webnovel

Tetaplah Bersamaku!

Terbiasa mandiri sejak kecil dan kurang kasih sayang dari ayahnya karena ditinggal pergi sang ibu untuk selamanya, membuat Aubrey Green menjadi perempuan mandiri dan tangguh. Dan, ketika harus berurusan dengan seorang pria, hati Aubrey yang dingin dan beku, akankah mencair dengan kehadiran seorang pria lembut yang selalu mengalah untuknya dan bersedia melakukan apa saja untuknya, William Knight. Atau, dia harus menerima cinta lain dari pria yang pernah dikhianati oleh wanita yang pernah jadi istrinya dan kini haus akan kasih sayang seorang Aubrey yang mampu meruntuhkan egonya? Happy Reading everyone! SIlahkan menikmati karyaku lainnya: 1. Be My Kid's Mommy (Bahasa Indonesia) 2. Angel's Blue Eyes 3. Cinta Tak Berbalas 4. My Lovely and Sassy Wife 5. Runaway Ex-Wife

Anee_ta · 现代言情
分數不夠
328 Chs

7. Bukankah hidup itu lucu?

Tanpa kedua wanita itu sadari, William mendengarkan percakapan mereka dari balik dinding kamar sang ibu. Hatinya tidak salah pilih. William sudah bertekad akan menjadikan Aubrey sebagai istrinya dan bukan gadis lain.

"Menjadi kekasih William? Bukankah ini sama dengan bertunangan?" Aubrey menghela napas dalam-dalam.

"Kalau boleh aku tahu, kenapa harus sampai tiga bulan, nyonya?" Aubrey bertanya dengan nada selembut mungkin. Perempuan berambut pirang itu baru menyadari kalau kondisi mental Anna sangatlah rapuh dan mudah sekali jatuh sakit bila dia salah mengucap.

"Karena selama tiga bulan kedepan, akan ada satu keluarga dari rekan bisnis ayahnya William datang untuk menginap disini. Mereka satu keluarga dengan ibu dan ayah juga seorang anak perempuan mereka yang usianya kurang lebih seumuran denganmu. Mereka tinggal disini selama 3 bulan karena rumah mereka sedang dalam tahap renovasi, begitu katanya." Ujar Anna, sambil mengangkat bahunya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan selama tiga bulan itu?" Aubrey masih belum mengerti apa maksud Anna.

"Huft, mereka adalah satu keluarga yang ingin anaknya dinikahkan dengan salah satu dari ke tiga anakku. Tapi sayangnya, kedua kakak William tidak ingin menikah cepat. Dan, harapan satu-satunya adalah William. Aku justru tidak rela kalau William menikah mendahului kedua kakaknya." Jawab Anna.

"Oh begitu. Jadi, aku hanya pura-pura menjadi pacarnya saja kan?" Aubrey bertanya balik.

"Betul sekali. Hanya tiga bulan. Setelah mereka keluar dari rumah ini, semua terserah kalian kembali." Jawab Anna.

Aubrey berpikir keras. Seperti apa sebenarnya sosok perempuan yang bersikeras ingin menikah dengan anak-anak dari keluarga Knight tersebut. Aubrey sendiri tidak tahu seberapa besar pengaruh dan berkuasanya keluarga Knight. Karena, baginya semua orang sama saja. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Yang membedakan hanyalah sifatnya saja.

"Baiklah nyonya, aku akan menyetujui usul anda. Hanya 3 bulan dan aku harap tidak akan terjadi apapun selama tiga bulan ini." Jawab Aubrey mantab. Ada seorang lelaki yang hatinya membuncah bahagia di luar kamar begitu mendengar keputusan seorang perempuan dengan prinsip yang kuat.

"Benarkah? Oh, aku senang sekali mendengarnya. Aku akan panggil Liam. Dia harus mendengar ini jadi kalian bisa membicarakannya dengan lebih baik." Liam langsung berlari meninggalkan kamar sang ibu agar tidak ketahuan telah menguping pembicaraan Aubrey dan ibunya.

"Nyonya, sebelumnya aku … terpaksa harus meminjam pakaianmu sekarang juga. Sebentar lagi jam masuk kelasku. Mengenai pacaran pura-pura ini, aku bisa membicarakannya nanti sepulang mengajar." Ujar Aubrey.

"Oh iya, maafkan aku lupa. Baiklah, kamu boleh pinjam mana saja yang kamu suka. Aku akan keluar kamar." Anna menepuk lengan Aubrey dengan penuh kelembutan layaknya seorang ibu.

Setelah memilih pakaian yang pantas dikenakan oleh dirinya untuk mengajar. Aubrey mengambil satu set dan langsung memakainya. Kebetulan ukuran baju ibu dari Liam pas dengan dosen muda tersebut.

"Baiklah, kalau begitu aku harus pergi sekarang. Jadwal mengajarku satu jam lagi." Aubrey keluar dari kamar Anna dan menuju ruang tamu. Namun, disana tinggal Anna dan Liam. Semua orang sudah pergi dengan urusannya masing-masing.

"Liam akan mengantarkanmu." Ujar Anna.

"Tidak usah, nyonya. Aku bawa mobil sendiri. Aku akan pergi sekarang. Terima kasih atas pinjaman bajunya. Kalau begitu, aku permisi. Sampai bertemu lagi." Aubrey pun meninggalkan Anna dan Liam yang hanya bisa memandangnya dari jauh.

"Dia perempuan yang sangat baik dan punya prinsip yang sangat kuat. Tidak ada kepura-puraan dalam dirinya agar disukai semua orang. Aku rasa, dia lebih baik daripada perempuan manapun yang pernah mommy lihat. Huft, bahkan pacar kakak-kakak mu juga tidak ada satupun yang tulus mencintai kakak-kakakmu." Jawab Anna sambil menghela napasnya berat.

"Mom, kamu tidak usah banyak berpikir. Tidak ada perempuan yang mau padaku. Aku bukanlah seorang pengusaha seperti Martin dan Jason. Aku hanya seorang pelukis." Jawab Liam dengan suara lemahnya.

"Sayangku, lukisanmu sangat indah dan berkualitas tinggi. Mommy suka sekali dengan hasil lukisanmu. Kamu juga sering mengadakan pameran. Mommy yakin, kamu akan menjadi pelukis terkenal suatu saat nanti. Bahkan lebih terkenal dibandingkan kedua kakakmu." Ujar Anna sambil membelai rambut dan wajah anak bungsunya.

Semua orang punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Bahkan ada yang memiliki kelemahan dijadikan kelebihan dan kebanggaan tersendiri. Karena tidak semua orang dilahirkan dengan bakat yang sama. Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan masing-masing.

"Aamiin, terima kasih mom. Hanya kamu yang mengerti akan kondisiku." Jawab Liam.

-----

Aubrey tidak bisa berkonsentrasi sama sekali saat mengajar. Beruntung sekali, semua mahasiswanya tidak begitu memperhatikan perubahan wajah dosen muda mereka ini. Aubrey kembali ke ruangan dosen dan memikirkan saran ibu dari Liam yang menurutnya sangat tidak masuk akal sekali. Menjadi pacar untuk anaknya selama tiga bulan. Pacaran? Bahkan aku tidak tahu pacaran itu seperti apa. Apakah pergi kemana-mana bersama, makan bersama, bercanda bersama, atau … Aubrey menggeleng-gelengkan kepalanya. Pikiran negative seperti ciuman dan lainnya yang biasa dilakukan oleh teman-temannya mulai muncul di kepalanya.

"Hai, kamu sedang memikirkan apa?"

"Becky, kamu mengagetkan aku saja."

Becky, adalah teman Aubrey juga sesama dosen. Becky sudah memiliki pacar yang selalu mengantar jemput nya ke kampus. Aubrey tidak pernah iri dengan pasangan yang berpacaran. Baginya, hidup bebas lebih baik sehingga tidak perlu meminta ijin setiap kali mau berkumpul dengan teman-teman.

"Becky, bagaimana rasanya memiliki pacar? Apakah pacarmu itu pernah melarangmu untuk melakukan apapun yang kamu inginkan?" Pertanyaan Aubrey membuat Becky menyipitkan matanya. Temannya ini terkenal dingin dan tidak pernah terlihat berjalan bersama seorang pria.

"Siapa dia?"

"Dia … siapa apanya?" Aubrey tidak mengerti.

"Pacarmu. Siapa pacarmu itu? Apakah dia seorang dosen juga?" Tanya Becky dengan tatapan menyelidik.

"APA? Tentu saja bukan. Dan, aku belum punya pacar. Kamu jangan membuat gosip yang macam-macam." Aubrey merengutkan bibirnya.

"Hahaha, kenapa kamu harus malu? Aubrey, usiamu sudah sangat pantas untuk berpacaran, bahkan temanku seusia kita ini sudah punya anak dua." Becky gantian kini yang cemberut.

"Kenapa jadi kamu yang cemberut? Memangnya Michael belum melamarmu?" Tanya Aubrey sambil tersenyum tipis.

"Kami baru berpacaran dua bulan. Dalam waktu dua bulan mana mungkin membicarakan pernikahan? Butuh waktu tahunan untuk sampai ke jenjang yang lebih serius." Ujar Becky lesu.

"Hah, aku … tidak pernah melihat wajahnya, tidak mengenal dirinya, dan baru tahu namanya kemarin … malah sudah mau dinikahkan. Kalau perlu besok menikah ya menikah." Gumam Aubrey dalam hati. Sungguh hidup ini sangat lucu. Orang yang sudah punya keinginan untuk menikah, malah belum diberikan kesempatan untuk segera menikah. Sedangkan, orang yang belum mau menikah, akan segera menikah secepatnya.

Bukankah hidup itu lucu?