webnovel

Part 8 - Dia yang Kembali

Megah dan tinggi, dua kata yang pantas untuk menggambarkan gedung pencari nafkah keluarga Anggara. Gedung bergaya modern itu memiliki 21 lantai. Tekonologi canggih mereka gunakan untuk menunjang perkerjaan para karyawan. Berkerja di perusahaan Anggara adalah impian setiap mahasiswa yang baru lulus dari universitas.

Bayu dan Dira dengan penuh percaya diri berjalan beriringan di lobi kantor kebanggan keluarga Anggara itu. Mereka berjalan bersama dengan Rani yang berada dalam gendongan Bayu. Beberapa karyawan yang berlalu-lalang melirik penasaran pada ketiganya, terutama pada Rani dan Dira.

Siapa anak kecil dan perempuan itu? Pikir para karyawan.

"Selamat pagi, Pak," sapa sekretaris Bayu saat mereka tidak sengaja berpapasan ketika akan menaiki lift.

Bayu tersenyum tipis dan berdehem pelan untuk membalas sapaan sang sekretaris.

Mira namanya, dia melirik heran pada Dira. Dan juga pada Rani yang ada dalam gendongan Bayu. "Mereka tamu, Bapak?" tanya Mira.

"Apa jadwal saya pagi ini?" Bayu membalas pertanyaan Mira dengan pertanyaan.

"Bapak ada meeting dengan ...."

"Batalkan!" Potong Bayu.

Mira menghela napas. Boss-nya itu sangat menyebalkan, kenapa harus bertanya kalau tidak ingin mendengar jawabannya? Ah, namanya juga boss!

Dira memasuki ruang kerja Bayu. Gila! Ini ruang kerja atau apartemen? Besar sekali. Mulut Dira sampai menganga hebat, bahkan hampir jatuh karena kagumnya dengan kemewahan ruang kerja Bayu. Dira merasa seperti berada dalam ruangan CEO pada drama Korea yang sering ia saksikan.

"Tutup mulut lo itu! Dasar noral," sindir Bayu. Walau sejujurnya dia merasa lucu melihat keudikan Dira.

Dengan cepat Dira menutup mulutnya yang menganga. Kemudian perempuan itu merenggut kesal mendengar hinaan Bayu.

"Ini tempat apa, Ayah?" tanya Rani.

Bayu meletakkan Rani di atas sofa yang ada di ruangannya. Kemudian dia mengambil tempat tepat di samping Rani.

"Ini tempat kerja Ayah," jawabnya.

"Woooa, keren sekali," seru Rani kagum.

"Ayah kerja apa di sini?" Gadis kecil itu kembali memberi soal pada Bayu.

"Ayah menulis-nulis di sini," jawab Bayu asal. Jika menggunakan jawaban orang dewasa sampai berbusa sekali pun Rani tidak akan mengerti.

"Kenapa nulisnya harus di sini?"

"Karena Ayah tampan dan ganteng makanya harus di sini," jawab Bayu semakin ngawur.

Dira mencibir mendengar jawaban Bayu yang penuh dengan percaya diri. Pembodohan, menurut Dira. Ia berjalan mendekati keduanya, lalu duduk di sofa single yang terpisah dari pasangan Ayah dan anak tersebut.

"Apa gak masalah lo bawa gue dan Rani ke sini? Takutnya nanti karyawan lo membicarakan hal yang tidak-tidak soal kita," ucap Dira dalam satu tarikan nafas.

"Kita? Sejak kapan ada kata kita antara gue dan lo?!"

Sial Dira salah ngomong! Mulut Bayu sangat pedas. Lain kali Dira harus berpikir seribu kali dulu sebelum mengucapkan sesuatu pada Bayu.

"Lo mau kenalkan gue dan Rani pada siapa sebenarnya?" Oke, lupakan soal harga diri. Dira harus segera bertanya apa alasan Bayu membawanya ke sini. Dia butuh penjelasan.

"Gak sama siapapun! Gue cuma mau membatalkan rencana lo hari ini," buat ketemuan sama seseorang, Bayu membatin.

Tidak logis! Alasan Bayu sangat tidak masuk akal. Tidak tahukah dia bahwa tugas yang Dira kerjakan berhari-hari hancur demi untuk datang ketempat ini? Seharusnya saat ini Dira bertemu dosen pembimbing skripsinya yang sangat sulit untuk ditemui. Ugh, Dira tidak bisa ditindas begini!

Tapi masalah sekarang, dia bisa apa untuk membalas Bayu? Marah? Shit, Dira tidak berani melakukan itu terhadap Bayu, ia takut Bayu mengundurkan diri menjadi Ayah dari Rani hanya karena kemarahannya.

"Sekarang lo duduk manis saja di sini sampai gue selesai kerja. Dan jaga Rani, jangan sampai dia merasa bosan," titah Bayu pada Dira. Dengan gaya bossy dia berjalan menuju kursi kerja kebanggannya.

Dira menghela napas. Sabar, orang sabar surganya lebar. Manusia arogan seperti Bayu harus dihadapi dengan hati bak seorang malaikat yang penuh ketulusan dan kesabaran.

"Rani ngantuk, Bunda."

Suara manja milik Rani menarik perhatian Dira dari Bayu. Segera ia lenyapkan wajah kesalnya dan mempersembahkan senyuman terbaik yang ia miliki pada Rani.

"Ayo sini tidur sama Bunda." Dira menepuk-nepuk pahanya. "Bunda nyanyi lagu tidur buat Rani." Rani merebahkan kepalanya di paha milik Dira. Gadis kecil itu bergerak-gerak untuk mencari posisi ternyaman.

Setelah memastikan Rani nyaman dalam pangkuannya, Dira mulai menyanyikan lagu pengantar tidur untuk Rani dengan suara pelan. Tangan Dira mengelus-elus surai hitam sang putri.

Diam-diam Bayu curi pandang pada Dira. Dia pura-pura sibuk dengan dokumen di hadapannya, namun seluruh hati dan pikirannya tertuju pada kedua perempuan asing itu.

Tentram sekali hanya dengan melihat kebersamaan Rani dan Dira. Baju jadi ingin cepat-cepat punya keluarga untuk menikmati kenyamanan ini setiap hari. Eh?

"Rani sudah tidur?" tanya Bayu dengan suara lirih.

Dira mengangguk dan bergumam. "Hmmm, dia sudah tidur."

Kemudian hening.

Dira menggaruk tengkuknya canggung. Dia bingung sekarang harus melakukan apa. Ayolah, saat ini hanya ada Dira dan seorang laki-laki asing dalam satu ruangan. Siapa yang tidak canggung coba? Hingga ketukan pintu menyelamat Dira dari kecanggungan yang menyelimuti. Tolong ucapkan terimakasih Dira untuk seseorang yang ada di balik pintu itu.

"Maaf Pak, ada tamu di depan." Mira melapor setelah mendapatkan izin dari Bayu untuk masuk.

"Sudah saya katakan jangan ganggu saya. Batalkan semua janji dan pertemuan!" tegas Bayu. Dia tidak suka kebersamaannya dengan keluarga kecilnya diganggu. Oh shit, pemikiran apa itu?

"Tapi Pak dia --"

"Bayu!" Tiba-tiba seorang perempuan memasuki ruangan Bayu. Dia menerobos masuk begitu saja.

Ekspresi wajah Bayu yang sebelumnya kelam berubah cerah dengan kehadiran perempuan itu. Matanya birunya berbinar penuh rindu. Dan lihat senyuman Bayu, oh semringah sekali.

Perempuan itu Dinda Aulia, atau yang lebih akrab disapa Dinda. Dinda adalah perempuan modern yang memiliki wajah cantik dengan tinggi semampai. Matanya bulat, hidung yang tidak begitu mancung namun pas di wajahnya, dan bibir kecil yang penuh. Jangan lupakan body S line-nya yang langsing. Seluruh kaum Adam akan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.

"Dinda?" seru Bayu tidak percaya dengan kehadiran Dinda. "Kapan lo pulang dari KL?" tanyanya.

Dinda nyengir polos. Dia tersenyum manis dan menampilkan giginya yang putih dan rapi. "Satu minggu yang lalu gue sudah di Jakarta," jawabnya.

Tanda aba-aba Dinda menghampur kepelukan Bayu untuk melepaskan rindunya. Dira melotot tidak percaya melihat keberanian Dinda. Ya ampun, apa-apaan mereka pelukan di depan orang banyak. Oke mungkin ini sedikit lebay, karena pada kenyataannya tidak ada banyak orang di ruangan Bayu. Hanya ada Dira, Bayu, Mira, dan Rani yang sedang tertidur.

"Gue rindu pakai banget sama lo. Sudah lama kita gak ketemu." Dinda mengurai pelukannya.

“Hei, baru tiga bulan yang lalu kita ketemu di KL," Bayu mengkoreksi kalimat Dinda dengan nada ceria. Cih, berbeda sekali dengan cara bicara yang sering ia tunjukkan pada Dira.

"Jangan bahas pertemuan terakhir kita di KL. 'Kenangan aneh' selalu muncul di otak gue setiap mengingat pertemuan terakhir kita."

Jangan bilang mereka ingin menggenang masa lalu. Entah kenapa telinga Dira merasa panas mendengarnya. Astaga, kenapa Diras seperti orang yang sedang cemburu? Ingat posisi Dira!

"Saya parmisi, Pak," pamit Mira seraya pergi meninggalkan ruangan Bayu. Tidak lupa ia menutup rapat pintu.

"Asli, lo semakin keren dan tampan. Dari dulu lo gak pernah berubah, selalu bersinar," puji Dinda.

Bayu tersenyum malu. "Lo juga tambah cantik."

Dan blush, pipi milik Dinda memerah seketika karena pujian dari Bayu yang sangat receh.

Sial! Gue gak dianggap di sini, umpat Dira kesal.

"Gimana kabar lo?"

"Seperti yang lo lihat sekarang," jawab Dinda seadanya.

"Gimana kerjaan lo di KL? Lancar? Gue dengar lo sekalian lanjut S2 di sana?" tanya Bayu beruntun.

"Semua lancar terkendali. Sekolah gue selesai satu bulan yang lalu. Berkat lo juga," jawab Dinda.

"Laaah? Kenapa berkat gue?" Bayu kembali bertanya. Dia merasa bingung dengan pernyataan Dinda. Dia tidak melakukan apapun untuk membantu Dinda dalam pendidikan atau pekerjaan perempuan itu. Tapi kenapa karena Bayu segalanyaa menjadi lancar?

"Karena ingin cepat-cepat pulang dan ketemu sama lo segalanya jadi cepat selesai di sana. Gue kangen banget sama lo, Bay," jawab Dinda malu-malu.

"Eheem!" Dengan sengaja Dira berdehem kuat agar kedua orang yang sedang dimabuk kerinduan itu menyadari kehadirannya.

Dan benar saja, Bayu dan Dinda menoleh pada Dira dan memusatkan seluruh perhatian mereka padanya. Terutama Dinda, dia terkejut karena ternyata ada orang lain di ruangan Bayu yang tidak dia sadari.

"Siapa dia?" tanya Dinda penasaran.

"Dia --"

"Gue Dira," Dira terlebih dahulu menjawab dari Bayu. "Tunangan Bayu sekaligus ibu dari anaknya," lanjutnya penuh percaya diri. Dira tidak memikirkan akibat yang akan ia terima dari pengakuannya ini, itu urusan belakangan.

Bibir milik Dinda hampir saja jatuh mendengar pengakuan Dira. Hahaha, rasakan itu! Dira suka dengan ekspresi tidak percaya itu.

"Benar itu, Bayu?" Dinda meminta pembenaran dari Bayu.

Bayu mendengus dengan wajah pasrah, kemudian dia mengangguk. Sebenarnya dia bisa saja mengelak, tapi entah mengapa dengan mengatakan 'iya' segalanya terdengar lebih baik. Karena seharusnya memang itulah yang harus terjadi.

"Lo udah tunangan? Dan ... punya anak?" Dinda melirik pada Rani yang tertidur di atas sofa. Bayu kembali mengangguk.

"Sialan lo!" Dinda memaki.

"Gue yang cinta mati sama lo dari SMA, tapi selalu lo tolak. Dan dia yang baru hadir entah darimana bisa jadi tunangan lo dalam sekejab mata."

"Gue baru hadir dikehidupan Bayu? Lo gak liat anak kami yang sudah sebesar itu?" Dira mengkoreksi ucapan Dinda sambil melirik pada Rani di sofa. Seolah mengatakan, itu lho anak kami.

Oh Tuhan, maafkan Dira dan segala kebohongannya hari ini. Sungguh, Dira tidak bermaksud untuk berbohong, dia hanya ingin yang terbaik untuk kehidupan Rani.

Memang itulah tugas seorang ibu, menjadi seorang pembohong demi melindungi anaknya dari dunia dan rasa sakit. Mengatakan segalanya baik-baik saja, walau sesungguhnya tidak ada satu pun yang baik-baik saja. Bersikap seolah segalanya dapat ia kendalikan, bersenyumbunyi dibalik senyuman luka, dan siap terluka untuk sang anak. Itulah seorang ibu.

Dan biarkan dosa dari segala kebohongan ini Dira yang akan menanggungnya. Karena pada hakikatnya tidak pernah ada kebohongan yang berakhir dengan kebahagian. Dira siap terluka untuk itu, beban ini akan ia pikul sendiri. Dira tidak akan membagi rasa sakitnya pada siapa pun.

"Lo punya anak, Bayu?" Dinda kembali bertanya dengan nada tidak percaya.

"Kesalahan masa lalu."

"Rani bukan sebuah kesalahan!" Dira menyela dengan tegas, terdengar jelas nada tidak suka dalam suaranya.

Bayu mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak bermaksud menyinggung Dira dengan mengatakan Rani adalah sebuah kesalahan. Itu hanya kalimat refleks yang tercipta karena rasa gengsi untuk melindungi diri.

Dinda tersenyum miris. Apa itu artinya dia tidak punya kesempatan lagi? Ini tidak adil namanya. Ayolah, Dinda sudah memberikan seluruh cintanya pada Bayu sejak mereka SMA dulu. Setidaknya biarkan dia merasakan yang namanya cinta berbalas.

"Miris sekali nasib cinta gue. Penantian gue berakhir tragis dengan hadirnya anak itu," tutur Dinda sedih. Kalau tahu begini, ia lebih memilih untuk tidak kembali.

"Maaf," sesal Bayu.

Untuk kesekian kalinya Dinda kembali tersakiti karena cintanya untuk Bayu. "Bukan salah lo," balasnya.

Entah mengapa sekarang Dira merasa bersalah melihat wajah sedih Dinda? Seharusnya dia senang, karena itu artinya tidak akan ada yang mengusik Bayu lagi. Bayu menjadi milik Rani seutuhnya sekarang. Tapi tetap saja, sebagai seorang perempuan dia merasa jahat terhadap Dinda.

~o0o~