"Kau berniat pamer padaku?"
Jawaban yang tak pernah disangka-sangka.
Apo sampai membeku di tempat. Dia menjenguk Magnolia dalam ruang paramedis untuk mengajak berkencan. Lelaki carrier itu meremas amplop di sisi celana. Dia bingung, padahal sumeringah ketika datang kemari. "Eh? B-Bukan begitu kok, Nona Magnolia--"
"Tuan Natta," sela Magnolia kesal. "Aku tahu kau menang double hari ini, dan usahaku tadi pagi sia-sia. Tapi, pantas ya ... kau berlaku begini padaku?"
"Aku benar-benar minta maaf."
Apo pun mundur tak enak.
"Ya, tapi bisa kau keluar sekarang?"
"Maaf, Nona. Please, aku memang ingin mengajakmu," kata Apo. "Tidak kepikiran macam-macam kok. Tapi, umn ... kalau kau masih pusing tidak masalah sih. Tidur saja, Nona. Aku tak mau mengganggumu."
"Ya."
Apo keluar setelah pamit baik-baik. Dia sedih karena niatnya tertolak begitu saja. (sebenarnya heran juga sih). Padahal dulu Magnolia ramah, tapi kenapa sekarang berbeda? Padahal mereka sama-sama tahu ini hanyalah game ponsel.
[Uuu, Tuan Nattarylie. Tolonglah jangan menangis]
[Saya punya tisu, tapi tidak bisa peluk loh. Utututu]
Kekehan Apo pun keluar kala sistem muncul. "Tidak masalah kok," katanya sambil mengusap pelupuk mata. Bibirnya tersenyum, meski genangan tadi kembali lagi. Yang jelek adalah capek main softball jadi terasa karena hatinya ngilu. "Hmm ... mending sekarang mikir enaknya pergi sama siapa ya?" Dia mendengus kasar. "Jangan player lain lah, skip. Nanti malah reaksinya sama."
[Yang Mulia?]
Apo jongkok di depan pintu kereta. "Nanti dia marah lagi ...." keluhnya overthinking.
"Aku tidak mau, sistem. Mending ajak orang random dari jalan."
[Waduh, siapa yang sangka]
"Huft, padahal kupikir Magnolia bisa."
Bengek, cih. Dunia seakan memusuhiku.
Sore itu Apo pulang dengan langkah letoy, padahal dia sudah berekspektasi soal Arabel dan Merve. Itu adalah playground terbesar di dalam game, tapi tema-nya beda dari playground pada umumnya. Banyak boneka yang dipajang sepanjang wahana. Jika sudah naik, nanti mendapat satu boneka yang random. Kadang besar, kadang sedang, kadang kecil--pokoknya menyesuaikan kau adalah pengunjung yang menebus tiket murah atau mahal.
Well, si pemilik adalah pengusaha boneka sih. Wajar menjadikan produknya sebagai sarana promosi.
"Ya ampun, cantiknya ...." gumam Apo saat perjalanan pulang. Dia scroll-scroll sistem yang meng-update informasi playground tersebut. Usut punya usut, seseorang juga bisa memesan replika bonekanya di sana.
[Tuan Natta ingin?]
"He-em lah! Bayangkan Magnolia jadi benda kecil ini. Lucu tahu."
[Kenapa tidak pergi sendiri?]
"Iya ya ...."
[Nah]
"Tapi aneh tidak sih aku berkeliaran tanpa teman di tempat seperti itu?" tanya Apo cemas.
[Ya bagaimana ya ... ini agak membingungkan]
Mood Apo turun drastis mendengarnya.
[Tapi Anda mungkin tampak seperti anak hilang sih, jujur saja]
[Mana orang-orang sudah melihat Anda menang sore tadi. Heboh pula]
[Berasa Anda yang ditolak Yang Mulia pergi, bukan?]
[Siapa pun bisa berpendapat jelek soal Keluarga Livingstone]
Apo pun garuk-garuk kepala. Dia mulai menggerutu sambil menatap orang-orang yang lewat di jalan. "Curhat denganmu memang jarang mendapat jalan keluar ...."
[😆]
Meski harus menebalkan muka, untuk kedua kalinya Apo pun mengirim konfirmasi ulang kepada Raja Millerius. Biarkan saja harga diri hilang, yang penting Apo ingin menjelajah dunia sebanyak mungkin sebelum kembali koma.
Sudah cukup Apo menyia-nyiakan 42 tahun untuk hidup dalam kemiskinan yang tidak berubah. Lelaki carrier mengiyakan saat disuruh memakai baju biasa. Sistem bilang Raja Millerius terlanjur malas ganti baju kerajaan. Dominan itu memakai setelan hitam dari ujung kepala hingga kaki.
Mulai topi flat cap ala mafia, kemeja, long-coat, bahkan celana dan sepatu sekalipun--Apo sampai takut melihat ekspresinya yang ketus saat mereka bertemu.
Untung royal-guards kerajaan memakai seragam merah. Setidaknya aura di kereta nanti takkan seburuk bayangannya.
"Penampilanmu tidak buruk hari ini. Ayo masuk," kata Raja Millerius dingin. Dia langsung naik ke dalam duluan. Fokus mata terus ke depan, seolah-olah alergi ke Apo Nattawin. "Takkan kubiarkan seseorang membuang-buang waktu berhargaku."
Gawat.
Dia ini ngambek ya?
Kenapa sampai sebegitunya?
Dasar bocil ....
"Umn, terima kasih, Yang Mulia. Permisi," kata Apo sebelum bergabung naik. Kontras dengan Raja Millerius, malam itu Apo memilih berpakaian warna-warni demi menyesuaikan lokasi. Atasan salem, syal ungu, dan bawahannya berwarna hitam. Namun, sepanjang perjalanan Apo tak berani bergerak kecuali pegal-pegal. Dia takut memulai obrolan karena gelapnya suasana hati Raja Millerius mengalahkan jelaga malam.
"Kenapa mengajakku lagi, huh? Ada apa dengan partner-mu yang baru," tanya Raja Millerius dadakan. Tanpa menoleh sang dominan akhirnya mulai mencecar. Dia menatap jalanan sepi berhiaskan kelap-kelip lampu rumah rakyat sekitar.
"Eh? Dia bilang tak bisa ternyata," kata Apo tanpa pikir panjang.
"Teruskan saja kelakuanmu. Aku takkan menoleransi jika ada yang ketiga kali."
Mampus ....
"...."
Diam-diam Apo pun meremas celana. Dalam kegelisahan dia mengatur napas sebaik mungkin sebelum menyambung obrolan. "Yang Mulia, ini tidak seperti saya tidak menghormati Anda, tapi--"
"Nattarylie. Kau yang jangan gede rasa karena posisimu sama seperti rakyatku yang lain. Jangan macam-macam dan sadari posisi rendahmu itu."
Jantung Apo pun rasanya dikoyak habis.
Segala hal jadi buram, padahal saat berangkat rasanya tak sampai begini.
Mati aku! Anying!
Dia marah betulan ternyata!
Astaga, sebaiknya aku harus bagaimana?
"Umn, saya benar-benar minta maaf?" pinta Apo.
"...."
Carrier itu makin panik akibat tak mendapat respon positif. Suasana kereta berubah mengerikan karena di sekitar hanya berhiaskan roda serta ketak-ketuk langkah kuda.
"Y-Yang Mulia, serius kali ini saya sungguh minta maaf ...."
"...."
"Saya--tidak akan mengulanginya lagi kok. Janji ... ya?" pinta Apo, coba menurunkan oktaf suara agar tremornya tidak kentara. "Kedepannya, kalau saya--umn ... menang lagi, pasti jawaban yang saya berikan takkan berubah. Jadi, Anda takkan kerepotan seperti sekarang, Yang Mulia."
Sang dominan tetap mematung seperti batu. Matanya jarang berkedip normal, karena sedang menahan emosi. Apo tahu saat tangan kirinya mulai mengepal murka. Urat-uratnya bahkan muncul ke permukaan seperti ingin meninju orang. Namun semua hal masih di bawah kendali. Apo tak menyangka efek perbuatannya bisa menimbulkan bencana sejauh itu.
Eh, tunggu dulu.
Jangan-jangan besok namaku sudah berubah status menjadi didiskualifikasi?
Tidak boleh--!!
"Aku tidak tahu, Nattarylie," kata Raja Millerius emosi. "Kau harus ditangani seperti apa agar aku tak berpikir terlalu keras. Karena aku harus membagi waktuku sebaik mungkin. Antara urusan negara dan sesi pertandingan aneh itu. Belum lagi soal jadwal yang lain-lain. Kau memang sangat--"
Kecupan Apo sudah mendarat di pipi kiri.
Tanpa rencana.
Tanpa pikiran.
Membuat seribu kata-kata kasar berikutnya pun lenyap begitu saja.