webnovel

Tiba-tiba ke Dunia Lain (Indonesia)

Penerus Black Steel (Baja Hitam) termuda, Kitarou dan Destruction Witch (Putri Penyihir Kehancuran), Elizabeth Lou Felix IV. Mereka adalah musuh rival bebuyutan di antara kedua wilayah yang saling bertikai di medan peperangan. Hingga suatu hari kejadian misterius tiba-tiba menimpa mereka ketika dalam pertarungan hebat antara Black Steel dan Destruction Witch. Mereka tiba-tiba di panggil oleh seseorang ke Dunia Lain (isekai) di sana mereka harus bertahan hidup dan bersekutu untuk mencari cara agar bisa kembali kedunia asal mereka yang masih bertikai. Namun, hal tersebut tidak membuat perseteruan di antara mereka berakhir sampai di situ. Akankah mereka berhasil kembali ke dunia asal mereka? dan perseteruan di antara mereka berakhir? 100% Karya asli penulis Indonesia, berbentuk "Light Novel" sangat bagus untuk dibaca bagi semua audiens.

AuthorFantasy · 奇幻
分數不夠
20 Chs

Chapter 10 - Melanjutkan perjalanan sebelumnya.

Jilid 1 | Chapter 10 - Melanjutkan perjalanan sebelumnya.

Wangi manis yang menyegarkan perlahan-lahan melintas di hidungku, pelan-pelan kubuka mataku dan melihat seluruh dunia diliputi sinar putih. Cahaya siang, yang sudah terpantul beberapa kali dari dinding es, membuat salju di sekitarnya.

Aku menggeser mataku dan melihat sebuah batu raksasa di selimuti oleh akar es biru berasal dari bawah, dengan uap yang bergoyang diatasnya. Sepertinya wangi ini berasal dari situ. Di depan batu raksasa itu, berdiri seseorang yang wajahnya lebar hanya bisa kulihat dari samping. 

"Orang-orang bilang, kalau ada batu seperti ini melayang di udara artinya hanya kematian yang menjemput. Tapi, aku sangat bersyukur berkat kalian kami bertiga selamat dari insiden ini, kalau tidak pasti kami bertiga sudah tak bernyawa lagi."

Karena aku takut menjadi sadar dengan fakta bahwa dunia ini adalah bukan rekayasa atau bukan ilusi belaka, tubuhku bisa merasakan sakit luar biasa ketika berlawanan dengan makhluk jelek itu dan hampir mati ke dalam jurang. 

Tentu saja sekarang hanyalah sinyal-sinyal kematian untuk direspon otakku. Namun aku akhirnya menyadari bahwa itu tidak masalah. Aku juga bisa merasakan sentuhan hangatnya— yang hanya terjadi di dunia ini, inilah satu-satunya kebenaran yang ada.

Aku menolehkan kepala, mengungkapkan senyuman kecil dan berucap:

"Seharusnya kamilah yang mengatakan itu, jika saja kami tidak bertemu dengan Zain-san, mungkin kami yang akan terlebih dahulu mati kelaparan waktu itu."

"Yah, intinya itu sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong."

"Itu benar, Zain-san."

Sebenarnya, aku tidak terlalu akrab dengan orang di dunia nyata atau di dalam dunia ini, bahkan mungkin sedikit di dalam dunia ini dibanding dengan di duniaku. Selama perjalanan ini terus berlanjut, aku mengenal beberapa orang, tapi aku tidak terlalu dekat dengan mereka hingga tidak bisa menyebut mereka sebagai teman.

Tapi Zain-san punya sisi yang agak bersahabat, dan aku juga tidak berpikir kalau itu tidak mengenakkan. Berpikir kalau aku mungkin bisa akrab dengannya, aku membuka mulutku.

"Jadi... apa yang sekarang kita lakukan? Apa kita terus menunggu bantuan hingga pagi?"

"Tentu! Itu yang ingin kukatakan, tapi..."

Mata Zain-san melihat ke atas kanan dari penglihatannya. Dia pasti sedang memastikan waktu.

"... Yah, kita harus melanjutkan perjalanan. Kalau tidak, takutnya nanti terlalu sore."

"Benar-benar sudah di rencanakan segalanya."

Aku tidak bisa mengatakan hal lain, Zain-san membusungkan dadanya.

"Tentu saja!" Dia berkata begitu dengan bangga. "Aku sudah berjanji untuk bertemu beberapa teman di kota Anastasia sebentar lagi. Aku bisa memperkenalkan beberapa dari mereka dan Kitarou-kun bisa mendaftarkan mereka sebagai temanmu. Dengan begitu kau bisa kapan pun meminta bantuan. Bagaimana?"

"...! Agh," tanpa sadar mataku terbuka lebar.

Aku agak akrab dengan Zain-san, tapi tidak ada jaminan kalau aku bisa akrab dengan teman-temannya. Aku merasa kalau memungkinkannya lebih besar kalau aku tidak akan akrab dengan mereka, dan sebagai akibatnya, aku juga tidak bisa berteman dengan Zain-san lagi.

"Haruskah aku...?"

Terlihat mengerti alasanku menjawab dengan tidak begitu yakin, Zain-san menggelengkan kepalanya.

"Ah, aku tidak bermaksud memaksamu. Lagipula akan ada kesempatan lain untuk memperkenalkan mereka."

"... ya. Maaf, dan terima kasih."

Segera setelah aku berterima kasih padanya, Zain-san menggelengkan kepalanya sekuat mungkin.

"Hei, ayolah. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Aku menerima banyak bantuan dari kalian. Aku akan membalas jasamu lain kali, tapi untuk sementara..." dia meraih sebuah kantongan serat kain kecil warna coklat terikat pada pinggangnya, lalu melemparkan itu ke arahku.

"...! Uh," aku menangkapnya dengan cepat sebelum kantongan itu jatuh ke tanah.

"Aku tahu ini tidak seberapa. Aku akan membalas jasamu lain kali. Kalau kita ketemu lagi."

Zain-san tersenyum lebar dan melirik ke arah langit sekali lagi.

"... Yah, baiklah sebentar lagi kita akan melanjutkan perjalanan menuju kota Anastasia dengan berjalan kaki. Aku akan membawa beberapa barang yang tersisa. Terima kasih banyak, Kitarou-kun dan Elizabeth-san. Kalian benar-benar telah menyelamatkan nyawa kami," kepalanya menunduk ke bawah sebagai tanda belas kasih yang sopan. 

"Angkat kepalamu Zain-san, kami sangat bersyukur kalian selamat."

Zain-san mengangkat tubuhnya diiringi kepala yang menghadap ke arahku. Dengan begitu, dia tersenyum kecil dengan riang dan lega. Saat itu, kupikir orang ini pasti adalah seorang pemimpin yang hebat di dalam dunia ini.

Kami berlima pun bergegas untuk mengambil beberapa barang yang tersisa dari dalam gerobak. Salah satunya adalah isi dari kotak peti sebelumnya, aku melihat ada beberapa alat penempa besi bergelimpangan di sekitar jalur jalan.

"Kalau begitu, kita kembali berjalan melewati hutan ini, tapi tetap waspada pada sekitar." 

Zain-san memberikan sebuah instruksi dan berjalan maju kedepan. Aku berpikir, apa mereka memang sengaja meninggalkan beberapa alat penempa besi tersebut. Tetapi aku tidak terlalu memperdulikannya, lalu mengikuti Zain-san dari belakang.

Kami terpaksa melakukan perjalanan melalui hutan Nelka ini karena hanya inilah satu-satunya jalan untuk menuju kota Anastasia. Aku tidak tahu persis seperti apa besar kota Anastasia tersebut, ketika aku membayangkan seakan-akan terlukis imajinasi melayang di udara bagaikan dunia RPG. Dunia dimana hanya ada para petualang, ksatria, monster dan lain-lainnya.

Pada jalur yang sama, tepat dimana pertarungan aku dan Elizabeth melawan makhluk Mitologi sebelumnya, tak terlihat satupun mata dan kepalanya yang terkapar di tanah. Seolah-olah itu sudah hilang dan lenyap tanpa jejak, yang hanya tersisa adalah bumi yang membengkak, dan berantakan. Terlebih pada saat aku tak sengaja terjatuh di lubang raksasa, besar lubangnya seperti ukurang dalam gua pada umumnya. Tidak tahu siapa yang membuat lubang sebesar itu menembus bumi, siapapun yang terjatuh pastinya berpikir kalau itu adalah kematian. 

"Itu adalah lubang raksasa, berhati-hatilah."

Aku memberitahukan mereka agar menjauhi lubang tersebut, dan memilih jalur samping mengelilinginya. Aku sempat menoleh ke kanan kiri jika ada sesuatu tanda bahaya yang menghampiri kami. 

Masalahnya adalah pria bertopeng berpakaian formal itu. Kekuatan terbilang mirip seperti sihir Astral. Tetapi baru pertama kalinya aku melihat aura hitam yang begitu mencekam sampai-sampai membangkitkan bulu tengkukku. Tapi, kekuatannya itu terlalu lemah bahkan lebih lemah dibandingkan dengan sihir Astralnya Elizabeth. Meski begitu, dia terlalu percaya diri dan pergi begitu saja.

Setengah jam berlalu, tanpa bahaya satupun kami telah berhasil melewati hutan Nelka. Akan tetapi, hal itu tidak membuat kami berhenti melanjutkan perjalanan menuju kota Anastasia. 

Di tengah perjalanan, Klein-san membuka mulutnya berniat untuk berbicara.

"Sepertinya kita sudah dekat dengan kota Anastasia."

Begitu mendengarnya, aku langsung melihat kedepan. Dari kejauhan, ini adalah dataran tinggi, aku bisa keseluruhan kota dan melihat tembok yang membentang luas dari selatan menuju ke utara, di sebelahi barat terdapat pegunungan. Belum lagi, di dalamnya terdapat sejumlah perkotaan besar, kecil serta perdesaan yang tak terhitung saking banyaknya. Hutan, padang rumput dan bahkan danau.

Sekitar 100 meter di bawah aku bisa melihat atap bangunan berwarna biru muda, kami hanya tinggal menuruni dataran tinggi ini, lalu melanjutkan perjalanan lurus sambil mengikuti permukaannya yang tidak rata, begitu sesampainya di sana.

Aku melihat tembok besar—«Labirin» yang merupakan pintu gerbang menuju ke dalam kota dan melihatnya terhubung dengan jalan masuk keluarnya.

Saat itu jam menunjukkan waktu sore, garis kecil di langit yang terlihat berwarna merah itu adalah pancaran matahari terbenam. Aku bisa merasakan dan memandang padang rumput membentang ke cakrawala yang berwarna keemasan karena memantulkan sinar matahari sore. Aku bisa menemukan diriku tidak bisa berbicara di depan keindahan Dunia Lain ini.

Tepat sesudahnya.

Dunia berubah drastis selamanya.

Berlanjut...

Note; selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!