Waktu berlalu, musim hujan sudah mulai tiba dan menyelikuti kota. Angin bertiup kencang di setiap malam, dengan curah hujan yang sesekali datang. Seorang gadis bernama Lea menyusuri gang kecil menuju ke rumahnya. Rintik gerimis membasahi jilbab dan jaket yang Lea kenakan, namun itu semua tak membuat Lea memberhentikan langkahnya. Karena ini sudah cukup malam dan tubuhnya juga sudah cukup lelah menjalani aktifitasnya hari ini mulai dari kuliah sampai selesai kerja.
Tubuhnya sudah ingin di istirahatkan, ya wajar saja mungkin tubuhnya kelelahan karena tenaganya terlalu di forsir. namun apa boleh buat, jika tak begitu pasti ia akan kena marah oleh ibunya jika ia tak bekerja, memang semenjak ayahnya sebagai tulang punggung sudah tidak ada, maka kini Lea lah yang menggantikan poisisi ayahnya sebagai Tulang punggung keluarga. Tapi tak apa Lea Ikhlas menjalaninya.
Lea menghentikan langkahnya di dekat lapangan kecil yang teramat sepi, dan ia terkejut melihat kejadian yang berada di depan matanya ini. Benarkah ini? Apakah ia tak sedang bermimpi?
Lea menatap pria berjas hitam, dengan penampilan yang lusuh dan acak acakan. Ada bekas tanah di pakaian yang di kenakan pria itu, yang menandakan pasti sebelumnya terjadi sesuatu. Mata Lea terarah ke tangan pria itu yang memegang pisau yang telah berlumuran darah segar. Pandangnya pun lalu mengarah kepada sosok pria yang sudah terkapar tak berdaya di tanah dengan bersimbah darah serta beberapa tusukan dan juga sayatan di tubuhnya.
Lea hanya bisa mematung menyaksikan pria yang menurutnya tampan meskipun hanya terlihat dari garis samping wajahnya.
Pria itu masih tak menyadari bahwa ada seseorang di belakangnya yang mengamati setiap gerak geriknya. Pria itu kembali menusukan pisaunya ke dada pria yang telah tak berdaya atau bahkan sudah tak bernyawa itu dengan tanpa adanya belas kasihan sedikit pun, seakan akan yang dihadapanya itu bukan lah sosok manusia sepertinya.
"Rasakan itu!" katanya, sembari mencabut pisaunya dari dada yang telah terkapar. Suaranya serasa begitu dingin, bahkan mengalahkan dinginnya malam ini.
Kemudian pria itu membalikkan tubuhnya dan mata biru pria itu bertubrukan dengan manik coklat milik Lea. Lea hanya bisa terdiam terpaku beberapa saat pada mata biru seperti sedingin es itu, tatapan nya begitu tajam dan menusuk.
"Oh .. Ada orang rupanya," gumam pria itu pelan, seolah olah dia terkejut.
"Sedang apa kau disini?" tanya pria itu dengan seringai kejam dari sudut bibirnya. Lea bisa merasakan bahwa pria itu bertingkah seperti serigala yang mempermainkan dulu mangsanya lalu melahapnya.
Lea yang semula takut, kini ia mulai menetralkan kegugupan dan berusaha menghilangkan rasa takut yang hinggap pada dirinya.
Lea balik menatap pria itu, dan ia tak berusaha mendengar apa yang baru saja di dengarnya.
"Kau membunuhnya?" tanya Lea datar. Seperti tak ada rasa takut sedikit pun yang terbesit dari suaranya.
Pria itu tersenyum dan mengangkat ke dua bahunya acuh.
"Dia pantas mati," jawab pria itu enteng.
Lea terus menatap pria itu datar, namun sedikit senyum tersungging disudut bibirnya.
"Dari mana kau menyimpulkan bahwa dia pantas mati? Dan apakah kau harus membunuhnya?" tanya Lea dengan nada sepelan mungkin.
Pria itu terkekeh, lalu balas menatap lea tajam melalui manik biru miliknya.
"Karena dia sudah tidak berguna lagi di dunia ini." Jawabnya.
Kemudian pria itu menghela napas berat seperti melepaskan seluruh beban yang ada pada dirinya.
"Iya, karena dia mencoba merampok ku dengan pisaunya, berarti dia juga harus mati dengan pisaunya sendiri. Dia pantas untuk mati bukan?" jawab pria itu.
Lea yang mendengar itu terkekeh, dengan pandangan yang tak lepas dari pria pria yang ada di hadapanya ini.
"Lalu? Apakah kamu juga pantas hidup?" tanya lea. Tatapan lea seketika berubah tajam.
"Kau bilang dia pantas mati karena dia telah mencoba untuk merampokmu. Dan kau sendiri telah membunuhnya, bukan mencoba membunuhnya. Jadi disini siapakah yang tak pantas untuk hidup?" tanya Lea tegas.
Pria itu sedikit terkejut mendengar penuturan yang keluar dari mulut gadis itu. Ia mengamati penampilan gadis itu mulai atas sampe bawah. Sangat jauh dari penampilannya yang anggun dan terkesan lemah lembut, pria itu tak menyangka jika gadis itu menyimpan keberanian yang amat besar dari balik kerudung panjangnya, dugannya berbanding balik dengan faktanya.
Lea menunggu jawaban yang akan di lontarkan oleh dari pria itu. Namun cukup lama lelaki itu tak bersuara dan hanyalah suara ketawa yang keluar dari pria itu.
Lea hanya menatap pria itu bingung, apa yang membuatnya ia tertawa, apakah ada yang lucu disini?
"Kau sangat pemberani," ucap pria itu di sela tawanya.
Lea mengernyitkan alisnya, "Apa?"
Kemudian lelaki itu menghentikan tawanya dan menyeringai kepada Lea. "Kau sangat pemberani gadis manis," ucapnya. "Tapi sayangnya aku juga harus menghabisimu, karena aku tidak ingin ada saksi dalam kejadian ini," tutur pria itu yang tidak lain adalah Deril. Ya, dia malaikat baik bagi Sayida, namun seperti itulah dunia rahasia Deril.
Lea tersenyum kecil dan menatap lelaki yang ada di hadapanya itu, "Silahkan, lakukan saja apa yang mau kau mau selagi kau bisa melakukannya," jawab Lea halus.
Pria itu mengangkat sebelah alisnya, hebat semua ini di luar dari dugaannya, tapi pria itu tak hanya berhenti sampai disitu.
"Apakah kau tidak takut mati manis?" tanya Deril sambil menghampiri Lea dengan sebelah pisau yang tengah di mainkannya.
"Tidak," jawab Lea tegas, tanpa beranjak dari tempatnya ketika pria itu melangkah mendekat ke arahnya.
"Waww, kau benar benar pemberani manis." Pria itu memberhentikan langkahnya tepat di depan Lea sambil terus menatapnya. "Apa yang membuatmu tidak takut mati?" tanyanya pada nya.
Lea hanya dapat tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit yang gelap karena tertutup oleh kumulus.
"Karena aku tau, semua yang bernafas pasti akan mati," jawab Lea.
"Dan kita juga pasti akan mengalaminya," lanjut Lea sembari mengalihkan pandangannya pada pria yang tepat ada di hadapanya.
"Dan kau tau? Mungkin sekaranglah saatnya untuk mu mengalaminya," ucap pria itu sambil tersenyum meremehkan. Matanya menatap setiap inci tubuh Lea seakan akan ia akan menerka bagian tubuh mana yang akan di lukainya.
"Mungkin," jawab Lea sembari mengehala nafasnya pelan.
"Hanya Tuhanku yang tau, kapan aku harus mati, dan hanya dia yang dapat memutuskannya." lanjut Lea halus, sembari menatap manik milik pria itu.
"Baiklah kalu begitu gadis manis, kau ingin aku melukaimu di bagian mana? Aku sarankan di tempat yang bisa langsung membuatmu mati, sehingga kau tak akan merasakan sakit yang begitu terlalu lama. Anggap saja itu bentuk kebaikanku kepadamu," ucap pria itu.
Pria itu mulai mendekatkan pisau miliknya pada wajah lea. Namun, Lea tak bereaksi sama sekali, tidak ada ketakutan sama sekali di mata coklat bening milik Lea, dan wajahnya pun tak pucat seperti orang yang ketakutan seperti biasanya.
"Apa yang kau lihat?" tanya pria itu penasaran dengan pandangan Lea yang tertuju kepada wajahnya.
"Kau terluka. Apakah itu sakit?" tanya Lea tenang, seperti tak terjadi apapun saat ini.
"Apa?" tanya pria itu bingung dan sedikit menganga. Kemudian ia tersadar dan mengusap keningnya yang di tunjuk oleh gadis itu. Dan benar saja ada sedikit darah di keningnya.
"Tidak masalah, ini hanyalah luka kecil. Bahkan sangat kecil bagiku," jawab pria itu.
Lea mengeluarkan sebuah plasteran dari dalam saku jaket yang di kenakannya dan menyodorkannya kepada pria itu.
"Ambilah. Ini bisa menutupi luka di keningmu. Aku lihat lukanya tak terlalu lebar dan dalam, hanya sebuah goresan, jadi, mungkin dengan plaster ini bisa membantu sebagai penutup lukamu," tutur Lea halus.