"Itikad yang baik selalu diiringi kemudahan"
Informasi tentang keluarga besar Abim Wicaksono," gumam Bagaskara sembari mencari tahu keberadaan keluarga konglomerat calon isterinya. Keluarga Abim dikenal sebagai pemilik saham terbesar di kotanya. Audrey adalah putri tunggal kesayangan keluarga Abim Wicaksono. Sifat periang dan terbuka yang dimiliki Audrey membuatnya disenangi oleh banyak orang. Sebagian teman nempel terus oleh karena memanfaatkan situasi mumpung ada yang royal.
Lima tahun sudah mengenal Audrey sejak orang tuanya menjalin kerja sama bisnis menguntungkan kedua belah pihak. Keluarga sesama pengusaha itu sepakat mengakrabkan putra-putri keduanya menempuh sampai jenjang rumah tangga. Orang tua Bagaskara sudah berniat melamar gadis periang pilihan hati. Mereka akan melakukan pinangan dalam waktu dekat ini. Namun, sedikit ada ketimpangan soal mahar yang begitu tinggi membuat keluarga Bagas terdiam tanpa ekspresi.
Tatapan mata orang tua Bagas terlihat kuyu, memaksakan diri tersenyum seolah mereka baik-baik saja. Mahar tinggi menjerat leher emas 300 gram ditambah sebuah rumah bukanlah syarat yang mudah. Sementara ini perusahaan Bagas terlilit hutang piutang yang tinggi bunga.
Bagaskara merasa bersalah, apa yang dialami oleh Gabriel atas pengkhianatannya.
"Mungkinkah, ini kualat," pikir Bagas merasa dibayangi rasa bersalah.
"Mungkinkah ini balasan terhadap orang sepertiku? Tapi ahh, perusahaan papa sedang jatuh bangkrut, aku harus menolong keluargaku. Jalan satu-satunya menerima perjodohan ini untuk menyelamatkan perusahaan keluarga."
Audrey merasa deg-degan tentang acara pertunangannya.
"Bagaimana jika orang tuaku tidak mampu membayar uang lamaranmu?" tanya Bagas gusar sambil tertegun.
"Ouh, jika orang tuamu tak sanggup mengeluarkan uang sesuai permintaan, maka aku akan menjadi milik orang lain," tandas Audrey meniru ucapan kata-kata ayah dan ibunya.
"Benarkah?" Bagas merasa malu apabila tidak sanggup memenuhi keinginan pihak keluarga wanita.
"Kalau begitu katakan pada orang tuamu, Audrey! seorang Bagaskara sanggup memenuhi permintaan orang tuamu meskipun sedang pailit. Jangan mereka berpura-pura tidak tahu tentang profil kehidupan calon manantunya sehingga mau mencekik." Bagas berusaha menantang kembali dan penuh emosi.
Malam itu, Bagaskara tidur di sofa ruang tengah, dan ia begitu shock atas permintaan keluarga Audrey hingga Bagaskara penuh keraguan untuk melangkah.
"Aku bukan sedang bermimpi? Kehilangan calon isteri di depan mata tanpa sanggup berbuat apa-apa. Jiwaku terkulai lemas tak berdaya," Gumam Bagas membatin.
Di sisi lain terlihat bola mata meredup dari seorang Audrey. Rindu hati yang terpasung oleh tirani besi belum mampu ditaklukkan. Cengkraman kuat mengalahkan rasa rindu yang membelenggu asa di antara keduanya. Hanya keajaiban doa menggerakkan hati kedua orang tua Audrey, memahami keterpautan rindu yang kian membuncah.
Mentari begitu cerah, burung pipit menggoda hati dengan cicitan liar seolah mengerti tentang kegundahan hati. Bagas tak bergeming, dia butuh penjelasan dari Audrey.
"Penjelasan, apa? Tentang mahar 100 gram ditambah sebuah rumah dan seisi perabotannya. Itu sudah keputusan keluarga besar, tak kuasa aku, Gas!"ungkap Audrey datar dan pasrah.
Hubungan Bagas dan Audrey perlahan menjauh dengan sendirinya. Mereka hanya berkirim kabar lewat chatingan. Belum ada titik cahaya yang berarti mengenai hubungan keduanya lebih serius.
"Stuck!"
Bagas menjemput rasa rindu yang bergemuruh hebat. Namun, urung dengan menghalau rasa malu yang menggunung, mengorbankan sebuah harga diri keluargaku. Kegalauan Bagas tiada terjawab, secara finansial ia kalah telak dari penghasilan seorang CEO.
Hidup kian terasa berat seirama kepedihan yang mendera. Sosok Bagas baru merintis dan terjun ke bidangnya, seusai menyandang gelar sarjana. Bukanlah suatu perkara mudah, mustahil berharap laksana membalik telapak tangan.
"Bagas harus berjuang dari nol, lantas dari mana Bagas mendapatkan nominal untuk acara pesta dua hari dua malam?"
"Selama ini aku selalu mendambakan sebuah harapan. Kini pupus sudah impian melamar gadis pujaan. Ternyata mengukur cinta dengan sebuah nominal terasa sakit.
Bagas gamang belum pernah menduga akan begini. Ia hanya termenung dengan raut wajah gusar sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang diseduhnya.
"Mungkinkah penolakan secara halus terhadap keluarga Bagas? Orang tuaku sedang dilanda konflik ekonomi," batin Bagas berandai-andai sembari menerka alasan.
Rasa penyesalan menyeruak dalam batin, perbedaan harta telah menjerat hingga semakin jatuh terjerembab.
"Teganya, keluargamu mempermainkanku," jerit batin Bagas sembari memainkan benda pipihnya.
"Seorang lelaki tidak boleh goyah," imbuhnya lagi.
Bagas lalu membuka ponsel genggam dan mulai mencari nomor Audrey. Beberapa kali Bagas memanggil tidak ada nada sahutan di seberang sana. Panggilan yang ketiga kali Audrey mengangkat dan keduanya terlihat mengobrol sangat serius. Raut wajah Me Time muram sambil menekuk seolah memikirkan sesuatu yang berat.
"Dari mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu," gumam Bagas datar tanpa ekspresi.
Bagas terdiam. Ia membayangkan bagaimana mendapatkan mahar dan segudang permintaan lain dari pihak calon mertua. Hatinya semakin ciut, Bagas baru saja mengelola perusahaan sang ayah dengan penghasilan jauh dari impian. Menelan pil pahit dari sebuah perusahaan kolaps, sedangkan Audrey selama ini telah hidup bergelimang harta dari orang tua.
Sepanjang malam Bagas enggan memejamkan mata. Bisikan calon istri masih saja terngiang-ngiang di seputaran telinga. Suara membatin malu dianggap rendahan, kehilangan kesempatan mengantarkannya pada pelukan nista. Kelelahan menceracau, sudut bibir yang terangkat perlahan, Bagas terus menyebut nama Audrey dan tidak merelakan calon istri menjadi milik orang lain.
Mentari pagi menggeliat menampakkan sinarnya di ufuk timur. Bagaskara akhir-akhir ini merasa kelelahan tergambar dari sorot mata meredup bias tiada harapan. Ia meregangkan otot-otot tubuh yang kaku. Bagas bangkit dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk berkemas. Hari ini ada pertemuan penting dengan perusahaan hebat dan ternama berkat rekomendasi Papa Audrey.
Pagi-pagi Bagas berangkat ke kantor dengan perasaan kacau. Tarikan nafas dan gerakan-gerakan ringan sebagai peregangan membuatnya sedikit enakan mengusir firasat tidak nyaman. Sekretaris pribadi memberitahukan pihak rekanan sedang menunggu di balairung.
Mereka sibuk mempresentasikan produk unggulan dari produsen. Entah, ini kesempatan alot dan keberuntungan berada di pihak Bagas.
Yah, tidak percuma aku memiliki karyawan secerdas Gabriel. Penyajian tadi begitu pas dan memukau pihak rekanan.
"Terima kasih!"
Bagas berjabat tangan, memberi semangat pada Gabriel hingga memuaskan rekanan lainnya.
"Sajianmu, pas banget!" ucap Bagas seolah enggan menarik tangan dari genggaman sang lembut ini. Atau kami hanya memperburuk keadaan atas nama keluarga Abi Wicaksono.
"Mas Bagas!"
"Terima kasih juga telah memberikan kepercayaan pada gadis sepertiku. Tapi yakinlah, Gabriel tidak akan mempermalukan perusahaanmu," sambung Gabriel ikut andil dalam pengembangan perusahaan ini. Kerja kerasnya membuahkan hasil.
Pencapaian prestasi, mengangkat rasa percaya diri Bagas yang hampir padam. Pihak perusahaan asing akan menandatangani kontrak kerja, jauh sebelumya pernah menguji kelayakan. Prestasi ini awal yang baik untuk membangkitkan kembali asa yang sudah tenggelam.
"Gabriel pamit dulu, ya!" izin ke ruang konsul mengikuti zoom perkuliahan.
Terlihat ekspresi penyesalan dari Bagaskara telah memutuskan hubungan dengan Gabriel si wanita cerdas.