Pernah kah engkau terpukau pada pandangan pertama?. Detik saat engkau melihatnya badan mu membatu, pandangan kaku, bergetar jiwa, seluruh kata dalam benak pikiran mulai riuh memilah susunan huruf untuk menggambarkan betapa terpesona nya engkau pada sesuatu tersebut. Jika engkau pernah merasakannya, maka Ya, hal itu yang aku rasakan juga sekarang.
Wajahnya yang cantik jelita, rambut nya yang hitam panjang terurai, layaknya sosok dewi. Kulit putihnya tetap terjaga meski terpapar sinar matahari yang lolos dari celah batuan diatas sana.
Sejak ku mendengar cerita mu pertama kali, ku pikir engmkau merupakan makhluk malang yang tampil mengerikan. Maafkan semua sangkaan buruk ku pada mu selama ini. Aku sungguh terpana dengan wajah cantik mu. Rafflesia. Meski demikian, engkau kini masih dilingkup kemalangan, betapa keji nya orang-orang memotong kepala mu kemudian digantung pada sebuah altar.
Ujung ruangan pada lorong ketiga adalah sebuah ruangan dengan jurang sangat dalam, antara ujung pijakan dengan ujung lainnya hanya dipisahkan oleh sebuah jembatan kayu. Dibawahnya terlihat samar ribuan ular berbisa, mendesis, dan memfokuskan pandangan nya pada ku layaknya target buruan.
Altar diujung sana berbentuk lingkaran dengan 6 tiang melingkar, dibawahnya terlukis mantera-mantera. Setiap tiang menjerat leher Rafflesia, mengalirkan aura berwarna kemerahan tanda segel masih dalam keadaan aktif.
Aku perlahan menyebrangi jembatan, menggenggam tali pembatas dan mencoba tetap dalam keadaan tenang. Berkali-kali jembatan bergoyang, pijakan kayu nya berdenyit kropos tanda hanya mampu disebrangi sekali jalan. Ular dibawah sana mengikuti arah aku berjalan, dibatasi tebing tinggi tidak menghentikan usaha-usaha mereka mencoba mendaki.
Perlahan tapi pasti aku telah berhasil berada didepan altar. Ku ulurkan tangan langsung ke tengah, berusaha meraih potongan kepala Rafflesia namun terhalang dinding pembatas yang mampu melepuhkan siapapun yang melewatinya. Dinding ini terbuat dari semacam mantera api tak terlihat.
Menebas bagian tiang tidak memberikan efek sama sekali, dibuat sangat kokoh. Menghapus kalimat mantera pun percuma. Pandangan ku sibuk melihat sekeliling, berusaha mencari petunjuk sekecil apapun. Sementara itu, suara mendesis ular semakin mendekat. Ku lihat ke mulut jurang ribuan ular saling menopang tubuh satu sama lain guna mendekati permukaan.
"Tidak ada waktu lagi, aku harus cepat menemukan petunjuk" pikir ku.
Ular yang tadi dibawah jurang telah berhasil naik, meski dalam keadaan terpojokan aku melihat sesuat dibawah jurang sana. Aku melihat sebuah batu berbentuk cawan yang tadinya tertutup ular. Tanpa pikir panjang ku putuskan untuk terjun ke jurang, ku tancapkan armblade pada dinding-dinding untuk mengurangi kecepatan turun sembari membelah ular-ular itu sepanjang jalan. Darah-darah ular yang terbunuh mengalir pada sebuah saluran kecil kemudian terhimpun dalam wadah semacam cawan tersebut. Semakin penuh oleh darah, diatas sana terdengar suara runtuh batuan tiang penyangga altar.
"Ternyata ini yang dimaksud, penuhilah cawan oleh darah yang tercampur racun ular.". Ucap ku sembari mulai menebas membabi-buta.
Ular yang hinggap di dinding-dinding meloncar satu-persatu, mengarahan taringnya dan menyemburkan racun dari kejauhan. Sisanya mulai mendekat cepat berusaha menancapkan taring. Bukan musuh yang berat tapi jumlahnya tetap saja merepotkan. Tidak sedikit racun itu terserap dalam tubuh hingga membuat sedikit demi sedikit aku kehilangan kekuatan, tapi hujan darah ular tidak buruk juga untuk membuat armblade lebih prima.
Dua, tiga, dan sekarang empat cawan telah terisi penuh darah. Serangan demi serangan ku lancarkan semakin cepat. Nafas mulai tidak beraturan tapi armblade semakin menjadi-jadi. Bermandikan hujan darah bercampur racun.
Tibalah pada suara terakhir ambruknya tiang penyangga altar, dalam keadaan penuh darah aku bergegas menuju kembali ke altar. Benar saja, kini rantai pengikat leher berserta altar telah sepenuhnya hancur.
Kepala Rafflesia tergeletak dimeja altar. Wajah cantik polos nya adalah pelipur lara kerja keras ku dibawah jurang sana. "Sudah waktunya aku kembali, maafkan aku Rafflesia, izinkan aku membawa mu dalam keadaan kotor"
Rein telah menunggu ku ruangan pertama, ia menyandarkan punggung nya ke dinding memberikan isyarat tangan bahwa ia telah membawa potongan tubuh sisanya. Artinya selama aku menyelesaikan lorong 3, Rein menyelesaikan lorong 4 dan 5.
"Lengkap sudah, 2 kaki, 2 tangan, dan 1 kepala. Kemudian tengoklah sebelah sana" Ujar Rein sembari membawaku ke tempat batu prasasti. "Kau lihat, ada anak tangga yang menuju ke ruangan selanjutnya"
"Kalau begitu mari bergegas" jawab ku singkat
"Hoooh.. semangat sekali kau Vea. Secantik itu kah Rafflesia? sedari tadi kau terus mencuri pandangan ke wajahnya.. hoo hoo.." goda Rein
"Sudahlah, kita bicarakan lain kali" balas ku sembari menyembunyikan mimik malu.
Kemudian Aku dan Rein sembari membawa potongan-potongan tubuh Rafflesia terus menuruni tangga cukup lama hingga akhirnya sampailah pada suatu ruangan gersang keabu-abuan. Ruangan yang dipenuhi akar hingga tanaman rambat yang kering mati.
Aroma racun Rafflesia seperti yang diceritakan memang memenuhi seluruh ruangan ini. Asap keunguan muncul dari sisa potongan badan dimeja ditengah ruangan.
"Bagaimana selanjutnya Rein? kata ku sembari mentup hidung dan mulut
"Asap ini memang benar-benar beracun. Tapi tenang saja, hirup sepuasnya, kita tidak akan mati" ucap Rein yang malah menarik nafas dalam-dalam "Armblade bagian dari entitas kematian, aku yang menjadi bagian bawahannya tidak akan terjadi apa-apa. Coba saja"
Benar lah apa yang diucapkan Rein, aku yang telah melepas penutup mulut tidak sedikit pun merasa hal yang aneh. Bahkan Aroma yang tadinya tercium busuk sekarang tidak tercium sama sekali. "Sekarang waktunya menyatukan semua potongan tubuh"
Satu persatu potongan tubuh aku pasangkan kembali ke tempat semua. Ajaibnya ketika potongan tubuh didekatkan ke bagian badan terjadi semacam tarikan magnet yang langsung menarik dan menutup bekas luka potongan. Tangan, kaki dan terakhir bagian kepala. Tubuh Rafflesia kini telah tersambung. Lalu "Wuuussshhhh...."
Asap beracun Rafflesia intens dikeluarkan tubuhnya menutup ruangan dengan tebal. Tubuhnya mulai bangkit. Badannya mulai berdiri dibopong oleh kabut tersebut kemudian membentuk semacam sayap kupu-kupu. Badannya yang diawal tanpa sehelai kain, kini tertutup rajutan bunga membentuk semacam pakaian dan rok mini berbentuk bunga Rafflesia, seperti namanya. Kabut racun pun lambat laun memudar seiring ia mulai membuka mata.
Rafflesia bangkit. Ia memalingkan pandangan ke seluruh isi ruangan. Menggerakan kedua lengan dan kakinya menguji kesesuaikan tubuhnya sekarang. Hingga tiba ia melempar pandangan padaku dan Rein kemudian berkata "Kalian berdua siapa?."
"Namaku Hevea, yang disampingku ini Rein." jawab ku
Rafflesia terdiam sejenak, mengarahkan pandangannya ke langit-langit dan mulai menangis "Aku telah dibangkitkan rupanya..."
Aku dan Rein sama-sama terdiam. Entah apa yang bisa aku katakan. Bahkan dalam situasi sekarang aku tidak tahu ia menangis karena senang hidup atau malah sebaliknya, menangis karena tidak dapat menemui kematian seperti yang ia dambakan. Layaknya remaja pada umumnya, tangisannya begitu polos, murni akan kerinduan. Ketika tangisannya mulai mereda, aku beranikan diri memulai percakapan
"Rafflesia, aku sudah mendengar sedikit cerita tentang dirimu. Tentu saja, bukan berarti aku paham akan semua nasib malang yang menimpamu selama ini, Tapi izinkan aku menyampaikan satu hal. Aku membutuhkan dirimu. Aku akan mengemban semua nasib malang yang selama ini kau pikul, aku akan membawa nama musibah yang orang-orang sematkan, aku akan menjagamu selama kau terus berada disisiku. Jika selama ini kau mencari kematian, maka aku sendiri yang akan memberimu kematian pada waktunya. Hiduplah untuk sekarang, aku sangat memerlukan dirimu"
Rafflesia mengusap air matanya "benarkah kamu membutuhkan ku? sungguh kah itu?" ucapnya sembari sesegukan.
"Aku bersumpah atas kematian."
"Aku sepenuhnya belum percaya. Tapi baiklah, aku akan menguji kesungguhan kalian" jawab Rafflesia sembari menjabat tangan ku sebagai bentuk perjanjian.
Pada momen kami bertiga berkumpul. Sekali lagi Rein menjelaskan keadaan yang sedang terjadi, terkait armblade, kiamat, setan, hingga ide nya terkait merekrut Rafflesia. Rafflesia mendengarkan dengan, tidak ada raut kaget diwajahnya.
Rein kemudian menyarankan ku untuk membaca mantera khusus agar Rafflesia masuk ke dalam bagian 'Party'. Party atau kelompok yang dimaksud disini ialah mereka yang mengikat janji darah untuk saling percaya dan terikat satu sama lain. Artinya ketika Rafflesia masuk ke dalam 'Party', Aku memiliki komando dan kejujuran mutlak atas apa yang dilakukan Rafflesia. Tentu saja ini bukan berarti menjadi budak. Anggota 'Party' yang berbohong akan langsung dapat diketahui dan dihukum sesuai perintah 'Pemilik Party'.
Membawa Rafflesia kepermukaan memiliki masalah. Aroma racun yang ia keluarkan adalah hal yang tidak bisa ia kontrol sama sekali. Tapi setelah Rafflesia masuk kedalam Party, aku memiliki kemampuan untuk membagi beberapa kemampuan Armblade kepadanya. Salah-satunya adalah kemampuan 'menyerap', dengan begitu aroma racun tidak akan keluar sama sekali.
Rafflesia meloncar kegirangan. Ini adalah kali pertama seumur hidupnya (ribuan tahun lamanya), aroma atau bau racunnya menghilang. Setidaknya Mimik wajah nya sekarang lebih baik.
"Jadi, kemana perjalanan kita selanjuntya Rein?" ucap ku
"Rafflesia telah bergabung. Armblade sudah terisi lumayan darah. Kemampuan kita baru saja bertambah. Mari kita langsung saja ke Ibu Kota Kerajaan. Mother Of Plants"
"Mampu kah kita melawan para warden disana?"
"Sejujurnya sangat sulit, bahkan kita masih tetap kalah. Tenang saja, kita akan bergerak sedemikian rupa untuk mencari informasi yang lebih jelas terkait kedatangan musuh utama. Kita juga harus melihat secara langsung mana saja setan yang sedang menyamar."
"Penuh risiko tapi tidak ada jalan lain. Baiklah. Kita berangkat esok hari" Ucap ku dengan tegas.
Dari daerah pinggiran menuju ibu kota jelas memerlukan waktu yang tidak sedikit. Masih banyak misteri yang belum terkuak, terutama dimana musuh utama?. Bertambahnya satu orang belum tentu dapat merubah takdir gelap, perjalanan ini akan semakin sulit dan jauh dari apa yang kita harapkan selama ini. Apa yang akan kami temui disana?