***
"Yang Mulia! Yang Mulia!" Eni menggerakkan tubuh Arunika dengan wajah panik.
Gray langsung berlari keluar perpustakaan untuk meminta pertolongan dari tabib.
'Tumben sekali rasanya tidak pahit.'
Yera berlari melihat mangkuk yang sudah kosong dan menyadari jika obat herbal itu telah diracun.
Kenapa dia tak menyadari saat permaisuri mengatakan hal itu?
Yera berbalik dan pergi ke Arunika. Terlihat Eni yang mencoba menyadarkan sang permaisuri.
"Eni, ayo bawa Yang Mulia ke kamar yang ada di perpustakaan in!" ajak Yera. Dia menoleh pada para pelayan. "Kalian bantu kami juga, cepat!"
Mereka mengangguk, kemudian membantu mengangkat tubuh Arunika yang tak sadarkan diri ke kamar di balik rentetan rak tinggi.
"Ambilkan air untuk diminum!" seru Yera. Salah satu pelayan langsung berlari pergi ke dapur untuk mengambilkan air. "Yang banyak!" teriak Yera saat pelayan itu keluar.
"Yang Mulia, sadarlah...." Eni menggosok-gosok tangan Arunika.
"Eni, kabari Yang Mulia Gasendra! Biar aku yang menjaga Yang Mulia di sini," ujar Yera pergi ke sisi kanan Arunika.
"Tapi...."
"Cepat! Gray akan membawa tabib ke sini dan kau kabari Yang Mulia. Aku yang akan memberikan pertolongan pertama!" ujar Yera menarik otot-otot lehernya.
Eni mengangguk sambil menangis. "Ba--baik. Saya pergi dulu ke Istana Gading." Dia mengusap air mata, kemudian berlari keluar perpustakaan.
"Yang Mulia, bertahanlah...!" ujar Yera cemas. Dia membersihkan darah di mulut Arunika dengan gaunnya.
Cklek!
"Kepala dayang, ini airnya!" seru pelayan membawa wadah besar berisi air yang dibantu oleh pelayan lainnya.
"Sandarkan tubuh Yang Mulia!" titah Yera.
Dia membuka laci kecil di samping ranjang untuk mengambil gelas. Dia memberikan air pada Arunika dengan perlahan.
Yera menghela napas lega. Untung saja airnya ditelan oleh Arunika. Jika tidak, maka pertolongan pertama takkan bisa dilakukan dan hanya bisa pasrah menunggu tabib datang untuk memberikan pengobatan. Itu akan terlambat karena racunnya sudah menyebar hampir ke seluruh tubuh.
Yera memberikan minum lagi pada Arunika sampai derap kaki terdengar memasuki ruang perpustakaan secara bersamaan.
Itu Gray, Keflo, dan beberapa tabib yang akan menangani Arunika.
"Yang Mulia diracun," ujar Yera pada kepala tabib.
"Ya, saya sudah mendengarnya dari Dayang Gray. Kami akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu," ujar kepala tabib. Dia membuka tas yang membawa alat dan bahan untuk pengobatan. "Apa Yang Mulia Gasendra sudah dikabari?
"Dayang Eni dalam perjalanan untuk mengabarinya."
Kepala tabib itu mengangguk, kemudian menyiapkan obat untuk detoksifikasi racun.
"Apa racunnya sudah menyebar ke seluruh tubuh?"
"Belum, Ketua! Baru sampai bahu Yang Mulia saja."
"Penyebaran racunnya melambat."
"Saya memberi Yang Mulia air," ujar Yera dengan jantung yang terasa dipukul dengan alu.
"Itu penanganan yang bagus, terima kasih." Kepala tabib itu berlari kecil menuju sisi Arunika sambil membawa semangkuk obat untuk mendetoksifikasi racun.
Gray dan Keflo menunggu di sisi ranjang lainnya dengan cemas tanpa bisa melakukan apapun. Gray juga menangis, dia merasa lalai karena tak mengetahui bahkan membiarkan permaisuri meminum obat herbal bercampur racun yang diberikan olehnya.
"Ya Tuhan... tolong selamatkan permaisuri," mohon Keflo memejamkan mata seraya menyatukan kedua tangan di depan dada.
Keflo tidak bisa membayangkan kegilaan macam apa yang akan terjadi di Mahaphraya jika permaisuri tidak selamat.
***
Di lain sisi, Gasendra sedang melakukan rapat bersama para bangsawan yang membahas tentang konsep perluasan lahan di wilayah selatan.
Rapat itu berlangsung dengan sedikit cekcok di antara bangsawan, tapi masih bisa dikatakan lancar. Sampai seorang penjaga di depan pintu ruang kerja masuk tanpa seizinnya.
"Ada apa?"
Penjaga itu mendekat padanya dan berbisik, "Dayang Eni memaksa ingin bertemu dengan anda, Yang Mulia."
"Untuk apa?"
"Saya tidak tahu, tapi wajahnya terlihat panik dan dia juga menangis."
Gasendra menahan napas. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Dia menjadi kaku dalam beberapa waktu. Matanya terus menatap pintu masuk, bertanya-tanya kabar buruk apa yang menantinya di balik pintu besar itu.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya salah satu bangsawan yang menyadari ekspresinya.
Gasendra mengalihkan tatapan. "Rapat selesai. Tunggu kabar dariku untuk rapat selanjutnya. Cepat keluar!"
Para bangsawan kebingungan dan bertanya-tanya, tapi mereka tetap melakukan perintah dari Gasendra dengan cepat karena wajah pria itu terlihat menyeramkan.
"Bawa dia ke ruang tunggu," bisik Gasendra pada penjaga.
Penjaga itu keluar lebih dahulu dari para bangsawan.
"Cepatlah!" kesal Gasendra melihat kelalaian para bangsawan.
Mereka terpaksa merapikan acak berkas-berkas laporan, kemudian keluar dengan ketar-ketir dari ruang kerja Gasendra.
"Ada apa, sih?"
"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi."
"Hei, bukankah wanita itu dayang putri baru?"
"Yang mana?"
Bangsawan itu menunjuk wanita yang dibawa masuk oleh penjaga ke ruang kerja Gasendra.
"Bagaimana kau tahu kalau dia dayang putri baru?"
"Aku sempat bertanya pada pelayan karena wajahnya cukup cantik."
"Daripada itu... bukankah ada hal buruk yang baru terjadi di istana ini?"
"Kau benar!"
"Apa kita harus mencari tahunya?"
"Tentu saja. Ayo, kita cari kabar buruk itu!"
***
"Katakan," ujar Gasendra saat berhadapan dengan Eni.
"Yang Mulia... permaisuri... saya...." Eni menunduk dengan tubuh bergetar. Dia juga takut menghadapi kemarahan Gasendra. "...Permaisuri telah diracun."
"Brengsek!" umpat Gasendra. Dia memukul dinding terdekatnya, kemudian menjentikkan jari dan menghilang dari sana dengan teleportasi tercepat.
Eni mendongak saat tak merasakan keberadaan Gasendra. Dia menghapus air mata, kemudian cepat-cepat keluar dari sana dan berlari di sepanjang koridor Istana Gading.
"Kau yang di sana!"
Eni berbalik. Matanya melebar saat bertemu dengan Jahankara beserta para bangsawan dan pengawal lainnya.
"Salam kepada Yang Mulia Raja. Semoga keselamatan dan keberkahan selalu diberikan oleh para dewa dan dewi kepada anda," ujar Eni sambil membungkukkan tubuhnya.
"Jangan berlari di koridor istana ini!"
"Mohon maafkan kesalahan saya, Yang Mulia."
"Yang Mulia tidak suka jika ada yang berlari di koridor utama, mengerti?" ujar salah satu bangsawan yang mendampingi.
"Saya mengerti, Tuan."
"Tunggu. Bukankah kau dayang Arunika?" tanya Jahankara yang baru menyadarinya.
Eni mengangguk pelan. "Betul, Yang Mulia."
"Mengapa kau ada di sini?"
Eni menelan saliva, dia mencengkram tangannya lebih erat lagi.
"Saya menyampaikan kabar untuk Yang Mulia Putra Mahkota."
Jahankara mengamati ekspresi Eni sambil mengerutkan dahi. Dia menyadari ada hal yang tak beres terjadi pada menantunya.
"Kabar apa itu?"
Jantung Eni berdegup kencang. Perutnya terasa mual karena terlalu panik dan cemas secara bersamaan.
"Yang Mulia telah diracun."
***
Gasendra tiba di depan pintu perpustakaan. Dia membukanya dan berlari menuju ruang istirahat di balik rak-rak tinggi.
"Yang Mulia!" seru mereka saat melihat Gasendra telah tiba di sana.
Mata Gasendra tertuju pada seorang wanita di atas ranjang dengan mata tertutup. Dia melihat ke sekeliling dan menemukan para tabib tengah membereskan barang-barang pengobatan.
"Bagaimana kondisinya?"
"Racunnya berhasil dikeluarkan. Beliau selamat dengan efek samping."
"Apa... efek sampingnya...?" tanya Gasendra dengan suara bergetar.
Dia berjalan ke sisi Arunika dan duduk di pinggir ranjang sambil mengamati wajah dan bibir istrinya yang berwarna hitam kebiru-biruan.
"Yang Mulia akan sulit menggerakkan bagian kepala sampai bahu dalam beberapa jam."
Gasendra mengelus pelan wajah Arunika. Matanya berkaca-kaca menyaksikan sang pujaan hati sempat mengalami kesakitan tanpa dirinya. Tatapannya tertuju pada perut Arunika yang masih terlihat rata, tapi sebenarnya tidak.
Dia menoleh pada kepala tabib yang berada tak jauh dari sana.
"Tidak terjadi apapun pada jabang bayinya, Yang Mulia."
"Syukurlah... syukurlah kalian berdua selamat...." Gasendra tertunduk dan meneteskan air mata.
Para tabib dan pelayan yang membantu mulai mengundurkan diri. Menyisakan Gray, Yera, dan Keflo yang tetap berdiri di sana.
Gasendra menatap mereka dengan tajam. Membuat mereka tersentak dan merasa haus secara bersamaan.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya Gasendra dengan suara tajam dan tatapan dingin.
"Aku sudah percaya jika penjagaan dan pengaturan di istana ini sangat baik. Haruskah aku menarik kepercayaan itu lagi?"
Satu hal yang terpikirkan oleh Yera dan Keflo saat menerima perlakuan itu.
'Inilah sisi buruk yang terbangun kembali dari Yang Mulia Gasendra.'
***
Berita putri baru diracun telah menyebar begitu cepat ke seluruh istana bahkan sampai ke para bangsawan dan rakyat di ibu kota.
Hal itu dikarenakan Eni yang memberitahu kabar tersebut di depan para bangsawan yang saat itu juga langsung dipulangkan oleh Jahankara sehingga mereka dengan leluasa menyebarluaskan berita tentang hal itu.
Banyak orang bertanya-tanya siapa yang dengan berani-beraninya meracuni seorang wanita yang dicintai putra mahkota. Beberapa spekulasi mulai bermunculan dan menghasilkan satu spekulasi yang lebih dipercayai oleh banyak orang.
'Putri mahkota telah meracuni putri baru yang dicintai putra mahkota.'
Orang-orang mengatakan jika alasannya bukan karena hal sepele seperti kecemburuan, tapi karena perasaan benci yang begitu dalam.
Spekulasi itu semakin menguat ketika dewan investigasi istana berhasil menerima pengakuan dari tersangka jika Agni yang memerintahkannya untuk meracuni sang permaisuri.
Agni yang semulanya hanya ketakutan, kini menjadi marah hingga depresi karena semua mata pedang tengah tertuju padanya.
Dia semakin pasrah ketika surat dari raja tiba di tangannya.
"Yang Mulia ingin bertemu secara pribadi denganku," lirih Agni menatap surat yang diikat dengan benang hitam di tangannya.
***
Kediaman Keluarga Envila
"Spekulasi itu berhasil dan putri mahkota telah menerima surat dari Yang Mulia Raja."
Pria yang tengah duduk di kursi itu tersenyum menyeringai.
"Apa dia akan menerima hukuman?"
"Sepertinya akan begitu, Tuan."
"Bagus...! Dengan begitu darah buruknya akan terbangun dan dia akan menjual diri pada iblis!" Dia tertawa puas.
'Kau akan menjadi tawanan iblisku, Agni!'
———