Langit dan bumi adalah saksi
bagi kelahiran bintang-bintang
juga kunang-kunang
yang bersama-sama menyiarkan cahaya
tanpa meminta apa-apa
Raden Soca terbelalak. Bukan hanya karena keberanian gadis ini. Tapi juga atas sikapnya yang terlihat sangat meremehkan. Senyuman mengejek itu tak pernah lepas dari sudut bibirnya yang manis. Mata yang berbinar-binar seolah semua urusan adalah hal yang menyenangkan baginya. Raden Soca menghela nafas pendek.
"Minggirlah anak gadis. Aku tidak punya urusan denganmu. Urusanku hanya dengan ayahmu. Aku tidak punya dendam keturunan. Karena itu kau bukan termasuk daftar yang harus aku tentang."
Ratri Geni mengangkat alisnya. Berani-beraninya pemuda tampan gagah ini memanggilnya anak gadis. Kurang ajar!
"Heh! Kau pikir kau sudah tua bangkotan hah?! Namaku Ratri Geni. Aku adalah putri satu-satunya pendekar Arya Dahana yang tidak pernah menjadi pembunuh ayahmu. Aku juga putri satu-satunya pendekar Dewi Mulia Ratri yang dengan gagah berani bertarung satu lawan satu dengan ayahmu dan menewaskannya."
Raden Soca terperangah kaget sekaligus kagum bukan main. Bukan hanya karena sikap gadis yang tak kenal takut ini. Namun lebih banyak akibat perkataannya yang tidak sesuai dengan cerita yang didapatnya dari Panglima Amranutta. Namun pemuda yang penuh tekad dan berwatak keras ini tidak mau percaya begitu saja.
"Minggirlah Ratri Geni! Biarkan aku menyelesaikan urusan yang belum tuntas dengan ayahmu. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu."
Ratri Geni terbelalak sejenak lalu tertawa mengejek.
"Hahaha! Pemuda ingusan! Kau pikir kalau kau berhasil membunuh ayahku lantas aku tidak mendendam kepadamu?! Aku akan memburumu hingga ke lubang neraka sekalipun. Jadi kapan semuanya berakhir atas nama dendam hah?!"
Raden Soca menundukkan muka merenung. Gadis ini benar. Tapi dia tidak akan berhenti mewujudkan niatnya. Matanya berpaling kepada Arya Dahana.
"Pendekar besar, apakah kau akan berlindung di balik ketiak putrimu dan tidak berani berhadapan langsung denganku?" Raden Soca sengaja mengejek Ratri Geni supaya gadis ini segera mundur.
Arya Dahana yang sedari tadi menyaksikan dengan seksama, sengaja membiarkan Ratri Geni mengambil alih keadaan. Dia ingin tahu sampai sejauh mana sifat anak Panglima Kelelawar ini. Selain itu pendekar ini juga hendak menguji seberapa hebat kemampuan pemuda dari Lawa Agung ini sekaligus seberapa jauh kemajuan putrinya.
"Aku menyerahkan semua keputusan atas urusan ini kepada putriku. Anak dan anak. Aku mengijinkanmu melampiaskan dendam kepadaku melalui putriku. Nah seranglah dia sepuasmu. Tapi aku tidak mengijinkan putriku melukaimu."
Raden Soca dan Ratri Geni sama terperanjat kaget mendengar ucapan Arya Dahana. Keduanya saling berpandangan. Saling mengukur tekad masing-masing. Raden Soca menyerah. Mata itu lebih menyenangkan untuk diajak mencari ikan di laut daripada bertarung.
"Aku akan membatalkan niatku kali ini pendekar Arya Dahana. Aku tidak akan bertarung dengan putrimu yang tidak ada kaitannya dengan urusan ini. Lain kali aku akan mencarimu untuk menuntaskan urusan yang belum tunai ini." Raden Soca membalikkan badan pergi. Berjalan menuruni puncak gunung diiringi pandangan mata semua orang. Ratri Geni tak melepaskan tatapan sedikitpun dari pemuda itu sampai lepas dari pandangan mata. Hati gadis ini kagum bukan main. Pemuda yang merupakan anak musuh besar ibunya itu punya kekuatan dan ketetapan hati yang luar biasa. Lihai dan tampan pula. Eh! Ratri Geni menyumpahi hatinya sendiri.
Perhatian semua orang kemudian beralih ke Kitab Langit Bumi yang tergeletak di bibir kawah. Ki Ageng Merapi melangkah maju dengan niatan memungutnya. Tapi keanehan yang luar biasa terjadi di depan semua orang yang menyaksikan. Tangan Ki Ageng Merapi terpental seolah kitab itu menolak disentuh. Ki Ageng Merapi menundukkan kepala sambil berkomat-kamit. Lalu mengulurkan tangan mencoba kembali. Kejadian yang sama terulang. Tangan Ki Ageng Merapi tertahan oleh sebuah kekuatan entah darimana. Kitab itu tetap di tempatnya. Ki Ageng Merapi memandang ketiga Ki Ageng Gunung lainnya. Mengangkat bahu dan mundur.
Ki Ageng Slamet memberikan isyarat kepada Ki Ageng Semeru. Mungkin Gunung Merapi terlalu dekat dengan Merbabu sehingga kitab itu menolak diangkat oleh Ki Ageng Merapi. Ki Ageng Semeru mendekat dan berusaha meraih kitab. Tangan Ki Ageng Semeru juga terpental. Kitab itu tetap di tempatnya semula. Ki Ageng Semeru mundur dan tidak mengulangi upayanya. Sudah jelas kitab itu menolak.
Ki Ageng Slamet ganti melangkah maju. Tangannya terulur. Bahkan sebelum menyentuh sampulnya saja tangannya saja sudah terpental ke belakang. Ki Ageng Slamet menggeleng-gelengkan kepala menyerah. Orang terakhir, Ki Ageng Ciremai tak mau berlama-lama untuk mencoba. Mungkin kitab itu belum mau pergi dari Gunung Ciremai. Tapi bukankah tanda-tandanya sudah jelas sampai dia melakukan ritual Pemanggilan?
Tangan Ki Ageng Ciremai terulur hendak mengambil dan mengangkat kitab aneh itu. Lagi-lagi kejadian yang sama terulang. Tangan Ki Ageng Ciremai terpental ke belakang didorong kekuatan tak nampak.
Para Ki Ageng Gunung saling berpandangan satu sama lain. Tanpa berbicara mereka sepakat untuk menggabungkan kekuatan. Mungkin kitab itu bisa diambil oleh mereka berempat bersama-sama. Serentak delapan pasang lengan maju meraih Kitab Langit Bumi. Keempatnya terpental hebat. Kali ini bahkan sampai tubuh mereka jatuh bergulingan saking hebatnya hawa dorongan tak kasat mata yang entah berasal darimana.
Keempat Ki Ageng Gunung bangkit dan bersama-sama menggelengkan kepala. Mereka tidak terluka namun putus asa tak tahu harus berbuat apa. Orang-orang yang menyaksikan semua keanehan itu juga terpana. Sungguh sebuah kejadian langka.
Ratri Geni melangkah maju. Gadis yang tak kenal takut dan selalu penasaran ini tak habis pikir kitab sekecil itu tak mampu diambil oleh tokoh-tokoh sesakti mereka. Dengan langkah ringan dan tetap tersenyum mengejek, gadis itu meraih Kitab Langit Bumi dan mengangkatnya dengan mudah!
Tidak hanya para Ki Ageng Gunung yang terperangah heran. Arya Dahana pun menggaruk hidungnya yang tidak gatal melihat putrinya begitu sembrono maju ke depan dengan seenaknya tapi malah berhasil mengangkat kitab sakti yang seolah punya ruh itu.
Ratri Geni mengusap sampul kitab itu dengan gembira. Keanehan berikutnya terjadi. Sampul yang terkunci itu tiba-tiba terbuka. Memperlihatkan sampul bagian dalam yang bertuliskan; Gunung Merbabu di sana. Ratri Geni melongo. Para Ki Ageng Gunung mendekati.
"Kau berjodoh menggantikan Ki Ageng Merbabu yang telah wafat menjadi penjaga gunung itu, Nduk. Kitab itu memilihmu. Pergilah ke Puncak Gunung Merbabu. Bacalah kitab itu sampai tamat. Setelah selesai lemparkan kitab itu ke kawah Gunung Merbabu." Ki Ageng Slamet tersenyum ramah kepada Ratri Geni yang masih melongo. Menjadi penjaga gunung? Walah! Itu bukan cita-citanya!
Arya Dahana ikut maju ke depan. Dielusnya kepala putri satu-satunya yang heboh itu.
"Nah! Kau sudah mendapatkan cita-cita dan tugas baru sekarang. Pergilah ke Gunung Merbabu. Tunaikan tugas mulia ini dengan baik." Arya Dahana tersenyum dikulum. Geli melihat Ratri Geni masih bengong tak bisa berkata-kata.
Terdengar kesiur angin. Keempat Ki Ageng Gunung telah pergi dan pulang ke tempatnya masing-masing. Begitu pula yang lain. Hanya tertinggal Arya Dahana, Arawinda, Ario Langit dan Ratri Geni yang masih juga melongo sambil memandangi kitab itu dengan tatapan tak percaya.
"Sebelum kau pergi, aku ingin membicarakan perjodohan anak-anak kita Arya." Arawinda terkekeh kecil sambil berkata.
Arya Dahana sedikit terkejut. Matanya memandang bertanya kepada Arawinda. Wanita yang masih nampak cantik itu tersenyum lebar. Kalimat berikutnya yang menegaskan maksudnya, laksana petir di siang bolong bagi Ratri Geni dan Ario Langit.
"Iya. Aku mengajukan perjodohan dan pertunangan antara putrimu Ratri Geni dengan anak lelakiku Ario Langit di sini. Di Puncak Ciremai yang asri."
Arya Dahana ikut terperanjat. Duh! Sedari dulu Arawinda memang orang yang paling blak-blakan. Bicara tanpa tedeng aling-aling. Pendekar sakti itu menatap mata putrinya yang terpana kaget. Arya Dahana paham apa arti tatapan mata itu.
---*