John duduk di samping tempat tidur. Mimpi yang dia alami terasa masih melekat di kepalanya. Itu bukan pengalaman pertamanya dengan mimpi yang seperti itu. Dia telah mendapatkan mimpi yang sama selama dua hari berturut-turut.
Setiap kali itu terjadi, maka biasanya akan berakhir sebagai bagian dari bunga tidur saja. Tapi, yang tadi itu berbeda, mimpi yang dia alami barusan berakhir dengan sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan terjadi. Dirinya tidak bisa bergerak dan merasa seolah seseorang meraih kakinya.
Dia tanpa sadar mengulurkan tangannya sendiri untuk menyentuh kakinya, lalu dia bangkit. Dia pergi ke arah meja itu lalu segera membuka tirai yang ada.
Matahari yang terik tiba-tiba menyinari kamar tidurnya; dia bahkan bisa melihat partikel debu yang mengambang di udara. John Lin adalah seorang siswa sekolah menengah atas. Setelah menghabiskan tiga tahun di SMA Keera, dia akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
Ayahnya mengelola toko kelontong, dan ibunya adalah seorang guru di pendidikan taman kanak-kanak. Pendapatan tahunan gabungan dari mereka cukup untuk menghidupi keluarga kecil ini.
Kakak perempuannya juga masih kuliah, hanya saja jaraknya cukup jauh dari rumah. Dia hanya pulang ke rumah untuk kunjungan singkat dan akan kembali ke perguruan tinggi dalam beberapa hari. Jadi, John jelas lebih sering sendirian di rumah.
Dia membuka pintu dan tetap diam. Di luar ada koridor bersih yang disirami oleh sinar mentari. John mendengar dentingan piring; kakak perempuannya sedang membersihkan peralatan makan di dapur. John lantas memasuki area dapur tersebut, lalu mengambil segelas susu hangat dari meja, dan langsung meneguknya tanpa menyisakan setetes pun.
Kakak perempuannya bernama Jean Lin, seorang wanita yang tidak pernah suka berdandan. Dia selalu mengenakan kaos polos dengan celana jins, bukan yang ketat tapi yang longgar. Gaya dan tren, mungkin menyebutnya dengan istilah, 'baggy girl' dan 'oversize'.
Satu-satunya hal yang unik tentang dirinya adalah keanggunan dan sikap tenangnya. Untuk fisik Jean sangat bangga dengan rambut hitamnya yang terurai hingga panjang hingga pinggulnya.
John meletakkan gelasnya, mengambil sepotong roti panas, dan menggigitnya. "Ayah dan Ibu tidak ada di rumah hari ini. Aku akan mengurus sarapan, makan siang, dan makan malammu. Tapi, aku akan pergi besok. Jelas kau harus menjaga diri sendiri dan jangan membuat aku dan orang rumah khawatir tentang dirimu."
Kakak perempuannya berbalik dan melepas celemeknya sebelum dia duduk di bangku tinggi di dekat meja. Dia juga memegang segelas susu di tangannya, sembari dia menyesapnya dan memberikan ceramah kehidupan.
"Hmm..." John tidak tahu harus berkata apa.
"Apakah kamu punya uang saku yang cukup? Aku telah melakukan beberapa pekerjaan paruh waktu, dan diriku mendapatkan hasil yang lumayan selama waktu liburan. Beri tahu saja jika kau membutuhkan uang." Jean selalu khawatir tentang ini dan itu, seolah sifat keibuan memang terlahir secara natural di dalam darahnya.
"Aku merasa ini sudah cukup," kata John.
Jean berpikir sejenak. "Produk khusus apa yang kamu suka? Apa yang sedang kamu butuhkan? Ada pameran besar di dekat kampus. Aku pernah pergi ke sana. Mereka menampilkan banyak hal luar biasa, dan katanya mereka tengah membuat boneka porselen yang bagus. Aku bisa membelinya satu untukmu jika kau mau. Banyak teman sekelasku menyukainya."
Saudarinya itu mulai mengoceh lagi. John hanya mendengarkannya dalam diam. Hanya sepuluh menit kemudian, dia dengan patuh menjawab, "Tidak ada yang aku inginkan."
"Oke, kalau begitu jangan selalu mengunci diri di kamar. Keluarlah dan temui orang-orang. Tidak ada seseorang yang benar-benar menyukai seorang kutu buku. Setidaknya jika kamu salah satunya, buatlah dirimu memiliki sesuatu yang keren dan menonjol," Jean terdengar tidak berdaya.
Seperti sahabatnya di asrama, dia berorientasi pada keluarga, dan adik laki-lakinya yang membosankan adalah perhatian terbesarnya. Setiap kali kakak laki-laki dari sahabatnya yang dianggap membosankan dan bertingkah jomblo pada usia empat puluh melintas di benaknya, Jean merasakan sesuatu yang mendesak seolah semua ini adalah bagian dari tanggung jawabnya.
"Aku mengerti." Tapi, sayangnya John selalu seperti itu, dia hanya mendengarnya tapi tak melakukan setiap saran yang diberikan oleh saudarinya.
Ada keheningan selama beberapa saat ketika keduanya hanya menundukkan kepala dan memakan sarapan tersebut. Mereka dengan cepat memoles semua irisan roti di piring dan menuangkan susu di gelas.
Kakak perempuannya meletakkan tangannya dan menatap John. "Jojo, aku menghabiskan banyak waktu luang untuk bekerja di perguruan tinggi, dan aku punya cukup uang sekarang. Jika kau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungi saudarimu ini."
"Iya, aku paham." John menundukkan kepalanya.
"Jojo." Jean tiba-tiba mengulurkan lengannya dan menekannya di bahu kiri John.
'Jojo' adalah nama panggilan John Lin saat berada di rumah. Hanya mereka yang paling dekat dengannya yang bisa memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Kamu seorang pria sekarang. Tolong bantu Ayah dan Ibu saat aku tidak ada. Mereka punya masalah sendiri. Seorang anak hilang dari taman kanak-kanak tempat ibu bekerja, dan anak itu ternyata salah seorang murid di kelas ibu. Jadi, dia harus menghadapi masalah tertentu saat ini. Meskipun ibu baik-baik saja, dia harus memikul sebagian tanggung jawab. Kau tahu mereka bahkan tega memotong gajinya karena hal tersebut."
John mengangguk. "Jangan khawatirkan aku, kak. Diriku baik-baik saja."
Jean kembali menatapnya seolah kalimat itu tidak cukup. Dia merasa begitu khawatir. "Tapi kenapa kamu terlihat sangat sakit?"
"Apa?" John tercengang.
"Coba lihat sendiri di cermin." Jean melepaskan bahunya tanpa daya.
John lalu segera buru-buru meninggalkan dapur dan pergi ke kamar mandi. Dia melihat wajahnya di cermin. Saat ia menoleh pada bayangan dirinya sendiri. Kulitnya jelas tampak begitu pucat, dan bibirnya begitu terlihat abu-abu.
"Apakah kamu mengalami insomnia tadi malam? Mengapa kamu tidak pergi istirahat saja atau mungkin coba saja kembali tidur?" Jean terdengar berkata di luar kamar mandi.
John menyentuh bibirnya, dan itu tampak tak normal. Hanya saja bibirnya terasa begitu kering dan mulai mengelupas.
"A-aku baru saja mengalami mimpi buruk tadi malam. Aku akan baik-baik saja setelah beberapa saat," John mengecilkan suara kekhawatirannya karena dia tidak ingin keluarganya mengkhawatirkannya meskipun mimpi buruk itu tampak nyata.
"Baiklah kalau begitu. Aku punya hal yang harus dilakukan jadi aku akan pergi sekarang. Ketika kau kembali dari sekolah, panaskan kembali makanannya. Jangan khawatir tentang diriku. Ayah dan Ibu akan berada di tempat Kakek hari ini. Itu berarti dirimu akan sendirian saja di sini. Jangan lupa untuk kunci semua pintu saat kamu keluar."
**To Be Continued**
Hai semuanya.. bab 2 telah update nih. Kita singgung background dari karakter utama kita dulu yah.. Jangan lupa tuk tambahkan cerita ini ke daftar baca kalian, agar tidak ketinggalan update terbaru. Luv xx!