"Pengkhianat? Ramon? Tumbal?" batin Arvy. "Apa yang kau katakan, br*ngsek?!"
Valen tersenyum senang melihat kebingungan Arvy. Ia sudah mengumpulkan energi selama ini, namun ia masih kalah dari energi normalnya. Ia tidak percaya ada manusia sekuat itu, apalagi energi dalamnya begitu stabil dan penuh. Kekuatan Valen juga masih belum pulih karena serangan Okta, pilar nomor 2 dan mantra penghubung punya Taka.
"Sepertinya aku masuk ranjang singa, tapi…informasi ini sepadan," batin Valen. "Si Alfa ternyata punya seorang kakak , Ramon akan senang mendengarnya."
"Kalau kau diam saja, aku benar benar akan membunuhmu malam ini," Arvy mendekat dan menjambak rambut bagian belakang Valen lalu menyeretnya.
"Tidak! Tidaaaak! Aaaarggghhh!"
Ruang tengah apartemen yang luas itu kocar kacir. Darah Valen bahkan menetes di beberapa titik, Arvy tidak banyak terluka. Sayangnya Valen babak belur, ia berusaha mengeluarkan energinya namun dirinya entah bagaimana gagal dan tubuhnya tidak cukup kuat.
"Aku merasa sedang bertarung dengan pilar nomor 1, sial!" Valen berusaha menyadarkan dirinya agar tidak kehilangan kesadaran. Perutnya yang kesakitan ia tekan, kedua telapak tangannya bersimbah darah dari kepalanya yang mengucur. Kondisinya benar benar parah, ia bahkan belum sempat menggunakan tenaga dalam.
"Di…di mana pria itu?" matanya menyipit.
Valen sadar ia ternyata tengah berada di kaki kursi di ruang basemen.
"Kenapa aku di sini? Apa aku pingsan?"
Dan benar saja setelah dipukuli habis habisan oleh Arvy, padahal menggunakan tangan kosong, Valen pingsan. Ia diikat dengan rantai besi. Diingatnya lagi apa yang terjadi tadi.
"Kau…tidak aka pernah bisa hidup tenang setelah ini. Kau akan jadi budakku selamanya, kau paham?"
"Arrrgghh sialan! Br*ngsek! Berani beraninya dia mau membuatku jadi budaknya! Aku sudah cukup lelah dengan tugas tugas kotor Ramon yang sialan itu berikan padaku! Sekarang apa? Aku harus jadi budak manusia biasa sepertinya huh?!"
Valen meronta dan menggesek gesekkan kakinya dan juga tangannya, namun sia sia, rantai besi itu malah makin menyakiti kulitnya.
"Arvy! Arvy! Lepaskan aku! Arvy! Br*ngsek kau! AAAARGGGGH!"
Sementara itu Arvy tengah berada di dalam kamarnya memegang sebuah pisau yang cukup nyentrik. Di gagangnya terukir tulisan dalam bahasa aneh yang tidak ia pahami. Di keluarkan pisau itu dari sarungnya. Arvy mengangkatnya dan memperhatikan detailnya yang cantik. Tanpa ia sadar, matanya lagi lagi berubah warna menjadi merah kegelapan. Dia benar benar menyeramkan.
Brak!
Pintu basemen terbuka. Arvy melirik Rey yang tidur dengan tenang di ranjang dengan selimut. Arvy mendekatinya.
"Rey…kuharap kau tidak bangun mendengar teriakan si sampah Valen ini. Karena kalau tidak, kau akan bernasib sama sepertinya."
Valen menatap Arvy yang mengangkat pisaunya ke atas seolah akan menusuk Rey, namun sesaat kemudian Arvy menolak menatapnya dengan mata melebar dan merah. Valen menelan ludah.
"Si Alfa bocah sialan itu kenapa tidak bilang punya kakak sekuat ini? Harusnya aku mengambilnya dalih alih membesarkan Alfa si parasit itu. Sial sial sial!" batinnya.
"Mau seberapa banyak kau mengumpat, kau akan mati di tanganku," Arvy mendekat lalu berjongkok. Ia menempelkan ujung pisau yang dingin itu ke pipi Valen. "Apa kau punya pesan terakhir untuk disampaikan pada Ramon?"
"A…apa katamu?"
"Ahahaha. Lucu sekali wajahmu." Arvy tertawa terbahak. "Kau sepanik itu? Aku jadi penasaran. Apa Ramon akan datang menyelamatkan anak buahnya?"
"Aku…" Valen memajukan wajahnya dan giginya menggertak marah dan kesal. "…tidak pernah menjadi anak buah Ramon sampah yang gila tumbal itu. Kau tahu?"
Arvy mendengarkannya dengan wajah datar.
"Kau bukanlah apa apa di hadapannya. Kau pikir Ramon selevel denganmu? Kalau begitu temui saja dia dan coba sentuh satu inci kulitnya. Dan kau akan mati!"
Srat!
Arvy menggores leher Valen tipis di bagian samping.
"Meski itu goresan kecil, kau akan mati dalam 24 jam ke depan, kau akan kehabisan darah." Arvy berdiri.
"Ergghhh." erang Valen sembari menahan sakit di lehernya, darah terus mengucur perlahan, wajahnya pun telah memucat. Ia sendiri tidak yakin akan bertahan dalam beberapa jam ke depan atau tidak.
"Ah ya. Sebenarnya orang bernama Ramon itu…aku tidak tertarik. Sepertinya dia tidak semenarik dirimu yang kuakui cukup kuat untuk bertahan. Kalau kau membenci atasanmu dan memberontak seperti ini bukankah kau seharusnya menyerangnya, tapi.."
Arvy mendekatinya dan menjambak rambutnya.
"Kenapa aku menyerang Alfa?!" teriaknya. Suaranya menggema di basemen. "Kenapa kau tidak membunuh Ramon sialan itu? Kenapa?!"
"Karena Ramon yang memintaku."
"Kau pikir aku percaya? Apa itu bahkan masuk akal untuk orang yang membencinya tapi melakukan perintahnya? Apa kau sudah kehilangan harga dirimu, Valen Si pengedar narkoba?"
"Aishh. Sudah kubilang aku bukan pengedar! Aku tidak ada hubungannya dengan obat obatan itu! Adikmu itu pembohong! Dia itu pandai berbohong!"
"Kalau begini, aku akan mendapatkan banyak informasi dari buronan ini," batin Arvy.
Jadi sikap psikopat nya yang ditunjukkan pada Valen hanya rekaan agar Valen makin memberitahunya banyak informasi. Saat pingsan, Arvy menaruh perekam suara di lantai bawah kasur Rey, dan merekam semuanya. Tapi memegang pisau untuk pertama kalinya membuat Arvy ketagihan, ia tidak bisa mengontrol keinginannya untuk membunuh Valen.
"Kau bahkan tidak tahu kan kalau adikmu itu telah menjadi anggota organisasi kami? Kau tahu apa?! dasar kakak tidak berguna! Kau pikir semuanya akan selesai setelah membunuhku?"
"Apa? Maksudku adikku menjadi pengikutmu? Kau gila?! adikku itu anak baik baik. Kalau kau mau memfitnah, fitnah dengan benar sialan!"
Buaggghh!
Arvy meninju perut Valen.
"Bukan aku, tapi Ramon. Adikmu itu pengikut setia Ramon."
"Sudah kubilang jangan memfitnahnya kan?" Arvy memukuli perutnya berulang kali sembari memancingnya. "Kau yang menganiayanya sampai mati dan sekarang kau menyalahkan orang lain?!"
"Jika aku terus begini, jangankan 24 jam, satu jam saja aku sudah mati di tangan pria ini." batin Valen. Ia bimbang apa harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Sedangkan pria ini nampaknya tidak tahu apa apa tentang Ramon atau Rataka.
"Kekuatannya sangat banyak dan tidak habis habis. Energi dalamnya masih berkumpul di tengah tengah tubuhnya. Dia tidak menyentuh energi itu sama sekali namun energi itu terus berkembang menjadi besar dan meningkatkan staminanya. Sepertinya kau harus mendapatkan orang ini agar Ramon tak mengejarku, tapi bagaimana? Berpikirlah Valen, berpikirlah!"
Di tengah kesadarannya yang menipis, Valen masih mampu membaca energi lawan dan situasi. Ia juga sedang memikirkan agar bisa selamat dari Rataka maupun Ramon, dan Arvy bisa menjadi tameng untuknya, dilihat dari kekuatannya yang sebanyak ini. Namun masalahnya, jangankan bersekutu, pria yang masih memukul perutnya itu kini sangat ingin membunuhnya sekarang. Valen berusaha berpikir jernih.
"Ya benar, adikmu tidak salah…" kata Valen, ia susah payah mengumpulkan sisa tenaganya.
Mendengar itu Arvy akhirnya berhenti.
"Katakan lagi."
"Adikmu tidak salah! Ramon… kau tahu siapa dia?"
"Apa aku harus tahu orang tidak penting itu?"
Valen masih bisa tersenyum miris.
"Kau tidak akan berkata begitu setelah bertemu dengannya. Biar kuberitahu…adikmu dimanfaatkan untuk memata matai seorang gadis yang akan ditumbalkan. Kau tahu siapa gadis itu?"
"Tidak mungkin. Alfa tidak memiliki gadis seperti itu!" tukas Arvy, namun sebenarnya pikirannya mengarah pada satu gadis, siapa lagi kalau bukan Amy, namun ia masih harus berpura pura bodoh sampai akhir.
"Kena kau!"