Tidak seperti biasanya, Damar memulai ceritanya dengan ragu.
"Singkatnya, kemarin aku pergi mencari informasi tentang kota ini karena aku yakin kamu takkan diam saja. Jadi, kupikir, lebih untuk mengetahui lebih banyak apakah aku bisa mengatasi tempat ini atau tidak."
Aku menarik kursi di sebelah ranjang sesuai dengan petunjuk Damar dan mendudukinya.
"Lalu apa yang terjadi?"
"Semalam aku mencari ke wilayah tengah dan bertemu Johan, Jihan, dan Andira. Mereka sedang bersembunyi. Saat itu aku sedang bertarung dan, seperti yang kukatakan tadi, [Elementalist] terlalu sulit untuk dikendalikan. Ini karena aku."
Ekspresi Damar membuatku merasa bersalah. Meski bicaranya tajam, ucapan Damar tidak pernah tak beralasan. Dia mengatakannya karena merasa itu benar. Dia memintaku untuk melupakan kota ini karena merasa tak bisa mengalahkannya. Perasaan itu datang bukan hanya karena ketidak percaya dirian, tetapi juga pengalaman.
Meski Damar mampu membunuh orang-orang itu tanpa belas kasih, tentu saja dia bukan pembunuh berdarah dingin yang akan membunuh semua orang. Apalagi Andira yang sedang bersembunyi.
"Padahal lo kelihatan kayak penjagal yang nggak peduli siapa yang lo bunuh. Tapi, ternyata gue salah."
Damar mendengus. "Aku hanya berpikir secara rasional. Aku membunuh Gerr dan anak buahnya karena dia memang pantas dibunuh, tapi Andira ...." Dia terdiam, kemudian menggeleng. "Intinya adalah aku harus mencari cara lain. [Elementalist] tak bisa digunakan di kota."
Yah ... sisi Damar yang ini membuatku lebih lega. Artinya dia masih memiliki sisi kemanusiaan yang tersisa.
"Pahlawan pun pada akhirnya membunuh yang jahat. Kalau lo masih merasa bersalah karena melukai mereka yang nggak bersalah dan sehabis itu takut menggunakan kekuatan lo berarti lo emang orang baik, Mar. Nggak usah sok-sokan jadi orang jahat, deh. Nggak cocok."
Damar menatapku tajam, tapi aku justru menjulurkan lidah. Dia pun mendengus.
"Kamu sendiri. Gimana pandanganmu soal membunuh?"
Itu pertanyaan yang cukup mengejutkan. Aku menyentuh dagu.
"Kalo lo tanya gue. Gue sendiri juga bukan orang yang naif."
Damar mendengus tidak percaya.
"Loh! Gue serius. Kalo gue naif, gue nggak mungkin menggunakan skill gue ke lo buat bunuh Gerr." Damar memutar bola mata dan aku menyeringai. "Tapi, bedanya, lo bisa tutup mata soal kejadian yang lo anggap nggak menguntungkan, sementara gue nggak bisa. Bagi gue, kalo bisa menyelamatkan orang lain, meski harus membunuh penyebabnya, gue nggak masalah. Asal semuanya selamat. Lagipula, lo sendiri yang bilang, menang di dunia ini berarti membunuh orang lain."
Damar tertawa, seolah baru saja lega akan sesuatu.
"Yah, kamu benar. Itu dia bedanya kamu dan aku. Tapi pada akhirnya, aku lega kamu nggak senaif itu."
Aku tersenyum lebar. "Yah! Gue juga lega lo nggak sejahat itu."
Saat kami sedang saling tertawa, Andira di tempat tidur membuka sedikit matanya dan dengan suara serak berkata, "Gue seneng sih lihat kalian akur gini, tapi jangan nembak di depan gue, ya?"
"Anjir!"
"Andira? Kamu sudah sadar?"
Andira melirik ke Damar. "Kalo gue belum sadar, nggak mungkin gue bisa ngomong sih." Dia kemudian tertawa serak. "Thanks, ya. Kita semua selamat berkat lo."
Damar mengangguk. "Aku ambilkan minum dan akan mencarikan obat untukmu."
"Gue ikut, dong!"
"Di sini saja."
Pintu itu pun tertutup.
Andira tertawa serak. Saat dia mencoba bangun, aku menahannya.
Aku menggunakan [Eyesight] padanya. Durabilitynya hanya tinggal 10 dari 45. Status yang lain masih cukup tinggi kecuali mana yang tinggal 40 dari 60. Skillnya masih berupa [House Keeper], [Shield], dan oh padahal dia punya [Fire Resistance] tapi levelnya masih di bawah Damar, jadi [Fire Resistance]nya tak bisa menyelamatkannya.
Aku mencoba mencari skill yang belum dibuka dan menemukan [Regen] dan juga [The Burning Soul].
Melihatku hanya diam saja, Andira kembali berkata, "Halo pak Dokter!"
"Yang nolongin lo si anak kecil tadi."
Dia menyeringai jahil. Kemudian mengernyit nyeri. Dia mengaduh pelan.
"Gimana keadaan lo?"
"Udah mendingan sih. Luka bakarnya emang banyak, tapi [Fire Resistent] gue bantu banget. Meski nggak nyangka apinya Damar jauh lebih kuat dari [Fire Resistent] gue."
"Sorry ya."
"Ngapain minta maaf? Damar menolong kita dan malah bantu anak-anak nyari tempat baru. Kekuatan Damar memang begitu, jadi ini tak terelakkan. Lagipula, gue emang kelihatannya aja parah, tapi nggak separah itu kok. Ngomong-ngomong, gue Andira Rahmawati. Siapa nama lo?"
Aku tertawa ringan. "Gue ..."
Belum sempat Randy menjawab pertanyaan Andira, Damar telah menyerobot terlebih dahulu.
"Dirga."
Ah benar. Quest sialan itu. Tentang nama saja aku tak bisa jujur.
Aku tersenyum dan melirik Damar untuk melanjutkan kebohongan ini.
"Gue kira mau pakek Dirr."
"Nggak usah. Dia Player juga."
Aku mengangguk.
Damar meletakkan nampan berisi air putih ke depan Andira. Aku membantu gadis itu duduk.
"Heal Tari sudah menyembuhkan sebagian besar luka dan ketahananmu sendiri dari awal sudah bagus. Beruntung ada [Fire Resistance], bila tidak kamu mungkin nggak akan selamat. Tinggal luka luar, aku akan mencari obatnya. Makanannya belum matang."
"Belum matang? Gue kira mereka beli makanan siap makan."
"Beli makanan siap matang hanya akan memberi lawan informasi berapa banyak orang di sini."
"Oiya. Lo istirahat aja dulu, Dira. Gue bantuin anak-anak."
Andira mengangguk dan berterima kasih.
Aku meninggalkan Andira dan Damar sendirian. Samar-samar, aku bisa mendengar mereka mengobrol sebelum akhirnya benar-benar hilang ketika pintu tertutup.
OooOooO
Damar menarik kursi yang tadi diduduki Randy menjauh dari tempat tidur dan duduk di sana sambil menyilangkan kaki.
"Aku perlu bantuanmu."
"Gue kan dah bilang bakalan bantu apa pun selama nggak bikin anak-anak terlibat."
"Aku sedang bicara denganmu, X."
Damar menatap Andira lekat-lekat. Tak lama, dia bisa melihat senyum lebar yang merekah di mulutnya, diikuti dengan warna matanya yang berubah. Sihir kemerahan itu kembali dan mengelilingi seluruh ruangan.
Sejak melihat Andira bangun, Damar tahu itu bukan Andira. Luka bakarnya terlalu serius untuk sembuh hanya dengan setengah hari dan bahkan bicara tanpa serak. Meski dia bersikap sebaik Andira, tetapi kesehatan yang tiba-tiba itu takkan menipunya.
"Apa dia mati?"
"Siapa? Andira?"
Damar mengangguk.
"Jangan sedih begitu! Dia tidak mati. Hanya tidur. Dari pada mengkhawatirkannya, bukankah ada hal yang lebih mendesak sekarang?"
Damar mendengus. "Bukankah kamu yang merasa ada hal yang mendesak karena ada di sini sekarang?"
Makhluk itu tertawa puas. "Kau memang tak pernah mengecewakanku, Nak. Seperti yang kau lihat, A sedang membuat pergerakan."
"A?"
Mata Makhluk itu berkilat nakal.
"Seseorang yang sama sepertiku."
"Bajingan-bajingan sialan yang membuat Dunia ini."
"Ouch!"
Damar mendengus tak peduli pada X yang pura-pura terluka karena perkataannya.
"Aku perlu bantuanmu untuk menanganinya. Aku bisa menangani Player-Player, tetapi bila seseorang yang memegang sistem Jendela Status ikut campur, meski aku pun takkan bisa melakukan apa pun."
"Anak pintar sialan," umpatnya tetapi kilat matanya penuh kebahagiaan. "Aku takkan bisa melakukan banyak hal besar untuk menghentikan A, Nak. Posisiku tidak sekuat itu, tetapi aku bisa menjanjikan kejadian semacam ini takkan terulang lagi. Untuk yang sudah terjadi, yah, kau harus menemukan jalan keluar sendiri."
Damar berdecak tidak puas.
"Itu semua yang bisa kulakukan saat ini," katanya. "Aku akan memberimu satu saran, Nak. Bekerja samalah dengan Bagastara."
Damar tidak menyembunyikan kejijikannya saat nama itu disebut. Sehingga Makhluk itu tertawa semakin keras.
"Tahanlah, Nak! Dia satu-satunya orang yang tidak akan membunuh Randy."
Itu saran yang terbaik untuk keadaan ini. Akan tetapi, bila dia meminta bantuan pada Bagastara, sama saja artinya dia menyerahkan Randy begitu saja. Kekuatannya yang sekarang takkan mampu melawan Bagastara. Lebih tepatnya, kurang tepat. Kalau saja dia memiliki skill yang berhubungan dengan cahaya.
Haruskah dia meminta Randy mencarikan skill semacam itu?
Tidak.
"Kau sudah memiliki jawabannya. Kenapa ragu-ragu sekarang?"
Damar enggan menjawab.
"Terserah. Itu pilihanmu, Nak."
Damar berdecak tak rela. "Aku ingin kamu memberikan Randy skill untuk pertahanan diri. [Shield] atau apa pun, terserah. Apa pun yang kulakukan takkan berguna kalau dia masih serapuh itu."
"Bantu dia mencapai exp 200 dan aku akan memberikan skill itu padanya." Meslihat ketidak puasan Damar, Makhluk itu kembali berkata, "Jangan memaksa, Nak! Bila pergerakanku tercium Admin lain, bukan hanya aku yang akan terkena masalah."
"Aku bisa mengurusnya."
Makhluk itu tersenyum puas. "Ah sebagai bonus. Aku akan membantumu menggunakan tubuh anak ini. Jangan berharap skill luar biasa karena anak ini lemah sekali!"
Damar mengerutkan kening.
"Randy dan anak-anak itu takkan sadar."
Damar mengangguk.
Tak lama kemudian, cahaya kemerahan itu menghilang. Bersamaan dengan itu, Randy mengetuk pintu. Dia masuk sambil membawa nampan berisi sup.
Mata Andira kembali menjadi hitam kecoklatan dan dia sedang melambai ringan.
"Loh, Andira kenapa duduk?"
Andira mengulas senyum riang. "Gue udah baik-baik saja, kok."
"Oh. Ya udah, gue kasih makanannya nanti aja kali ya."
"Ran!" panggil Damar. Randy mengangkat alisnya bingung. "Jangan kaget, tapi ... aku ingin kamu menolak rencana ini."