Setelah meninggalkan aula hotel—tempat acara berlangsung, David bergegas pergi ke lantai dasar menggunakan lift. Ia terus berjalan dengan langkah cepat menuju tempat parkir, dan segera mengendarai mobilnya meninggalkan gedung hotel tanpa memperdulikan perasaan siapapun, termasuk perasaan wanita yang baru ia nikahi.
Di dalam mobil, David melajukan kendaraannya tanpa arah tujuan. Tangannya terkepal erat sambil memegang roda kemudi. Mata elangnya menatap tajam ke arah depan dengan ekspresi wajah yang sangat dingin.
David merasa kesal dengan apa yang terjadi hari ini. Ia terpaksa menikah dengan seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya. Dan nama wanita itu ... sama persis dengan nama wanita yang ia benci, "Elyana!"
"Aish, sial!" makinya sambil memukul roda kemudi.
Tadi ketika di altar pernikahan, setiap kali ia mendengar nama Elyana disebut, hatinya terasa sakit dan perasaannya sangat kecewa. Nama itu mengingatkan David pada seorang wanita yang pernah hidup bersamanya selama satu minggu.
Namun, walau sama-sama bernama "Elyana", mereka orang yang berbeda. Karena, dari kartu identitas yang pernah ia lihat di dalam kopernya waktu itu, Elyana yang bersamanya berasal dari kota Lyon, bukan putri tunggal dari rekan bisnis ayahnya—Alex Danu.
"Bagaimana bisa di dunia ini ada kesamaan yang menyebalkan seperti ini?" ucapnya masih dengan penuh kekesalan.
David tidak pernah lupa, satu bulan yang lalu ketika Elyana masih berada di rumahnya, ia sudah menyiapkan acara makan malam yang romantis untuk mereka berdua. Ia pun sudah menyiapkan sebuah buket bunga di dalam mobil untuk Elyana. Tapi, wanita itu malah pergi meninggalkan rumahnya tanpa berpamitan terlebih dahulu. Bahkan, wanita itu dijemput oleh seorang pria. Hati pria mana yang tidak akan tersakiti dengan hal itu?
"Arghhh ... brengsek!" makinya lagi, seolah belum puas. "Bagaimana bisa, aku menolong seorang 'wanita jalanan' yang tidak tahu berterimakasih seperti Elyana?"
Ketika David ingin memaki lagi, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari saku jasnya. Awalnya ia menghiraukan panggilan itu, tidak berniat melihatnya. Namun, setelah beberapa detik berhenti, suara dering ponsel itu kembali terdengar.
"Siapa yang berani menggangguku?" ucapnya dengan kesal.
David masih mengendarai mobilnya, satu tangan mengambil ponsel dari dalam saku jas, dan melihat nama yang tertera di sana.
Di layar ponsel itu, terlihat panggilan masuk dari Felix.
"Mau cari mati? Beraninya kau menggangguku!" David segera menekan tombol merah, lalu menonaktifkan ponselnya.
Bukan hanya menolak panggilan masuk dari sahabatnya, tapi juga tidak membiarkan siapapun menghubunginya. Setelah dinonaktifkan, ponselnya dilempar ke kursi belakang tanpa berpikir panjang lagi. Ia hanya ingin melenyapkan sesuatu yang mengganggunya.
Ya, saat ini, orang lain memang tidak ada yang berani mengganggu Tuan Muda David, tapi Felix, punya alasan yang kuat untuk terus mengganggunya dengan terus menelepon David.
*
Di Aula gedung hotel tempat cara berlangsung, Felix sangat gelisah sambil memegang ponselnya. Ia duduk bersama dengan Edwin yang juga berekspresi sangat buruk.
"Bagaimana ini? Ponselnya sudah dinonaktifkan. Kita tidak bisa lagi memberitahunya bahwa Elyana adalah wanita yang baru saja dia nikahi. David pasti belum menyadari, bahwa istrinya adalah si wanita jalanan itu," ucap Felix pada Edwin.
"Coba, Tuan kirim foto nona Elyana ke Tuan David sekarang," jawab Edwin dengan serius. Sesekali ia melihat ke arah Elyana yang sedang berdiri di depan sana.
"Bagaimana bisa mengirim fotonya ke David? Aku bilang, ponselnya mati. Percuma saja mengirim apapun padanya."
"Jika kita mengirim foto Nona Elyana sekarang, nanti, ketika Tuan David mengaktifkan ponselnya, dia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang, cepat potret Nona Elyana!" Edwin tetap saja memaksa. Ia masih duduk sambil memperhatikan istri majikanya. Takut, wanita itu akan menghilang lagi jika sampai dirinya lengah.
"Aish, kau!" Felix menatap Edwin dengan tajam. Tidak mengerti dengan jalan pikiran asisten pribadi David ini.
'Mengapa tidak Edwin saja yang mengirim foto Elyana pada David? Bukankah dia asisten pribadinya? Mengapa malah aku yang Edwin perintah?'
"Cepat, Tuan Felix. Segera potret Nona Elyana!" ucap Edwin memotong lamunan Felix. Dari nada suaranya, terdengar bahwa ia tidak sabar.
"Edwin! Kau berisik sekali! Ya ... ya ... ya, aku akan memotretnya sekarang. Puas?" Felix segera mengambil ponselnya. Mengarahkan kamera ponsel ke tubuh Elyana yang mengenakan gaun pengantin di depan sana.
Klik!
Satu foto ia dapatkan. Felix segera mengirim foto itu ke kontak David.
"Sudah! Tuh, lihatlah!" ucapnya sambil mengarahkan ponsel yang ia pegang tepat ke wajah Edwin.
"Ya, Tuan! Tapi maaf, singkirkan ponselmu dari wajah saya!" Edwin memiringkan tubuhnya ke belakang, menghindari gerakan tangan Felix.
"Aku hanya khawatir, kau tidak bisa melihatnya dengan jelas. Coba, lihat satu kali lagi!" Felix masih mempermainkannya. Membuat Edwin semakin memiringkan tubuhnya ke belakang.
"I-iya, Tu-Tuan! Saya sudah melihatnya. Ahhhhh—"
Bruk!
Terdengar suara gaduh diiringi tubuh Edwin yang terjungkal ke belakang bersama dengan kursi yang ia duduknya. Semua orang segera menoleh untuk melihat keributan itu.
"Awh, Tuan Felix, bantu saya bangun!" ucapnya dengan pela. Ia menatap kiri dan kanan, menerima tatapan kasihan dari semua orang.
Bukan hanya karena rasa sakit saja yang membuatnya tidak bisa bangun, tapi karena rasa malu dari tatapan semua orang, itu yang membuatnya enggan untuk bangun sendiri.
Felix tertawa samar, lalu mengulurkan tangan untuk menarik tangan Edwin.
'Tuan Felix, apa kau sengaja, ingin membuat saya malu?' Senyuman itu, Edwin bisa melihatnya.
Dengan menahan rasa malu, Edwin kembali duduk di samping Felix. Menebalkan muka tetap berada di sana demi mengawasi istri majikannya.
*
Hingga tidak terasa, hari sudah mulai gelap dan acara pun sudah selesai. Semua para tamu undangan sudah meninggalkan tempat acara, tidak terkecuali dengan sang mempelai wanita.
Elyana diantar pelayan menuju kamar hotel yang ada di lantai paling atas. Kamar hotel terbaik yang sengaja mereka persiapkan untuk kamar pengantin Elyana dan juga pria itu.
"Selamat beristirahat, Nona!" ucap pelayan itu sopan, ketika sudah berada di depan pintu kamar.
Sebelum pelayan itu pergi, Elyana menahannya. "Tunggu sebentar! Di mana barang-barangku?"
Pakaian ganti miliknya masih ada di kamar lain, bahkan ponsel yang rusak pun masih tertinggal di sana. Jika di sini tidak ada pakaian ganti, bagaimana Elyana mengganti pakaian?
'Tidak mungkin selamanya memakai gaun pengantin ini, kan?'
"Semua barang Anda sudah ada di dalam kamar, Nona! Kami pun sudah menyiapkan pakaian tidur, pakaian dalam, dan pakaian untuk besok pulang!" jawab pelayan itu, masih dengan sopannya.
"Besok siang, ada sopir yang akan menjemput Anda! Jadi sekarang, istirahatlah dulu," tambahnya lagi.
'Apa ... dijemput? Mereka mau membawaku ke mana? Bukankah David tidak menginginkan istrinya? Mengapa aku harus mengikuti mereka?'
Elyana tidak akan pernah lupa dengan rasa malunya hari ini. Di depan semua orang, suaminya meninggalkan dirinya sendirian di acara pernikahan.
'Jika tahu akan terjebak pernikahan dengan pria asing, lebih baik, aku tetap berada di rumah dan menerima perjodohan dari Kakek! Selain hidupku aman, juga, aku bisa menerima setengah dari harta peninggalan Papa!'
Mengingat tentang papanya yang sudah meninggal, Elyana merasa sedih.
"Baiklah, aku istirahat dulu!" ucap Elyana pada pelayan itu. Lalu ia menutup pintu kamar dengan pelan.
Di dalam kamar yang sangat mewah, Elyana bersandar di pintu dengan perasaan yang terluka.
Bagaimana bisa, hidupnya berakhir seperti ini? Terjebak di tempat asing, dan di dalam tekanan orang lain. Ia terpaksa menikah dan menerima uang satu juta dolar, hanya demi menyelamatkan keluarga Danu.
Seketika tangisannya pecah, tubuhnya ambruk di lantai. Ia sudah tidak ada kekuatan untuk berdiri lagi.
"Mengapa nasibku berubah dalam satu hari? Apa yang aku lakukan sekarang? Bahkan, aku menghancurkan hidupku sendiri!"
Kemarin siang, dirinya masih Nona Elyana yang menyamar menjadi seorang pembatu. Dan sekarang, dirinya sudah berubah status, menjadi istri orang lain.
"Kakek, apa ini adalah karma karena aku membantah perintahmu?" Ia menunduk dan terus menangis.
Walau bagaimanapun, tindakannya kabur dari rumah dan membantah perintah orang tua, itu adalah hal yang salah. Tidak seharusnya seorang anak membatah perintah orang tua—termasuk seorang kakek—demi keegoisannya sendiri.
Pada akhirnya, itu akan berakhir dengan kesedihan.