webnovel

The Truthful Boy And A Love Story

Keharusan melengkapi biodata sistem akademik kampusnya membuat Hardi, seorang mahasiswa harus membuka kembali lacinya. Sebuah laci yang tidak hanya menyimpan semua berkas penting miliknya, tapi juga menyimpan sebuah kenangan akan kisah cinta yang tak akan bisa dia lupakan, kisah cinta yang terus-menerus menghantuinya dengan segudang misteri dan kejanggalan di dalamnya. Seperti apakah kisah cinta tersebut? Bagaimana bisa kisah cinta itu terus menerus menghantui Hardi? Misteri serta kejanggalan apa saja yang ada di dalamnya?

CTRIP · 灵异恐怖
分數不夠
28 Chs

Tidak biasa

Berjalan ke kantin dengan Anto yang mengikuti di belakang. Menyebrangi lapangan yang terik, melewati koridor diantara ruang guru dan gedung kelas di sampingnya, akhirnya deretan meja serta bangku kantin dapat terlihat oleh mataku. Saat melangkah turun dari koridor, nampak Laras, Rian, dan Aldo yang duduk berbagi satu meja serta bangku panjang.

Dengan pandangan yang masih tertuju pada mereka bertiga, kedua kakiku berjalan dengan sendirinya selaras dengan mata mendekati ketiga orang itu. Namun belum sampai di sana, pundakku ditangkap lalu ditarik oleh sebuah tangan, hingga wajah serta setengah badanku berputar ke belakang. Ternyata tangan itu milik Anto.

"Duduk sini aja Di!" ajak Anto sembari wajahnya menoleh ke sebuah meja panjang serta dua buah kursi yang mengapitnya.

Karena tidak ingin melewatkan kesempatan yang terakhir ini, aku tolak tawaran Anto dengan lembut.

"Entar aja To, gampang duduk mah! pesen makan dulu aja!"

Tanpa protes dan keluhan, Anto langsung setuju lalu mengikutiku mendekati salah satu kios penjual nasi serta aneka lauk yang memiliki antrean paling panjang. Aku memilihnya dengan harap ketika kami selesai memesan, semua tempat duduk akan terisi dan menyisakan bangku di depan Laras, Rian, serta Aldo.

Setelah hampir sepuluh menit lamanya mengantre, akhirnya kami sudah keluar dari kios itu dengan sepiring nasi beserta lauk di tangan. Saat kembali dari sana, semua tempat duduk sudah ada yang menempati, menyisakan satu kursi di pojok kantin serta bangku panjang yang berhadapan dengan Laras, Aldo, dan Rian. Tepat seperti yang kuinginkan.

Sembari menopang sepiring nasi di tangan, aku berjalan menghampiri mereka dengan diikuti oleh Anto. Menaruh piring di meja, lalu duduk di depan mereka. Seraya melempar sebuah senyum, mulut ini mengeluarkan sapaan hangat seakan kami sudah berteman sejak lama.

"Hai!" Sapaku.

"Ha...hai!" balas Laras.

Kuperhatikan bagian meja di depan mereka sangat bersih, tidak ada piring, gelas maupun bekas jajanan satupun. 'Apa mereka sama sekali tidak makan?'

"Gak pada makan?" tanyaku.

"Oh, u...dah udah tadi!" jawab Rian.

'Kenapa mereka terdengar kaku sekali bicara denganku? seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu'. Padahal beberapa hari lalu kami sangat akrab, bernyanyi, bermain, mengerjakan tugas, dan ke kafe bersama. 'Apa itu semua hanya hayalanku saja?' 'Apa semua kesenangan itu tidaklah nyata?'.

Cara mereka melihat kamipun sangat aneh. Laras bolak-balik melirikku dan Anto, Rian berpura-pura sibuk dengan handphone sambil berulang kali matanya terlihat mengintip keluar dari baliknya, sementara Aldo hanya membenamkan wajahnya ke dalam lipatan kedua tangannya di atas meja.

Sedikit kecewa dengan tingkah mereka, aku mulai mengaduk lalu melahap nasiku dengan senyap. Tak lama kemudian mereka bertiga mulai berdiri dan pergi meninggalkan kami berdua tanpa pamit di tengah keramaian kantin itu. Padahal aku sangat ingin kami berlima dapat bercakap-cakap dengan akrab selayaknya teman.

'Yasudahlah, ternyata hilangnya kontak selama beberapa hari saja bisa menghapus pertemanan'

Pada akhirnya jam istirahat saat itu aku habiskan seperti biasanya dengan makan siang bersama Anto sambil berbincang-bincang mengenai guru pengganti, kegiatanku di rumah sakit, sampai ke teori bumi datar. Cukup lama kami menghabiskan waktu di sana, mungkin hampir setengah jam, tanpa kusadari Anto sudah berdiri dari bangku sambil mengangkat piring kosong.

'Cepat banget dia makannya!'. Berbanding terbalik dengan Anto yang biasanya makan jauh lebih lambat dariku, saat itu bahkan piringku masih terisi setengah lebih.

"Cepet banget lu To!"

Anto tidak menanggapi komentarku, dia hanya melirik sembari melempar senyum ke arahku. Lalu ia berjalan ke kios itu mengembalikan piring yang baru saja dia pakai. Saat kembali dari kios dia tidak lantas duduk lagi di sebelahku, dia malah melewatiku yang tengah menganga dengan sesendok nasi melayang diantara kedua bibir.

"Duluan ya Di!" pamit Anto sambil berjalan melewatiku serta menepuk pundakku.

"Mau kemana lu? buru-buru banget!" kepalaku menoleh ke belakang seraya tangan kanan menarik kembali sendok dari mulut.

"Mau ke ruang guru sebentar, tadi disuruh Pak Budi!" sahut Anto yang mulai berjalan menjauhiku.

Yah beginilah tidak enaknya punya teman ketua kelas, saat kami sedang asik bersama selalu saja diganggu oleh "tugas" dari guru atau kepala sekolah. Walaupun ada enaknya juga seperti bisa tahu informasi-informasi penting lebih dulu daripada murid lain, tapi tetap saja tidak sebanding.

Lalu ditengah keramaian kantin, aku kembali melanjutkan menyantap nasiku yang mulai terasa pahit entah mengapa. Dengan meninggalkan rasa tidak enak dilidah dan kerongkongan, aku mulai berdiri kemudian berjalan meninggalkan meja dengan piring bekas yang sudah kosong isinya.

Berjalan santai ke kelas gerombolan perempuan di depan yang sama sekali tidak kukenal. Tapi dilihat dari angka dua belas romawi terjahit pada lengan atas perempuan berjilbab paling belakang dari gerombolan itu, sepertinya mereka setingkat denganku.

Bel tanda waktu istirahat berakhir berbunyi bersamaan dengan turunnya perempuan itu dari koridor lalu perlahan menyebrangi lapangan, dan akhirnya masuk ke kelasku. Sempat terdiam sesaat di depan pintu kelas yang terbuka kelas sempat bingung serta penasaran dengan identitas dari perempuan itu. Namun rasa bingung dan penasaran itu hilang ketika perempuan itu menoleh ke kiri memperlihatkan separuh wajahnya. Ternyata perempuan itu adalah Rina.

Aneh sekali, padahal kami sudah sekelas dari kelas sebelas bahkan pernah sesekali satu kelompok. Walaupun kami jarang sekali mengobrol tapi kenapa tadi aku seperti baru pertama kali melihatnya. 'Parah banget, masa temen sekelas sendiri gak kenal?'

Dengan rasa bingung terhadap diri sendiri di kepala, akupun masuk ke kelas. Terlihat kelas sudah ramai penghuninya yang berkumpul sesuai dengan kasta... maksudku kelompok bermain mereka. Selaras dengan desah pelan dari mulut, aku perlahan duduk di kursiku.

Ahhhh.

Sudah satu jam lebih berlalu namun Pak Heru, guru fisika pengganti kami dan Anto tidak juga datang ke kelas. Beberapa menit kemudian ada sebuah tangan membuka pintu kelas yang membuat semua pasang mata tertuju kesana. Saat sang pemilik tangan maju menunjukkan sosoknya, semuanya kembali pada kesibukkannya masing-masing diiringi gerutuan.

"Yaampun kirain siapa!"

"Bikin panik aja dah!"

Tentu saja semua menggerutu, krena orang yang melewati pintu itu adalah Laras dan teman-temannya dengan wajah menunduk bukanlah Pak Heru yang ditakutkan seluruh murid.

Sampai bel tanda waktu pulang berbunyi, baik Pak Heru maupun Anto tidak kembali ke kelas. Saat aku keluar dari pintu kelas dengan ransel dipunggung, terlihat Anto ditengah lapangan sedang berjalan kesini.

"Hey To! kemana aja lu?" sapaku.

"Udah mau pulang Di? lu tunggu dulu aja di parkiran, gua mau beres-beres dulu!"

"Ohhh, Oke!" kemudian Anto melewatiku begitu saja dan masuk ke dalam kelas.

'Sepertinya Anto lagi banyak pikiran, dari tadi tingkahnya gak kaya biasanya'

Akupun berjalan menuju parkiran sekolah

Hai!

CTRIPcreators' thoughts