"Sialan. Ini tidak seharusnya begini."
Jeje melarikan diri sembari terus mengumpat nasib sial yang menimpanya. Semua rencananya berjalan dengan sangat baik. Upayanya menjilat Dimas sudah berjalan lancar. Dia pun telah mengumpulkan ornag-orang yang bisa dia kendalikan, tapi monster sialan itu diluar ekspektasinya.
Padahal seharusnya kekuatan Dimas menjadi kelemahan absolut untuk Bagastara. Lelaki sialan itu tak pernah berseteru dengan mereka dan memilih menghindar. Bahkan, dia sempat terpojok dan melarikan diri dari kelompok mereka sebelumnya, tapi bagaimana manusia sialan itu bisa menjadi kuat dan memiliki senjata yang begitu mengerikan?
Senjata itu bahkan melahap atribut cahaya milik Dimas.
"Seharusnya cahaya mengalahkan bayangan!"
"Je, gimana, nih?"
Bayangan tidak akan bisa mengalahkan cahaya Dimas, tetapi kenyataan itu menghantamnya seperti gada raksasa.
Sialan.
Persetan.
Jeje tidak peduli pada orang-orang itu. Dia hanya perlu sembunyi sampai waktu habis. Setelah itu dia akan melarikan diri, mencari orang lain untuk ditipu. Bila melihat quest yang muncul beberapa hari lalu, bisa dipastikan kota lain akan memiliki quest yang sama. Dia akan mencari kota lain dan menjauh dari monter mengerikan bernama Bagastara itu.
Lagi pula, kota ini akan musnah. Grassland akan musnah bila monster tanpa hati itu menjadi pemimpinnya.
Tidak ada jalan lain.
"Sembunyi aja. Bagastara sudah mendapatkan titlenya, nggak mungkin kita bisa merebut title itu. Kota ini udah tamat."
Dinar menghembuskan napas. Skill actnya sudah lepas sejak kekuatan yang tak tertahankan dari Bagastara menyerangnya. Dia dan Jeje sudah melakukan penipuan-penipuan kecil sejak mereka masih SMA. Mereka tinggal tanpa orang tua dan menggunakan Dinar sebagai wanita dan mulut Jeje sebagai penuntun. Alhasil, mereka berhasil menyambung hidup dengan cara itu.
Kotor? Jahat?
Persetan.
Jeje dan Dinar belajar dari jalan yang mengerikan. Jalanan adalah tempatnya ditipu atau menipu. Bila dia tak berjalan dengan kaki sendiri, tidak ada makanan yang akan dilempar ke mulutnya.
Hal itu pun tidak berubah meski mereka dimasukkan ke dunia fantasi konyol yang penuh kekuatan dan skill. Sialnya, mereka bahkan tidak memiliki skill untuk menyerang. Hanya [Act] miliknya dan [Glib Tongue] milik Jeje yang berguna. Kedua skill itu seolah menunjukkan identitas asli mereka takkan pernah bisa dihapus.
Namun, sebaik apapun skill dalam menipu, bila mereka dihadapkan oleh kehacuran total, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka harus lari. Sembunyi. Memulai dari awal.
Sama seperti ketika dia tertangkap menipu di Semarang. Mereka sembunyi. Lari. Memulai lagi di Malang sebelum berlian sialan itu muncul dan menarik mereka ke dunia sialan ini setahun setelahnya.
"Gimana soal quest spesial itu?"
Jeje yang sedang mencoba membuka ruang alkohol sebuah bar untuk persembunyian sementara mereka menatap Dinar tak percaya.
"Jangankan membunuhnya! Kita saja tidak tahu siapa Randy siapalah itu."
"Itu akan memberi kita kesempatan, kan?"
"Nar! Kita sudah pernah mencoba buka skill, apa yang keluar?"
Wajah Dinar mengeras mendengarnya.
"Skill tidak berguna. [Fox Twin]. Skill yang hanya bisa diaktifkan bila salah satu dari kita mati."
Jeje tersenyum miris. "Dunia tidak adil pada kita dan aku tidak berniat membiarkan salah satu dari kita mati," dia membuka pintu yang akhirnya mampu dia bobol dari kuncinya, "Masuklah! Kita akan sembunyi hingga quest sialan itu berakhir."
"Kalian memilih tempat persembunyian yang enak sekali. Apa menurutmu akan ada rum di sana?"
Jeje segera berbalik dan menatap Bagastara yang sedang turun dari tangga tanpa suara tidak percaya. Matanya bergetar dalam ketakutan dan pikirannya kacau. Dia segera melirik tangan Bagastara yang masih menggenggam sabit yang sekarang memiliki mata yang lebih kecil hingga menyerupai cangkul. Meski begitu, sabit itu masih tetap menakutkan.
Apalagi dengan darah yang menetes dari mata sabit ke lantai. Suara tetesan darah itu terdengar jelas di ruangan yang sepi.
'Bagaimana bisa Bagastara sampai di sini secepat itu?'
Dinar meneguh ludah. Tubuhnya gemetar ketakutan. Mata gadis 24 tahun itu berfokus pada lawannya tanpa berani melirik ke arah lain. Keringat dingin meluncur bersama keringat dari pelarian sementara mereka.
Bagastara membuka mulutnya lagi. Suaranya tenang seperti air.
"Kau tahu apa sulit dari membunuh seseorang?"
Otak Jeje bahkan tidak sempat memikirkan apa pun tentang pertanyaan Bagastara. Dia hanya fokus pada mencari cara untuk membuat mereka berdua yang selamat di dalam ruangan itu.
Bagastara tidak melewatkan gestur kecil dari tubuh ketakutan itu. Dinar sudah ketakutan setengah mati. Matanya takkan lepas darinya dan bila pun Bagastara mendekat, gadis itu akan tersentak dan mulai menangis. Matanya saja sudah mulai memerah.
Melihat mereka yang gemetar, Bagastara tersenyum dingin.
"Yang paling sulit saat membunuh orang itu adalah menyembunyikan tubuh mereka agar kita tidak ketahuan. Dunia ini menyelesaikan permasalahan yang terdalam dari dunia kita yang lama. Bukan kah begitu? Para Penipu?"
Dia mengangkat tangan. Bayangan di tangannya bergerak-gerak menyeramka. Bayangan itu perlahan-lahan mengarah pada Dinar. Melihat hal itu, Jeje segera melepas pintu menuju gudang penyimpanan alkohol dan melompat pada Dinar untuk menyelamatkannya.
Bayangannya menusuk dinding kayu.
Tubuhnya gemetar dan dia mencoba menarik gadis itu berdiri. Meski begitu, tidak banyak yang bisa mereka lakukan dengan serangan jarak jauh Bagastara di ruangan yang kosong ini. Jeje menendang meja dan mencoba bersembunyi di belakang meja itu bersama Dinar yang terengah-engah.
Akan tetapi, bayangan Bagastara lebih tajam dan lebih presisi dari peluru. Bayangan itu segera menembus kayu seperti sedang menembus kue. Dua Penipu untuk melompat dari meja ke meja lain, tetapi mereka adalah tikus yang terkurung.
"Sialan!" umpat Jeje. "Dinar, sadar!"
Bagastara menghentikan serangannya sebentar dan tertawa karenanya. Dia bisa mendengar orang-orang itu mencoba mengambil napas di balik meja yang telah berlubang.
"Ah! Ternyata kalian tetap menganggap satu sama lain berharga. Akan tetapi, kalian mengkhianati orang lain yang tak ada hubungannya dengan kalian."
Jeje tertawa di sela-sela napasnya yang berat. Bagastara sempat mendaratkan serangan ke lututnya. Tidak cukup dalam untuk membuatnya mati, tetapi nyerinya membuat Jeje kesulitan melarikan diri.
"Kau hanya pembunuh rendahan yang membunuh orang-orang yang tak bersalah. Kau tak pantas mengatakannya! Aku yakin bila itu orang yang kau sayangi, kau takkan mau membunuhnya."
Bagastara tertawa semakin keras. Tawa itu menggaung dan bayangan bergetar.
Mata Jeje melebar ketakutan. Jantungnya terasa diremas oleh kegelapan.
Ada yang salah. Bagastara adalah salah satu pertarung paling bersih. Dia memiliki kekuatan elegan dan cara bertarung yang paling tenang diantara semua orang Jeje pernah temui. Akan tetapi, Bagastara di depannya terasa lebih mengerikan.
Dinar menggenggam tangannya. Matanya merah karena ketakutan.
"Iblis. Dia iblis."
Bersamaan dengan ucapan Dinar, Bagastara mengaku dengan suara yang ceria.
"Aku membunuh orang yang paling kucintai di dunia."