas pelacur jepang! Ngerti kamu!" Mata Gadis itu berkaca-kaca. Tama iba melihatnya. dia tidak tahu betapa dalamnya rasa sakit leluhurnya yang menurun kepadanya. Tapi apakah dibenarkan membunuh orang-orang yang belum tentu ada darah penjajah di dalamnya.
"Tapi, Raflina!"
"Cukup. Kalau kamu masih membela mereka. lebih baik kita sudahi saja hubungan kita. Aku tidak mau siapapun menghalangiku. Termasuk kamu!" bentak Raflina. Dia berbalik menjauhi Tama dengan setengah Berlari. Air matanya tumpah ruah di sana.
"Raflina! tunggu!"
***
Tama tercenung di depan komputernya. Pikirannya terus terbayang tentang kejadian sore tadi. Termasuk perkataan Raflina yang mengatakan bahwa dia adalah keturunan bekas pelacur jepang. Dia yang pun langsung mencari tahunya di internet dan hasilnya sungguh menyesakkan dada.
Dia menemukan artikel-artikel yang menceritakan tentang pilunya penjajahan zaman dahulu. Jugun ianfu adalah kata kunci dari setiap artikel itu. Ngeri, Marah, kesal menghinggapi benaknya saat membaca cerita itu satu persatu. Terlebih nasib jugun ianfu. Sekarang dia baru memahami bagaimana hancurnya perasaan Raflina yang mewarisi penderitaan dari leluhurnya.
Ada rasa sesal kenapa dia menyudutkan Raflina seperti tadi. Seharusnya dia tidak hanya melihat dari satu sisi saja tanpa mempertimbangkan sisi yang lain. Raflina disini hanyalah Korban kebrutalan masa lalu, yang seharusnya dipahami bukan dihakimi. Tapi rasa benci itu sepertinya sudah melampaui batas rasio, sehingga gadis itu melakukan sesuatu hal yang diluar dari kewajaran. Sebagai orang yang mencintainya, Tama tidak mau kekasihnya itu meneruskan insting sesatnya itu.
Dibalik itu semua Raflina ada seorang wanita yang berhati lembut. Hanya tertutup oleh penampilan luarnya yang tampak dingin. Dia masih ingat ketika Gadis itu diam-diam pergi ke panti jompo untuk membantu merawat nenek-nenek yang sudah lansia. Tapi semenjak berpacaran dengannya, Tama juga sering menemaninya ke sana.
Gadis itu berubah sikapnya yang semula dingin menjadi sangat peduli, penyayang, dan begitu perhatian. Senyumnya selalu terpancar ketika ikut merawat para nenek-nenek itu. Hal itu yang membuat daya tarik yang memikat di mata Tama, Bahwa adalah kehangatan yang tersimpan di dalam pribadinya yang beku.
Namun lebih dari itu, Tama merasakan sesuatu di dalam dirinya yang berhubungan dengan Gadis itu. Meski mereka baru bertemu beberapa tahun lalu. Tapi, sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia mengenalnya jauh lebih lama sebelumnya. seolah ada rentang waktu yang terpisah oleh sebuah dimensi.
Tama pun bergegas ke rumah kontrakan Raflina. Dia berniat untuk meminta maaf kepada gadis itu. walaubagaimanapun, Tama tidak mau kehilangan pujaan hatinya itu.
Sesampainya di rumah Raflina, Tama terheran-heran karena pintunya terbuka lebar. Beberapa kali dia mengetuk pintu, tapi tidak kunjung gadis itu keluar.
Tama nekad memasuki rumah itu . Sepi adalah hal pertama yang menyergapnya. Dia memeriksa setiap ruangan di rumah itu. tapi tidak mendapati Raflina di manapun. wajahnya berubah cemas.
"Kamu dimana sayang." gumam Tama. Kalau terjadi apa-apa dengan gadis itu. tentu Tama akan menyesal seumur hidup. beberapa kali dia mengecheck semua ruangan kembali, tapi tetap saja dia tidak berhasil menemukannya.
Sampai dia menemukan sebuah ruang misterius di belakang. Raflina bilang itu adalah gudang. Tapi entah kenapa firasatnya mengatakan ada sesuatu di dalam ruangan itu. Selama ini, Tama menahan untuk melihatnya karena Raflina selalu mencegahnya dengan berbagai alasan.
Berhubung Raflina tidak ada, ini kesempatan untuk memeriksanya. Pintunya tidak dikunci. Tama pun bergegas membukanya.
Dia meraba saklar di dinding dan menyalakannya. Dia mendengus sebal. Ternyata apa yang ada di ruangan itu diluar ekspektasinya. Terlihat barang-barang yang usang dan tertutup debu, serta jaring laba-laba dimana-mana. Ini memang gudang. Harusnya Tama percaya dengan omongan kekasihnya itu. dia merasa terjerumus dengan rasa ingin tahunya sendiri.
Tapi Tama seperti melihat sesuatu di sudut kamar itu. Dengan langkah pelan, dia menghampirinya. Dia tercenung sesaat saat melihat sebuah pintu di sudut kamar itu. Segera dia memutar handle pintu dan mendorongnya. Ternyata pintu itu terkunci.
Rasa penasarannya kuat mendorongnya untuk mendobrak pintu itu. beberapa kali dia menghantam daun pintu itu dengan lengan atasnya sampai pintu itu terbuka.
Dia terkesima dengan apa yang ada diruangan itu. Ruangan bernuansa merah dengan berbagai foto orang jepang yang terpajang di dinding. Masing-masing dari foto itu tertancap paku.