Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya.
"Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba.
"Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata.
"Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana.
"Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya.
"Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua."
Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas.
"Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah.
"Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah.
"Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa sama ulang tahun kamu, itupun semalam aku yang ngingetin," cerocos Adawiyah.
"Stt …!" Wijas memberikan kode.
"Ya jadi Wijas baru semalam pesan kuenya. Ya terima nasib saja, sudah berlalu." Adawiyah tertawa, disusul oleh Reza.
"Udah, kasian Wijas. Tapi untung hari ini jadwal olahraga ya jadi kamu nggak pakai baju rombeng." Lilyana tersenyum.
"Aku ganti baju dulu ya." Lilyana menarik tangan Adawiyah menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Selesai mereka mengganti bajunya, mereka berkumpul di lapangan.
Bel berbunyi, istirahat sudah selesai. Semua berbaris dengan dua baris laki-laki 2 bari perempuan. Lilyana berada di baris kedua setelah Adawiyah, Wijas pun sama sejajar dengan Lilyana.
Pak Roihan meniupkan pluit agar semua berbaris dengan rapi, "Rapikan barisannya, rentangkan tangan!" Semua siswa merentangkan tangannya, Wijas menyentuh tangan Lilyana, mereka saling berpandangan dan tersenyum, jemari mereka saling menyentuh.
"Sekarang kalian lari lima putaran!" perintah Pak Roihan.
Mereka berlari bersamaan, bak dunia hanya milik berdua Wijas dan Lilyana lari dengan berpegangan tangan.
"Noh lihat saudara kamu, rasanya kita ini kek ngontrak di dunia." Adawiyah menyenggol Reza yang berada di depannya.
"Hooh. Namanya juga sedang dimabuk asmara," tutur Reza.
Selesai olahraga mereka kembali ke kelas beristirahat di sana. Semua siswa merasa lelah dengan olahraga kali ini ditambah teriknya matahari seperti berada di puncak ubun-ubun.
"Sekolah kan sudah selesai nih, kayanya enak nih minum yang dingin-dingin apalagi diteraktir!" teriak Adawiyah sambil melirik Reza, Reza yang mengerti maksud Adawiyah ikut berbicara.
"Ayolah segera!" Reza bersemangat.
Wijas mendengar ucapan mereka berdua bangkit dari berbaringnya di atas meja sambil memegang tangan Lilyana.
"Ayo kita serbu warung Mak Siti!" Wijas berteriak, semua bersemangat dan berlari sambil membawa tas dan barang-barang mereka menuju kantin.
***
Di tempat lain Sarinila sedang berbelanja bersama Nery di supermarket, ia membeli sayur, buah dan keperluan lain untuk kebutuhan di rumah yang sudah habis. Nery melirik kue-kue yang berjejer di etalase.
"Ibu, Nery pengen beli ini boleh?" tanya Nery kepada Sarinila sambil menunjuk kue berukuran kecil bulat di tengahnya terdapat potongan buah cherry kecil dan dihiasi remah coklat.
"Oh Nery mau kue?" tanya Sarinila.
"Bukan buat Nery bu. Buat kak Lily," Nery menjawab.
"Iya boleh, Nery juga mau, jadi kita belinya dua gimana?" tawar Sarinila kepada anaknya.
"Nggak, karena Nery nggak ulang tahun," ucap Nery polos.
"Ya sudah. Mbak, boleh ambil yang ini?" tanya penjaga toko.
"Boleh, ini invoice-nya nanti bayar di kasir, Bu." Penjaga itu memberikan kertas beserta kuenya.
"Biar Nery saja yang bawa kuenya, Bu," tutur Nery. Sarinila memberikan bungkus kue tersebut
"Hati-hati, Nak. Yuk kita ke kasir buat bayar." Sarinila mendorong keranjang belanjaannya.
Dan mereka ke kasir dan membayar belanjaannya. Sarinila dan Nery masuk mobil, Hertawan sudah menunggu di dalam lalu mereka pulang.
***
Sesampainya di sana Wijas mendekati Mak Siti yang sedang duduk di kursi plastik.
"Mak Siti, teman-teman mau makan di sini sepuasnya nanti yang bayar aku yah," jelas Wijas.
"Oke, Bos." Mak Siti bangkit dari duduknya siap melayani pesanan. Seketika berjajar semua membawa makanan cemilan, minuman dingin, ada yang pesan mie ayam, mie bakso, batagor. Terlihat begitu menikmati, tetapi Lilyana hanya berdiam diri di bangku.
"Kamu mau makan apa sayang?" tanya Wijas kepada Lilyana.
"Apa kamu nggak berlebihan?" tanya Lilyana.
"Nggak papa, kan nggak setiap hari," jawab Wijas.
"Aku pesankan bakso ayam gimana?" tawar Wijas.
"Boleh," jawab singkat Lilyana.
Adawiyah dan Reza membawa mangkuk berisi mie bakso ia segera duduk yang satu meja dengan Lilyana.
Wijas pun datang, kemudian disusul oleh Mak Siti yang membawakan nampang yang berisi dua mangkuk mie ayam dan es jeruk.
"Terima kasih, Mak Siti," ucap Lilyana.
Mak Siti mengangguk kemudian berkata, "Selamat makan."
Mereka telah selesai makan, Wijas menghampiri Mak Siti untuk membayar.
"Wijas, terima kasih ya," teriak Adawiyah kemudian disusul dengan teman-teman yang lain mengucapkan terima kasih.
"Yuk, sama-sama. Kita pulang duluan yah." Wijas menarik tangan Lilyana. Lilyana melambaikan tangan kepada Adawiyah dan Reza, mereka juga membalas lambaiannya, dan mereka pun berlalu.
***
Hertawan mondar-mandir melihat jam dinding, sesekali ia melihat ponselnya lalu terus menekan tombol panggil kepada nomor Lilyana.
"Kenapa Lily belum juga pulang duh? Mana ponselnya mati," keluh Hertawan.
"Nanti juga pulang, Yah." Sarinila menjawab sambil menekan tombol remote televisi dan ia duduk di sofa. Lalu, Hertawan duduk di dekat Sarinila.
***
Di motor yang sedang melaju Lilyana yang begitu bahagia, baginya ini merupakan ulang tahun yang sangat berkesan, baru kali kini ada orang yang peduli dengan ulang tahunnya. Lilyana merangkul Wijas, tangan kiri Wijas mengusap tangannya Lilyana, tangan mereka saling bertemu. Wijas melihat ke arah kaca spion, ia tersenyum begitu manis begitu juga Lilyana.
"Aku mau bawa kamu ke suatu tempat," imbuh Wijas.
"Kemana?" tanya Lilyana.
"Nanti juga kamu tahu," balas Wijas.
Mereka sampai di sebuah danau kecil, di sana ada sampan. Wijas menuntun tangan Lilyana agar ia selamat naik ke dalam sampan, akhirnya mereka berada di dalam sampan, Wijas mendayung dayung sampai berada di tengah danau. Wijas membuka tas ranselnya kemudian ia mengeluarkan sebuah kado yang masih dibungkus rapi, kemudian ia mengeluarkan kotak kecil dan dibukalah kotak tersebut. Lilyana tercengang bukan kepalang kejutan demi kejutan yang ia dapat hari ini begitu banyak. Lilyana menutup mulutnya yang terbuka lebar karena kaget.
"Ini apa?" tanya Lilyana dengan mata berkaca-kaca.
"Ini cincin untuk kita berdua. Yang satu buat aku, satu lagi buat kamu, aku pakai kan ya." Wijas menarik pelan tangan kanan Lilyana dan memakaikan cincin tersebut di jari tengahnya. Lilyana mengambil cincin satunya lagi dari kotak dan ia pakai kan ke jari tengah Wijas. Lilyana memperhatikan ukiran nama yang ada di cincin.
"Wily!" lirih Lilyana.
"Iya, gabungan kita berdua," jawab Wijas.
"Terima kasih banyak, kamu telah membuat aku berkali-kali membuatku bersyukur kepada Allah."
Wijas memegang kedua tangan Lilyana, ia usap terus kemudian mencium kedua tangannya.
"Aku akan selalu membuatmu bahagia, Lilyku."
Tiba-tiba Lilyana terdiam sekejap, dan melepas tangannya Wijas.
"Ya ampun, sekarang jam berapa?" tanaya Lilyana dengan merogoh tasnya mengambil ponsel. Wijas melihat jam tangannya dan berkata, "Jam 15.15. Kamu harus cepat pulang ya?"
"Iya. Aduh ternyata ponselku mati. Ayo pulang!" suruh Lilyana. Wijas memasukkan kadonya ke dalam tas ransel Lilyana kemudian Wijas mendayung dengan cepat dan mereka sampai ke motornya segera Wijas menyalakan motornya. Tidak lama mereka sampai di warung Ceu Mala, Lilyana berkata kepada Wijas, "Maaf yah jadi terburu-buru. Terima kasih banyak untuk hari ini, kamu hati-hati di jalan." Lilyana tersenyum meskipun kini jantungnya berdebar sangat kencang takut terhadap ayahnya.
"Sama-sama. Kamu cepat pulang," suruh Wijas.
Lilyana berjalan meninggalkan Wijas, begitu juga dengan Wijas.
Lilyana sampai di halaman rumah, ia berhenti melangkah lalu tangannya menyentuh dada, 'Ya Allah, semoga ayah tidak marah,' monolog Lilyana. Ia berjalan kembali sampai di depan pintu, ia buka secara perlahan.
"Assalamualaikum." Lilyana mengucap salam.
"Waalaikumussalam."
Lilyama menyalami tangan ayahnya. Namun, belum juga Lilyana beristirahat Hertawan sudah tak sabar ingin segera memarahi Lilyana—anaknya.
"Kenapa kamu baru pulang?" tanya Hertawan sinis.
"Iya ayah, tadi ada perlu dulu sebentar," ucap Lilyana pelan.
"Kenapa nggak kasih kabar? Kenapa ponsel kamu dimatikan?" cecar Hertawan.
"Lily lupa semalam nggak diisi baterainya jadi nggak bisa ngasih kabar ayah." Lilyana menundukan kepala.
"Kan kamu bisa kasih kabar lewat Adawiyah?" timpal Hertawan.
"Iya ayah maafkan Lily."
"Hmm." Hertawan mendenguskan napasnya.
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk.
'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.
'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.
***
Bersambung
Hai salam kenal dariku penulis pemula
jangan lupa baca kelanjutan ceritanya dan follow juga akun Ig @iisayyidah24 dan Fb Iis Sayyidah Nur Azizah