Nattaya masih setia di sisi pembaringan suaminya. Menunggu pria terkasih sadarkan diri. Dokter sudah menjelaskan bahwa Mugayo terkena serangan stroke. Dari hasil pemeriksaan detail, sebagian otak Mugayo mengalami kerusakan yang mengakibatkan pesan dari otak menuju otot terganggu. Bagian tubuh Mugayo mengalami kelumpuhan atau hemiplegia.
"Mas, ayo sadar demi aku! Aku bagaimana tanpa kamu?" Nattaya berbisik pelan di telinga suaminya. Berharap tubuh yang tertidur panjang mendengar lalu terbangun dan memeluknya. Ia tak mau percaya begitu saja jika suaminya terkena stroke. Semalam suaminya baik baik saja tanpa ada tanda tanda sakit. Tak ada keluhan apapun. Sementara di luar ruang UGD, adik Mugayo menunggu sambil berjaga jaga mengharap Nattaya bersedia bergantian. Sejak masuk rumah sakit tengah malam tadi, Nattaya belum mau keluar ruangan. Sesekali saja keluar kamar mandi dan sholat. Tapi menolak makan. Ia mengkhawatirkan kondisi Kakak iparnya. Di tengah kegelisahan menunggu kabar kakak kandungnya.
"Sayang," tiba-tiba lirih suara Mugayo terdengar tak begitu jelas. Mulutnya terasa berat sekali untuk berucap. Sebagian tubuhnya pun susah digerakkan. Menggapai kepala Nattaya yang sedang tertelungkup tidur di sebelahnya, Mugayo tak mampu. "Aku kenapa?!" batin Mugayo menjerit. Matanya kemudian berkeliling mencari pertolongan karena tak ada reaksi dari Nattaya yang cepat sekali tertidur. Sungguh kelelahan yang tak tertahankan. Beruntung tak lama, dokter datang bersama seorang suster. Hendak mengontrol keadaan terkini Mugayo.
"Alhamdulillah Bapak sudah sadar." Sang Dokter mengungkapkan kegembiraannya. Sejenak perhatian dokter menuju Nattaya yang tidak bergeming dari posisinya. Ia memberi kode pada suster untuk membangunkan. Mugayo melarang dengan sekuat tenaga yang ia miliki.
"Biarkan, Sus!"
"Istri Bapak harus tahu suaminya sudah sadar. Ia semalaman menunggu kabar baik ini."
"Saya kenapa dok?" sekali lagi suara berat tak jelas keluar dari mulut Mugayo. Beruntung masih bisa dipahami oleh lawan bicaranya.
"Bapak terkena stroke. Bersyukur sekali Bapak segera siuman. Kami akan bantu penyembuhan Bapak semaksimal mungkin. Ini pertanda yang baik." Ujar Dokter seraya menempelkan stetoskop ke dada Mugayo mengecek kestabilan detak jantung pasiennya. Mata Dokter juga melihat cairan infus apakah masih aman atau tidak lalu meminta suster mencatat jam berapa cairan infus harus diganti.
"Saya bisa sembuh, Dok?"
"Insya Allah, Pak. Kita upayakan. Yang penting Bapak jangan patah semangat. Lihat istri Bapak, luar biasa sekali. Dia tidak mau digantikan oleh adik Bapak di luar sejak semalam." Puji dokter pada kegigihan Nattaya menjaga suaminya. Tak terasa air mata Mugayo mengalir. Ia menangisi kondisinya dan juga pengorbanan Nattaya. Sampai kapan aku begini? Seberapa kuat Nattaya menghadapi kondisi sakitku? Akankah ia setia? Atau meninggalkanku? Pikiran Mugayo berkecamuk. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin namun apa daya, ia lumpuh! Seperti ada beban yang mengikatnya kuat kuat sehingga tak mampu bergerak dan berbicara dengan lantang.
"Tolong saya, Dok! Sembuhkan saya," suara isakan Mugayo, akhirnya membangunkan Nattaya yang langsung memeluk bahagia melihat Mugayo sudah tersadar. Keduanya menangis.
"Aku tak berguna lagi, Sayang. Aku lumpuh!" tangis Mugayo semakin pecah tak terbendung. Jiwanya benar benar terguncang. Entah kata katanya dimengerti atau tidak oleh sang istri tercinta.
"Mas pasti bisa sembuh! Ada aku, Mas yang bantu berjuang untuk kesembuhan, Mas." Nattaya membangkitkan keterpurukan suaminya yang didukung oleh Dokter.
"Yang penting semangat ya Bapak dan Ibu. Tolong diminum yang rutin obatnya. Nanti akan ada evaluasi secara menyeluruh setelah obatnya habis."
"Baik, Dok."
"Kami keluar dulu. Permisi."
Sepeninggal Dokter dan suster, Nattaya kembali memeluk tubuh suaminya. Harapannya membuncah tinggi tentang kesembuhan Mugayo.
"Semangat ya, Mas. Kita sama-sama berjuang," tekan Nattaya lagi mengulang agar Mugayo yakin ia berada di garda terdepan untuk kesembuhannya
"Apa yang kamu harapkan dari suami yang lumpuh, Sayang. Apaaaa?!!" suara tak jelas Mugayo bergetar panjang. Masih tak terima dengan kenyataan yang tiba-tiba menimpanya.
"Mas, Kamu pasti sembuh. Apa kita harus berobat ke luar negeri? Ayo, Mas! Sebut saja kemana rumah sakit yang Mas inginkan."
Mata Mugayo tambah berurai air mata. Tubuh sempurnanya yang terkulai lemah berguncang. Nattaya mencoba menenangkan suaminya.
"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku?! Aku salah apa?!'
"Mas tidak salah apa-apa. Kita sedang diuji, Mas. Kita pasti bisa melewati ini semua." Tangan Nattaya mengusap air mata suaminya dengan penuh kelembutan, membuat Mugayo ingin sekali memegang tangan halus wanita yang sangat dicintainya. Namun hanya rasa yang bisa ia lakukan bukan tindakan. Akhirnya memicu lagi aliran air mata Mugayo. Benar benar sulit dipercaya harus menerima kondisi ini. Ia adalah tipe orang yang sangat menjaga kesehatan. Pola hidupnya sehat.
"Kenapa bukan kabar kehamilan yang Tuhan berikan di usia ketiga perkawinan kita? Kenapa harus stroke?!" sekuat tenaga Mugayo menggerakkan mulutnya untuk mengungkapkan lagi sesak di dada dan pikirannya.
"Sudahlah, Mas. Tidak baik kita bertanya seperti itu. Tuhan pasti punya rencana lain. Semoga setelah ini, setelah kita terima ujian ini dengan sabar. Ada kabar baik yang sudah Tuhan rencanakan untuk kita. Jangan sedih terus, ya?" Diusapnya dengan penuh kasih bagian kepala Mugayo lalu Nattaya menggenggam erat tangan lelaki di hadapannya dan mengecup berulang. Di saat yang bersamaan, muncullah Ardhena dan adik Mugayo dari luar ruangan. Hendak menengok Mugayo dan memberikan semangat kepada keduanya. Nattaya yang sedari tadi berperan menjadi orang yang kuat di hadapan Mugayo, berlari ke pelukan sahabatnya. Menumpahkan tangis melepas segala rasa yang ia pendam. Sekuat kuatnya seorang wanita, siapakah yang tidak akan sedih melihat suami tercinta harus tergolek tak berdaya dengan vonis stroke. Ardhena lalu membimbing sahabatnya ke luar ruangan supaya tangis Nattaya tidak mengusik Mugayo.
"Kami permisi keluar sebentar, Nattaya mau saya ajak makan supaya tidak drop kondisinya."
Ditemani sang adik, mata sembap Mugayo melepas Nattaya dan Ardhena keluar ruangan.
"Nat, kamu makan ya? Ini aku bawakan bubur langganan kita. Kalau urus suami sakit, jangan lupa makan. Nanti kalau kamu sakit, siapa yang urus Masmu?" Ardhena mengeluarkan kotak mika berisi bubur ayam komplit dari dalam plastik.
"Betul kata Mas Mugayo. Kami salah apa sehingga harus menerima kenyataan pahit ini?" Nattaya tak bersemangat menerima pemberian Ardhena. Bubur kesukaannya, tak serta merta membuat nafsu makannya muncul.
"Makan pelan-pelan. Ini aku bawakan juga susu hangat. Jangan berpikiran negatif terhadap Tuhan. Semua akan kembali baik, Nat!"
"Sampai kapan?"
"Kamu harus menjaga agar pikiranmu selalu positif. Jadi jangan sibuk memikirkan kapan waktunya berakhir. Kamu harus kuat, kuat, dan kuat!"
Sambil berurai air mata, Nattaya memaksakan diri memasukkan makanan ke mulutnya. Ia menjelma menjadi rapuh di depan sahabatnya. Dan berpura pura kuat di depan suaminya. Entah sekuat apa aku nanti. Seberapa sabar yang bisa aku jalani. Nattaya berkutat dengan sejauh mana kemampuannya bertahan.