"If only I could, I wanted to ask you. Why did you do that back then? Why did you kick me out?"
***
Apa-apaan ini! Kenapa dia terus mengikutiku?Harusnya dia berhenti bukan terus mengikutiku! Bukankah kelasnya berbeda gedung denganku?
Aku bergegas menghentikan langkah. Berbalik dengan cepat ke arahnya yang masih melangkah mendekat. Duk! Suara kepala mungilnya menubruk dadaku. Tidak terlalu keras namun cukup membuatku sedikit mundur. Geez, aku tahu dia sengaja. Dasar-
"ma-maaf. Aku tidak sengaja, Yogi. Aku hanya-"
"Udahlah, gue udah bosen denger lo minta maaf. Bisa nggak sih lo berhenti ngikutin gue!" aku sudah tidak bisa menahan rasa kesalku kali ini. Aku tahu ini berlebihan. Terlalu berlebihan berteriak di lorong kelas penuh dengan para siswa di pagi yang cerah ini. Lihat saja, beberapa kepala sudah menoleh ke arahku dan cewek didepanku ini dengan tatapan penasaran.
Ah, persetan dengan mereka. Yang terpenting adalah saat ini aku harus menyelesaikan urusanku dengan cewek di depanku ini. Sudah malas rasanya melihat dia. Kini dia tertunduk menggenggam sesuatu. Dia mengangkat wajahnya kemudian sembari menunjukkan senyumannya. Benar kan'? dia memang pembohong ulung dan aku takkan tertipu. Tangannya terangkat mengarahkan sebuah kotak bekal yang sedari tadi ia pegang.
"Ini ada titipan dari mama. Dia ingin kamu memakannya."
Aku mengangkat sebelah alisku, memandangnya dengan bengis. Aku tahu itu hanya bualannya. Tante Ranti tidak mungkin memasakkan makanan untukku karena beliau dan suaminya sedang pergi ke luar kota. Pasti ini masakkannya.
"lo makan sendiri aja, gue udah kenyang. Gue tahu ini bukan masakan Tante Ranti." Lebih baik aku menolaknya daripada aku keracunan nantinya. Namun dia sama sekali tak beranjak malah makin mendekatkan bekal itu ke arahku. "Kumohon, jangan seperti ini. Tenang, ini bukan masakanku tapi mama. Nanti mama bisa sedih kalau makanannya tidak kamu makan," rengeknya berharap aku menerima bekal itu.
"Gue udah bilang kan, gue udah kenyang."
"Ini bisa kamu makan nanti siang kok."
"Gue bilang udah kenyang. Nggak butuh makan. Paham nggak bahasa gue?!" benar kan? Kesabaranku benar-benar diuji oleh keras kepalanya itu. Apalagi yang harus aku lakukan agar dia berhenti? Perlukah aku menggunakan kekerasan agar dia bisa pergi?
"Aku mohon terimalah," pintanya kembali yang kali ini dengan pandangan berkaca-kaca. Aku menghela nafas. Sudahlah lebih baik aku menerimanya. Terpaksa dan dengan sangat amat terpaksa aku menerimanya. Agar dia segera pergi hadapanku. Itu saja.
Dia tersenyum lebar saat kotak bekal itu kini berpndah ke tanganku. Setelah itu aku langsung pergi meninggalkan tanpa mengucapkan terima kasih. Bahkan setelah aku meninggalkannya, aku merasakan dia masih berdiri di tempatnya. Bagaimana aku tahu? Aku bisa merasakan tatapan panasnya itu pada punggungku. Sudah ku katakan aku tak peduli padanya.
Memasuki kelas, terlihat beberapa temanku sedang berkumpul di bangkuku. Pasti si Doni lagi. Dia dapet gosip apalagi nih. Segera aku mendekat, dan bergabung disana. Saat aku sampai disana ku lihat mereka langsung memandangku. Wajah mereka sempat terkejut, namun kemudian berubah dengan tatapan penasaran dengan mata disipit-sipitkan siap menginterogasi.
"Ehem, ehem. Pagi-pagi udah dapet makanan aja. Dapet dimana sih, siapa tau gue juga bakalan dikasih bekal pagi yang pastinya enak banget itu?" ejek Dion dengan tatapan sok pengen tahu ke arah bekal di tanganku.
"Pasti itu dari Vara yaaa?" kali ini si Brandon menyahut. Ini nih yang bikin aku males kalo nerima bekal dari si Vara, temen-temenku pasti mengejekku. Tapi mereka juga kok yang makan.
"Lo mau? Nih buat lo semua. Makan tuh. Awas aja kalo sampek ada yang ngeluh sakit perut kayak minggu kemaren." Sudahlah, aku tak ingin ambil pusing. Langsung ku berikan pada mereka. Lihat saja, mereka sibuk mengerubungi bekal itu dengan semangat dan tatapan lapar.
Hahaha! Mereka tidak tahu aja kalo itu bikinan Vara, bukan mamanya. Sudah ku katakan kan kalau Tante Ranti sedang tidak ada di rumah? Dan aku yakin itu pasti masakannya Vara. Ingatanku terngiang pada minggu lalu, dimana Vara datang ke kelasku dan memberikan bekalnya untukku. Sebenarnya itu hal yang biasa untuk beberapa minggu ini Vara memberikan bekal padaku. Dia tahu kedua orang tuaku tidak ada di rumah karena sedang mengunjungi nenek yang sakit di kampung halamanku selama 3 minggu.
Saat itu padahal hanyalah sepotong brownies dengan taburan keju di atasnya, tapi setelah memakannya, tak berselang lama aku dan teman-temanku berlarian dengan cepat menuju ke toilet. Bahkan Brandon pergi ke toilet di gedung depan yaitu gedung kelas satu, yang jaraknya terbentang oleh lapangan basket demi mencari toilet yang kosong. Mengingatnya saja membuatku ngeri sendiri.
Lihat saja, saat ini mereka terlihat tergiur dengan nasi goreng dengan irisan telur di atasnya. Ada kerupuk berbentuk ikan yang ditempatkan di wadah plastik agar tidak melempem. Secara bergantian mereka memakannya. Muka mereka tampak senang sekali. Dasar pecinta gratisan.
"Yakin lo nggak mau, Yog? Enak bet ini!" tawar Romi sembari menyodorkan ujung sendok penuh nasi berwarna merah sedikit berminyak itu padaku. Aku kan sudah bilang nggak mau. Aku hanya menggelengkan kepala sembari mendorong menjauhkan sendok. Romi hanya mengedikkan bahu lalu melahap nasi goreng itu. percuma aku menasihati mereka.
****
"Yogi! Hey!"
Aku menghentikan niatku untuk masuk ke dalam rumah setelah sebuah suara terdengar dari arah sebelah kiri rumahku. Ku tolehkan kepalaku ke arah suara. Keningku mengkerut melihat sosok wanita tengah melambaikan tangannya ke arahku isyarat agar aku mendekat. Kakiku bergerak sesuai dengan arahannya dengan penuh tanya.
Wanita itu menampakkan senyum dengan bibir melengkung sempurna yang menambah kecantikannya walau usianya sudah memasuki usia setengah abad. Kuraih tangan kanannya, lalu menciumnya sebagai wujud rasa hormat dan perilaku sopan. Wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu keduaku karena sewaktu aku masih kecil, aku selalu dititipkan kepadanya dan bermain bersama kedua putrinya. Beliau sangat menyangiku, bahkan setiap aku ulang tahun, aku selalu diberikan hadiah olehnya.
"Sore, Tante."
"Sore, Yog. Kamu baru pulang?"
"Iyaa. Tadi latihan basket dulu, soalnya mau tanding minggu depan." See, beliau benar-benar perhatian padaku masih sama seperti dulu. "Tapi… kok tante udah pulang? Katanya baru lusa pulangnya?"
"Tadi kamu nggak ketemu sama Vara? Padahal, Tante nitipin bekal buat kamu loh?"
Aku terdiam. Membatu. Jadi…. Nasi goreng yang Vara berikan padaku memang buatan Tante Ranti? Vara nggak bohong!
"Yog. Yogi?" aku tersadar saat Tante Ranti mengguncang lenganku, menyadarkan aku dari lamunan. Aku tergeragap sebagai reaksi terkejut. Langsung saja ku berikan senyuman agar aku tak terlihat mencurigakan.
"Oh, tadi ketemu kok tante. Iya tadi Vara ngasih Yogi bekal, katanya buatan tante."
Tante Ranti tersenyum senang. "Enak kan? Pedes nggak?"
"Enak banget dong tante. Masakan tante kan emang juara!" ah, pada akhirnya akulah yang berbohong.
"Ya udah. Nanti malem kamu kesini ya? Mama kamu tadi WA tante nitip kamu. Kamu ikut makan malam di rumah tante ya." Gimana nih? Mau nolak, tapi kok nggak enak sama tante Ranti. Lagian mama kenapa nggak bilang sih kalau bakalan pulang malem? Apalagi nanti bakalan ketemu sama si Vara.
"Oke tante. Yogi mandi dulu ya?" pamitku sebelum meninggalkan Tante Ranti. Tante mengangguk mengiyakan. Ku lihat beliau masuk ke dalam rumah. Pikiranku kembali mengingat tadi pagi. Jadi Vara tidak bohong. Rasa bersalah menghampiri, karena telah menuduhnya berbohong agar bekalnya dapat ku terima. Sepertinya dia akan marah padaku.
****
Aku memandang pintu di depanku ragu. Menarik nafas dalam aku meyakinkan diri untuk mengetuk pintu. Sebelumnya aku tak pernah setegang ini. Sebenarnya sih ini buka pertama kalinya aku datang ke rumah Vara, tapi anehnya aku merasa jika bertemu dengan Vara rasanya pasti canggung. Apalagi aku telah berburuk sangka padanya tadi pagi.
Suara kunci pintu dibuka mengejutkanku. Menarik kesadaran agar kembali ke tempat dimana semestinya. Pintu terbuka menampakkan seorang cewek berpakaian rumahan seadanya dengan celana pendek dan kaos polos lusuh. Dia tampak terkejut saat melihatku berdiri di depan rumahnya. Kenapa harus secepat ini kami bertemu?
"Yogi? Kamu ngapain kesini?" tanya Vara keheranan.
Belum sempat aku menjawab, aku mendengar suara di belakang Vara. "Eh Yogi yuk masuk, mama udah nungguin loh."
Sosok cewek lain muncul di balik badan Vara. Berbeda dengan Vara yang menyambutku dengan wajah terkejut seakan-akan aku ini setan, sosok cantik itu menyambutku dengan senyum lebar dan keramahan yang membuat siapa saja terbius. Tau-tau aku membalasnya dengan tersenyum. Mengabaikan keberadaan Vara aku melangkah masuk dan mendekati cewek cantik itu.
"Halo, Nad."
Namanya Nada. Orangnya cantik, ramah, murah senyum, baik, dan penuh perhatian kepada orang lain. Pacarable banget ini. Omong-omong Nada ini kembarannya Vara. Dari fisik keduanya hampir mirip. 85 persen menurut pandanganku. Perbedaan paling mencolok adalah Nada lebih tinggi dari Vara. Ditambah lagi Nada aktif mengikuti olahraga voly di sekolahnya, makin menjulanglah dia.
Sedangkan Vara itu tipe-tipe cewek-cewek biasa. Dia tak secerewet Nada. Dia lebih ke cewek kalem yang tak terlalu suka bersosialisasi dengan orang banya. Walaupun begitu Vara masuk dalam tim olimpiade matematika di sekolah. Vara dan aku berada di satu SMA yang sama, sedangkan Nada masuk di salah satu SMA swasta yang menjadi pilihannya sendiri.
Jujur aja, Nada itu lebih asik ketimbang Vara. Nada itu supel, asik diajak ngomong dan gampang nyambung kalau diajak bicara apalagi kalau membahas seputar olahraga, semangat'45 nya berapi-api. Vara itu cenderung nggak terlalu bicara, terkadang ceroboh—buktinya masalah brownis yang sudah ku ceritakan tadi—dan nggak terlalu suka olahraga.
"Wah, kamu udah dateng. Pas banget tante udah selesai masak. Tadi tante dibantu sama Vara loh?" aku hanya tersenyum sebagai balasan. Lagian aku nggak tertarik siapa yang masak, yang terpenting makanan itu tak meracuniku.
"Yuk, Yog," ajak Nada sembari menarik lenganku. Aku pasrah aja dong ditarik-tarik sama Nada. Sesampainya di dapur kulihat Vara sedang menata piring di meja makan. Langsung saja aku pilih duduk di samping Nada seperti kebiasaanku saat makan di rumah keduaku ini. Tak sengaja mataku menangkap Vara memandangku dengan tatapan aneh walau itu tak berlangsung lama setelah mendapatiku juga menatapnya.
"Yog, katanya minggu depan ada turnamen basket ya?" aku menolehkan kepala setelah mendengar Nada bertanya soal turnamen. Dengan semangat aku menjawabnya.
"Iya."
"Lo ikut tanding?"
"pastinya ikutlah. Tapi ada yang kelas 3 masih ikut padahal udah diwanti-wanti buat nggak ikutan."
"Enak banget sih. Jadi tahun depan lo masih boleh ikut turnamen dong?"
"nggak tau juga sih. Masalahnya ini kelas sepuluh masih baru banget kan. Jadi pakek pemain lama. Sebenernya sih udah ada pemberitahuan dari pak Kus kalo kelas 3 udah nggak boleh ikut kegiatan kek gini apalagi lomba. Tapi ya gimana lagi, keadaan juga memaksa."
"kok enak banget sih. Di sekolah gue kelas tiga udah nggak boleh ikutan lomba apalagi turnamen. Disuruh fokus ke persiapan ujian mulu."
"makanya, ngapain sih pilih disana? Enakan juga di sekolahan gue. apalagi lo punya skill di volly, masuk lewat jalur prestasi kan jadi makin gampang."
"Tapi hati gue udah kepincut disana."
"Emang ada cowok ganteng selain gue disana?" Tiba-tiba Nada menjitak kepalaku. Gila sakit! Tadi dia njitak pakek tenaga dalem kali ya.
"Pede! Emang Cuma lo aja cowok ganteng di dunia ini. masih ada yang lain, contohnya si my baby honey bunny Jeon Jungkook. Wlee," kilahnya sembari mengejekku. Ini nih, susah kalo disaingin sama idola dia. Heran deh, apa sih istimewanya mereka? Kan gantengan aku ketimbang mereka. Mereka susah digapai aku gampang. Eh sorry bukan berarti aku gampangan ya?
Tak lama tante Ranti dan Vara duduk berhadapan denganku dan Nada. entah kenapa lagi-lagi aku menatap Vara. Mungkin karena merasa bersalah karena menganggapnya berbohong.
"Yog, makan yang banyak ya? Kamu keliatan lebih kurusan. Padahal kita nggak ketemu Cuma 3 minggu," ujar tante Rianti sembari mengambilkan nasi dan lauk pauk ke piringku. Tidak lupa kuucapkan terima kasih sebagai balasan.
"Masa sih, Tante. Nggak deh. Yogi makan dengan rutin kok tenang aja. Kayaknya malah naik berat badan Yogi."
"Iya deh. Kan gara-gara Vara tiap hari bawain makanan buat kamu kan? Tante tau kok."
Maaf tante aku Cuma nerima tapi bukan berarti aku makan, hanya demi keselamatan dan kesehatan jiwa dan raga, aku memberikannya kepada teman-teman. Yang terpenting aku tidak membuangnya. Benar kan? Dan itu hanya bisa ku ungkapkan dalam hati. Selain itu aku menggapinya dengan tersenyum.
Kami mulai larut fokus pada makanan masing-masing. Sesekali tante Ranti menyela dan bertanya macam-macam padaku. Nada juga ikut menanggapi. Diantara kami hanya Vara yang tidak menampakkan suaranya. Dirinya lebih fokus pada makanan. Sangat aneh melihatnya tiba-tiba diam seakan bukan dirinya.
Bentar. Ngapain aku peduli sama dia?
Aku kembali memfokuskan diri untuk makan daripada nanti aku ke-gep lagi sedang menatapnya. Tapi nyatanya kedua mataku mencuri pandang ke arahnya yang kali ini menyendokkan nasi yang terakhir. Dia bangkit berdiri sembari membawa piringnya.
"Yog. Hei." Senggolan pada lengan kiriku membuyarkan pandanganku pada Vara yang tengah mencuci piring. Nada memandangku penasaran, menuntut penjelasan.
"Vara tumben banget diam. Dia nggak kenapa-napa kan?"
"Ah, Vara. lo kayak nggak tau aja. Biasa 'tamu bulanan'nya dateng. Makanya moodnya buruk banget dari tadi pagi. Kalo kayak gini dia bener-bener acuh, nggak bisa diajak bercanda." Mendengar penjelasan Nada membuatku lega. Ternyata bukan gara-gara tadi pagi, tapi memang sedang datang bulan.
Acara makan malam bersama itu selesai, aku pamit pulang. Tante Ranti menahanku agar santai-santai saja dulu. Tapi, ada pr geografi yang harus aku kerjakan. Vara tak memunculkan batang hidungnya lagi, sepertinya dia langsung ke kamarnya.
"Gimana kalau kita nonton bareng pembukaan turnamennya. Kan seru tuh?" sebelum aku pulang, aku mengajak Nada untuk menonton pembukaan turnamen basket bersama. Nada tampak bersemangat. Kepalanya mengangguk beberapa kali dengan semangat.
"Siap! Ajak temen-temen lainnya boleh kan?"
"Boleh lah. Rame-rame malah lebih seru."
"Oke."
"Kalau gitu gue pulang dulu," pamitku. Nada mengangguk kemudian masuk ke dalam rumahnya. Aku melangkah menuju ke pagar pembatas rumahku dan rumah Nada-Vara. Aku menoleh ke arah kamar Vara yang berada di lantai 1. Lampu kamarnya menyala. Sepertinya dia belum tidur. Mungkin besok aku bisa bertemu dengannya.
******
"Lo ngapain disini?" pertanyaan itu sudah kudengar tiga kali sejak aku duduk selama 10 menit di bangku depan kelas. Brandon yang terakhir bertanya ikut nimbrung duduk di sampingku. Matanya menjelajah menatap para siswa yang juga baru datang.
"Cuma duduk doang."
"Plis deh. Lo keliatan nggak Cuma duduk doang. Bilang sama gue lo lagi nunggu siapa?" Bentar-bentar. Brandon tau maksudku duduk di depan kelas kayak gini.
"Kok lo tau?"
Aku memandangnya tak percaya. Brandon tertawa lalu menolehkan kepala ke sekeliling seakan mencari seseorang. Dia juga lagi nyari orang?
"Voila! Ketemu." Brandon membuatku mengarahkan pandanganku pada yang dia tuju. Vara berjalan lunglai dengan tas ransel digendong di punggung dan tangannya juga sibuk membawa sebuah kotak bekal yang kali ini berwarna biru. Dia sedang berjalan ke arahku. Brandon menepuk bahuku sebelum beranjak meninggalkanku setelah tahu apa yang aku tunggu sedari tadi.
Sesuai dengan dugaan Brandon, Vara mendatangiku. Aku berdeham, membenarkan posisi duduk dan berpura-pura memandang ke arah lain. Langkahnya berhenti di depanku. Aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum. tampak pucat. Apa dia masih sakit?
"Yogi, ini ada titipan dari mama," ucapnya pelan. Tanganku bergerak menerimanya tanpa perlu berdebat seperti biasanya. Aku tidak tega melihat wajah pucatnya itu. dengan begitu dia bisa segera ke kelasnya untuk duduk atau sekedar beristirahat. Vara memandangku bingung.
"Ngapain masih disini? Lo nggak ke kelas?" usirku. Vara hanya menanggukkan kepala kemudian meninggalkanku sembari berjalan lemas ke kelasnya di lantai 2. Ku pandang punggungnya. Rasanya ingin ku bantu saja melihatnya tak bersemangat seperti ini. masih kupandangi dia setidaknya sampai di kelasnya. Kulihat dia sesekali menyapa beberapa teman yang berpapasan dengannya. Baru dirinya berbelok di kelas 11 IPA 1.
"Woy! Nglamunin apaan?" seserong mengagetkanku membuatku tersentak. Segera aku menoleh mendapati Romi disampingku. Ku alihkan pandangan pada kotak bekal di tanganku. Huh! Untung saja tidak jatuh.
"Widih. Dari Vara ya? Coba liat-liat," Romi bergerak ingin meraih kotak bekal namun dengan cepat aku menjauhkan darinya.
"Enak aja! Ini punya gue. Minggir gue mau sarapan dulu." Aku segera menuju ke kelas. Lebihbaik ini segera ku makan daripada nanti diminta teman-teman. Ngomong-ngomong ini apa ya isinya?
******
"Yog!" aku segera melemparkan bola ini ke arah Dean. Dengan cepat musuh merebut bola itu tepat sebelum ditangkap Dean. Sial! Gerakanku terbaca. Tidak bisa seperti ini! aku dan tim ku segera mengejar. Ada Romi di depan bersiap menghadang lawan.
Persaingan antara Romi dan lawan tampak sengit. Namun, Romi dengan cekatan berebut kembali bola itu. Romi memang handal dalam hal ini. tidak usah diragukan lagi akan kemampuannya. Dia memberikan umpan lambung ke arah Dean. Dean berlari cepat sembari mendribel bola. Aku sudah bersiap di sisi kanan lapangan. Dean terkepung. Dia pun memberikan umpan lambung ke arahku.
Aku meloncat untuk menerima bola. Aku segera berlari mendekati ring lawan. Beberapa pemain lawan menghadangku. Bodo amat! Ku lemparkan bola ke arah ring walau jarakku dengan ring masih agak jauh. Semoga saja bola ini masuk. Bola itu melambung tinggi, bergerak ke arah ring. Bola memantul pada papan dan… Voila! Masuk!
Beberapa penonton berteriak kegirangan melihat aku memasukkan bola ke ring lawan. Timku bergerombol membentuk lingkaran sembari loncat-loncat kegirangan. Suara peluit terdengar dari pak pelatih. Akhirnya latihan hari ini selesai. Semua pemain termasuk tim yang menjadi lawanku ikut berkumpul.
"Bagus! Untuk latihan hari ini sangat baik. Tim A luar biasa. Tetap seperti ini utamakan kekompakan kalian. Untuk tim B juga tak bisa diremehkan. Walau kalian masih baru tapi semangat dan kemampuan kalian luar biasa. Terus seperti ini, kalau bisa tingkatkan lagi."
Kami hanya mengangguk sebagai jawaban. Rasanya lelah sekali. Kulihat beberapa penonton duduk di sana. Entah kenapa mataku tiba-tiba tertuju pada Vara duduk di samping teman sekelasnya, seingatku namanya Winda. Lagian ngapain dia disini? Bukannya dia lagi sakit?
Sesi istrahat selesai. Beberapa anggota kembali bermain atau sekedar berlatih. Beberapa lagi memilih untuk beristirahat dan duduk selonjoran di lapangan. Vara terlihat hanya diam sesekali menanggapi Winda yang tampak bersemangat memandangi tim ku yang kembali berlatih dengan senyum yang terlihat terpaksa. Harusnya dia beristirahat di rumah saja kan? Kenapa sok-sokan menonton tim basket latihan. Aku berdiri dan segera menyuruhnya pulang. Atau nanti akan menyusahkanku saja.
"Mau kemana, Yog?" tanya Romi yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku tak menjawab dan memilih berjalan. Romi mengikutiku. Vara masih tak menyadari kedatanganku dan tampak memijit kening.
"Lo nggak pulang?" pertanyaan ku lontarkan yang membuatnya mendongak. Benar kan! Wajahnya sudah pucat pasi, matanya yang tak fokus dan tangannya saling bertautan.
"Eh, Yogi. Ini kita lagi pengen nonton tim basket. Lo keren banget tadi. Ya kan, Var?" Winda menimpali alih-alih Vara yang menjawab. Sedangkan Vara hanya diam. Segera ku keluarkan ponselku untuk memesankan taksi online untuk dia pulang ke rumah.
"Hei, Awas!" sebuah teriakan menggema di lapangan basket saat aku masih sibuk dengan ponselku. Entah kenapa kepalaku refleks menoleh. Aku mendapati sebuah bola yang seakan bergerak secara slow-motion melayang ke arahku.
Tunggu! Bukan ke arahku tapi…
'Dang!' suara bola basket membentur menggema. Membuyarkan keheningan sesaat. Mengalihkan fokus seluruh manusia disana. Meninggalkan kesan keterkejutan.
Bola memantul ke arah lain dan untungnya tak ada orang yang terkena pantulan bola tersebut. Kepalaku bergerak ke depan dan mendapati lengan Romi melintang di depan wajah Vara. Vara sendiri terlihat terkejut dan bahkan tak mengedipkan mata sama sekali.
"Vara, lo nggak papa?" tanya Romi setelah berhasil menyelamatkan Vara dari lemparan bola basket yang tak sengaja terlempar. Vara masih mematung dan menatap Romi yang tepat di depannya.
Aku langsung menyadarkan diri buru-buru menyimpan ponsel. Aku bergerak lebih dekat. Namun belum sempat aku mendekat, tubuh Vara melemas, terhuyung ke depan yang berhasil Romi tangkap sebelum jatuh ke bawah.
"Vara!" aku, Romi dan Winda kompak berteriak melihatnya.
Romi dengan cepat mengangkat tubuh Vara. Padahal aku sudah berniat menggendongnya. Dia berjalan meninggalkanku dan Winda. Beberapa orang segera menyingkir dan membiarkan dia lewat. Aku dan Winda mengikutinya dari belakang. Kepalaku menoleh ke arah Kevin yang menatapku dengan takut sembari mendekap kedua telapak tangannya di depan dada meminta maaf.
Si Romi kok cepet banget jalannya. Aku dan Winda sudah sampai UKS yang letakknya tak jauh dari lapangan basket. Vara sudah terbaring di atas ranjang.
"Makasih, Rom. Vara biar bareng sama gue. Win, tolong ya ambilin tas gue." Winda mengangguk mengerti lalu keluar dari UKS. Romi tiddak beranjak dari tempatnya.
"Bareng gue aja." Aku menolehkan kepala dengan mengerutkan kening. "Tadi gue bawa mobil. Gue bawa masuk lo tunggu di lobi."
Romi berlalu begitu saja tanpa mengindahkan perintahku. Apa-apaan dia? Tapi aku hanya diam dan memandang Vara yang pingsan. Tanganku meraih tangannya. Dingin dan berkeringat. Aku berdiri dan mencari minyak kayu putih.
Winda tak lama datang membawa tiga tas. Milikku, miliknya dan milik Vara. Setelah ketemu, ku olesi telapak tangannya dengan minyak kayu putih agar telapak tangannya hangat. Ponselku berdering. Romi menelfon.
"Halo."
"Lo dimana? Gue udah di depan lobi."
"Oke. Gue kesana."
Aku segera mengangkat Vara. Hemmm.. dia agak berat dari sebelumnya. "Win, gue minta tolong ya bawain tas gue sama Vara."
"Oke." Kami keluar dari UKS menuju ke lobi. Jangan ditanya apakah jaraknya jauh? Sangat jauh. Tapi bagaimana lagi. Sesekali aku berhenti karena kelelahan. Apalagi habis olahraga. Benarkan feeling ku hari ini, pasti Vara akan merepotkanku.
Romi sudah menungguku di lobi sembari bersandar di samping mobil. romi membukakan pintu belakang. "Di depan aja. Gue tadi bawa motor sendiri. Kalo di tengah takut dia jatuh nanti."
Romi mengangguk paham. Dia menutup pintu belakang dan beralih ke pintu depan. Winda meletakkan tas Vara di belakang. Kubaringkan Vara di kursi depan. Tidak lupa sabuk pengaman ku pasang. Romi segera masuk ke dalam mobil.
"Thanks, Yog. Harusnya tadi gue nggak maksa Vara ikut. Padahal dia nggak mau." Aku hanya diam. Rasanya aku ingin marah padanya. Tapi, Winda juga tidak bisa aku salahkan sepenuhnya. Harusnya Vara menolak, bukannya menurut. Ku tinggalkan Winda tanpa membalas permintaan maafnya.
*****