webnovel

The Black Swan Behind (Bahasa Indonesia)

WARNING! 18+ Mature Content (Kekerasan, pelecehan, alur rumit) Di bawah cahaya rembulan, sebuah kota berdiri di dalam bayang-bayang gengster yang kerap kali berbuat onar dan meresahkan masyarakat. Gengster-gengster beranggotakan pria-pria kuat yang mahir bertarung. Tidak disangka mereka adalah anak-anak muda yang gila uang dan kekuasaan. Kota itu adalah arena bertarung bagi mereka. Emma Hilland pindah seorang diri ke sebuah kota bermil-mil jauhnya dari rumah dimana ia dibesarkan sebagai tuan putri. Karena sebuah masalah, ia memutuskan pergi dan melanjutkan studi kuliahnya di kota ini. Kali ini ia akan mencoba untuk menjadi gadis normal. Namun yang namanya api, diletakan dimanapun pasti akan membakar sekelilingnya juga. Ini adalah kisah bagaimana kelompok The Black Swan terbentuk di Kota Handway. Dibalik kaki-kaki indah yang melompat di tengah hamparan bunga, terdapat duri-duri beracun yang mematikan. Namun apakah hati seekor angsa dapat ditakhlukan? **** Mohon berikan support (Power stone, Komen, Review) kalau kalian suka ceritanya ya!! Trimakasih & Selamat membaca!! \^^/ Karya Lydia_Siu di Webnovel : - The Prince Of The East Sea (Tamat) - The Black Swan Behind (Tamat) Banyak quotes, visual, dan info menarik di sosial media author! Yuk difollow! Instagram : @author_lydia_siu FB Page : author Kalong_ungu / Lydia_Siu Twitter : @kalong_ungu

Lydia_Siu · 现代言情
分數不夠
439 Chs

Mimpi Ku

Sebuah rungan luas dengan cermin besar di sepanjang tembok. Lantai kayu halus tersusun rapih tanpa cacat sehingga tidak akan melukai kaki-kaki indah yang melompat di sana. Sepasang mata indah mengintip takjub di balik pintu ruangan penuh ambisi dan impian itu. Ini adalah surga.

Sebuah jari telunjuk yang kuku lentiknya telah dicat dan diberi motif marbel, mengetuk-ketuk ringan pundak milik seroang gadis yang menghalangi pintu masuk ruang ballet.

"Ah? Ya?" Gadis bernama Emma itu berpaling dan mendapati seorang wanita berusia tiga puluhan yang sangat cantik dan anggun berdiri di belakangnya.

"Maaf.. Aku menggalangi jalan, ya?" Ia segera menggeser tubuhnya.

Wanita itu tersenyum ramah "Tidak apa-apa. Apa yang sedang kau lakukan di sini? Apa ada orang di dalam yang mau kau temui?"

Emma menggeleng "Sebenarnya aku sudah mendaftar untuk kelas ballet. Aku baru pindah ke kampus ini. Ini adalah hari pertamaku."

"Oh.. Benarkah? Pas sekali. Aku Diana, instruktur sekaligus guru kelas balet."

Kedua mata Emma membulat "Aku Emma. Senang bertemu denganmu!" ia cepat-cepat menjabat tangan halus wanita itu dengan hormat dan hati riang gembira.

"Ayo masuk. Aku akan memperkenalkanmu dengan yang lainnya. Kau sudah punya seragamnya?"

Emma menunjukan paper bag berwarna pink dengan gambar angsa putih di tangannya "Aku sudah siap luar dan dalam." Wanita itu tertawa dan mengangguk. Gadis ini begitu bersemangat.

Diana melangkah masuk dengan sosok Emma mengekor di belakangnya. Satu persatu gadis-gadis yang sedang latihan sendiri mulai menyadari dan memperhatikan mereka, karena ada wajah asing yang datang di saat yang tidak biasa. Saat ini bukan bulan penerimaan mahasiswa baru.

"Girls.. Kita kedatangan anggota baru.." Seluruh mata di ruangan mengarah kepada sumber suara. "Kau bisa memperkenalkan dirimu sekarang. Mereka adalah gadis-gadis baik." katanya kepada Emma yang menampakkan wajah gugup.

Emma menarik nafas dalam, ia tidak boleh mengacau. Kesan pertama adalah yang paling penting agar bisa diterima di masyarakat. Ia harus melakukannya dengan baik.

"Namaku Emma Hilland. Aku adalah mahasiswi baru jurusan management semester awal. Senang berkenalan dengan kalian.. Mungkin agak terlambat, tapi aku baru mau memulai ballet. Jadi.. mohon bantuannya." Ia menundukkan kepalanya sekali, kemudian menerawang semua mata yang tengah menatap dirinya dengan wajah datar. Kondisi seperti ini membuat Emma jadi overthinking, apakah perkenalannya berlebihan? Apakah ekspresinya kurang bersahabat? Apakah ia terlalu banyak bicara atau terlalu sedikit bicara? Sial! Seharusnya ia mencari tau di internet dulu, cara memperkenalkan diri yang baik dan benar.

Plok! Plok! Plok! Diana bertepuk tangan dengan senyuman lebar di wajahnya. Semua murid yang lain mengikuti. Mungkin berlebihan, namun suara tepuk tangan itu terdengar seperti petikan harpa yang dimainkan oleh biadadari surga bagi Emma. Gadis itu tersenyum lega. Rasanya tulang belulangnya yang menegang, akhirnya bisa merenggang juga.

"Selamat datang di klub kami, Emma.." Ucap mereka bergantian. Emma mengangguk-angguk terharu sembari merapalkan terimakasih.

"Baiklah.. Jadi.. Apakah kau akan mulai hari ini, atau masih mau mengerjakan hal lain? Kebetulan kelas akan dimulai sekarang." Diana mengembalikan fokus Emma.

"Oh? Aku akan memulai sekarang. Aku sudah menunggu lama untuk ini."

Diana tertawa kecil "Kau sangat bersemangat, yah." pujinya. "Baiklah, girls.. Ayo mulai pemanasan awal." ujarnya lantang dengan memberikan beberapa kali tepukan tangan untuk menarik perhatian.

***

Emma meraih botol minumnya dari dalam tas. Tubuhnya penuh keringat, yang baginya adalah keringat kebahagiaan. Pasti wanginya enak.

Selagi meneguk air dengan semberono, Emma menatap pantulan dirinya di cermin besar yang membentang di sepanjang tembok. Ia tengah mengenakan baju yang bisa dibilang, baju terbaik sejagad raya yang ia miliki saat ini. Ia, baju ballerina. Baju dengan bahan ketat dengan potongan seperti baju renang berwarna baby pink. Terlihat anggun, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang aduhai. Ia bahkan terpesona sendiri menatap sosok dirinya di cermin. Kini ia adalah Emma si malaikat, bukan Emma si iblis. Belum juga lama pindah , ia sudah suka dunia barunya ini.

"Hei.."

Emma tersedak nafasnya sendiri, tidak menyangka tingkah memalukannya yang sedang senyum-senyum sendiri menatap dirinya di cermin ternyata dipergok seseorang. Jangan sampai ia dikira sebagai orang aneh. Ia harus mendapat banyak teman disini, terutama teman-teman dari kelas balet.

"Eh.. Maaf, kau kaget, yah?" Gadis dengan wajah oriental itu tertawa kecil. Namun ia tidak bermaksud mengejek sama sekali, dan Emma tau itu.

Emma memaksakan tawanya sedikit "Lumayan.. Ada yang bisa kubantu?"

"Tidak ada.. Aku hanya mau berkenalan sebentar denganmu. Namaku Poppy Castiona, dari jurusan seni." Ia menjulurkan tangannya yang sangat mungil dan menggemaskan. Kulitnya putih pucat dengan perawakan tubuh kurus kecil dan rambut hitam lurus se bahu.

"Emma Hilland. Sedang berkenalan denganmu." Ia menjabat tangannya dengan hati berbunga-bunga. Akhirnya! Teman baru!

"Oh, ya.. Dari gaya bicaramu, sepertinya kau bukan asli kota Handway."

Emma mengangguk "Aku berasal dari kota yang sangat jauh dari sini. Aku tinggal sendiri, karena merantau."

"Wah.. Jadi kau anak rantauan, yah? Berani juga, merantau seorang diri jauh-jauh sampai kesini. Kalau aku, mungkin sudah menangis di tengah jalan." ia tertawa.

"Haha.. Kalau sudah lama, akan terbiasa." Sahut Emma, padahal dirinya sendiri memang baru pertama kali melakukan ini. Hanya, memang dasarnya saja dia tidak ada takutnya.

"Lalu.. kenapa kau masuk ke kampus ini? Aku tadi melihatmu latihan." ia terkekeh kecil. "Maaf yah.. tapi sepertinya badanmu masih kurang lentur yah.."

Emma tertawa membenarkan "Aku baru mulai belajar ballet. Karena itu gerakanku masih sangat kaku. Sebenarnya aku masuk ke universitas ini, karena hanya disini yang ada kelas balletnya."

"Oh.. Jadi karena ballet, ya? Kenapa kau tidak sekolah khusus ballet saja?" Tanya Poppy dengan dua mata bulatnya yang polos.

"Keluargaku memiliki bisnis kecil-kecilan yang nantinya harus aku kelola. Secara naluri, itu sudah menjadi bagian dari tanggungjawabku. Karena itu, selagi masih muda, setidaknya aku harus mengisi hidupku dengan hal yang aku cintai." Jujurnya.

Poppy mengangguk-angguk "Kau sangat inspiratif. Aku rasa aku menyukaimu.." ia tertawa. "Jangan sungkan jika butuh bantuanku disini. Aku cukup mahir menari ballet, karena sudah terlatih sejak kecil." ia menari berputar-putar.

Emma menatapnya kagum. Kapan ia bisa memiliki langkah seringan bulu seperti itu? Ia tidak sabar melihat dirinya sendiri yang bisa menari dengan anggunnya seperti seekor angsa.

***

Matahari mulai terbenam, membuat jalanan yang tadinya ramai mulai tertutup oleh bayangan gedung-gedung yang berjajar rapih. Lampu-lampu neon mulai dinyalakan, menandakan kehidupan malam akan segera terbangun.

Ketika bintang bergemerlap, terlihat pantulan kaki-kaki jenjang melangkah kesana kemari di kaca mata hitam besar yang menghiasi wajah bulat seorang pria bergaya nyentrik. Lehernya menopang sebuah kalung rantai emas yang tebal. Sepuntung rokok menyantol pada bibirnya yang kerap bersiul menggoda wanita-wanita yang lewat di depannya. Ia sedang menunggu seseorang yang akhir-akhir ini dikabarkan sering mengacau di daerah kekuasaannya.