webnovel

TERBIASA

Dua pemuda dewasa akhirnya saling jatuh cinta, karna selalu bersama dalam ikatan pekerjaan. Namun, salah satu dari mereka sudah bertunangan. Bisakah mereka berasama?

Altwp · LGBT+
分數不夠
38 Chs

Dua satu

Dengan rasa malas dan penuh keraguan--Arga yang sedang duduk di atas tempat tidur, memasukan satu-persatu pakainya ke dalam tas ransel.

Semua kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Tias, masih terngiang di telinganya. Rasanya seperti menusuk hati.

Arga merasa, kehadiranya hanya akan menjadikan masalah untuk Eza. Sebagai orang yang sangat menyayanginya, tentu saja ia tidak ingin menghancurkan masa depan Eza. Meski sakit, tapi pergi dan menjauh dari pemuda yang sangat ia sayangi, adalah keputusan bijak yang harus ia ambil. Banyak alasan yang membuat ia akhirnya memilih keputusan untuk pergi.

Arga tidak ingin membuat Ibu Eza menjadi sedih dan terluka. Arga tidak mau mengecewakan hati seorang ibu. Ia berfikir, jika masih berada di kota ini, maka sepertinya akan sulit bagi Eza untuk melupakan dirinya. Begitupun sebaliknya.

Meski berat dan menyakitkan, namun demi kebahagiaan orang yang disayang, keputusan itu harus tetap ia ambil. Meningalkan kota ini, pergi menjauh dari orang yang sudah membuat hidupnya berubah lebih indah.

Arga menghela. Pertemuan dan kebersamaan yang singkat bersama Eza, sepertinya akan sangat sulit ia lupakan. Bahkan mungkin tidak akan pernah mampu. Kenangan itu terlalu indah.

Secara tidak sengaja, ia menoleh ke arah meja di samping kepala dipan. Manik matanya melihat kotak kecil berwarna hitam, tergeletak di sana.

Mengehentikan aktifitas mengemas pakaian, Arga beranjak turun dari tempat tidur. Ia berjalan ke arah meja, guna mengambil kotak hitam tersebut.

Lagi, Arga menghela napas sambil mendudukan dirinya di tepi dipan. Ia menelan ludah, tenggorokan seolah tersedak, dan hatinya berdesir setelah melihat isi dalam kotak berwarna hitam tersebut. Semua kenangan indah itu kembali hadir membayangi dirinya. Cincin bertuliskan huruf E itu, seolah mengundang satu persatu kenangan demi kenangan. Bagaimana saat Eza memberi cicin, kenangan saat mereka bercanda di atas motor, dan semua kenangan indah lainya saat mereka berada di kota Jogja.

Arga membulatkan mata, menghalau air supaya tidak menggenang di kelopak matanya. Namun hatinya terlalu sedih, hingga ia tidak mampu mencegah air matanya. Air mata itu sudah membuat bola matanya berkaca-kaca.

Lagi, Arga mengehela napas sambil menutup kembali kotak hitam tersebut, lalu ia letakan di atas bantal. Melihatnya terlalu lama akan membuat ia semakin tersiksa.

Took... took... took...!!

Suara ketukan pintu kamar, mekasa Arga buru-buru menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya. Pemuda itu baru berani membuka suara setelah yakin bola matanya tidak lagi berkaca.

"Ma-masuk." Suara beratnya terdengar terbata.

Arga mengulas senyum--namun dipaksakan, begitu melihat dua orang yang ia panggil paman dan bibi sedang berjalan mendekati dirinya.

"Bi... Man..." Arga menatap dua orang itu satu persatu. Senyum yang dipaksakan, masih terulas di bibirnya.

"Ga, kamu serius mau pulang ke kampung kamu?" Ibu Lina--wanita yang dipanggil bibi oleh Arga, menatap murung pakaian keponakannya yang sudah masuk ke dalam ransel.

Arga mengangguk ragu, "iya bi," jawabnya.

"Terus kerjaan kamu gimana? Kamu kan baru dapet kerjaan enak. Katanya atasan kamu juga baik." Bu Lina mendudukkan dirinya di tepi dipan--di samping Arga. "Baru kemaren kamu bilang sama bibi, kalau kamu seneng banget kerja di sana."

Arga menarik napas panjang sebelum akhirnya ia lepaskan secara kasar. "Kayaknya, aku mau keluar aja, bi."

Keputusan Arga membuat ibu Lina menoleh ke arah sang suami. Bersitatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia menatap kembali keponakannya.

"Apa kamu udah pikirin masak-masak, Ga?" Pak Tohir--paman Arga membuka suaranya. "Jaman sekarang, nyari kerjaan susah lho."

"Udah paman," sahut Arga. "Aku mau cari kerja deket rumah aja. Yang penting dapet duit."

"Apa kamu udah enggak betah tinggal di sini?" Cetus bu Lina. "Apa selama tinggal di sini, paman sama sering bikin kamu tersinggung, sakit hati. Kalau iya, kami minta maaf. Tapi paman sama bibi itu udah terlanjur sayang sama kamu. Kami emang miskin, enggak punya apa-apa, tapi paman sama bibi udah anggep kamu seperti anak sendiri__"

"Astaga bibi," serga Arga cepat. Pernyataan ibu Lina, membuat ia jadi merasa tidak enak. Ia mengulurkan pergelangan, meraih pundak bu Lina, hingga berakhir menyadar di pundak. Tanpa melupakan sopan santun, pemuda itu mengusap punggung wanita yang ia sebut bibi. "Kok bibi ngomong gitu? Aku kan udah lama tinggal sama kalian, jadi aku enggak mungkin kayak yang di omongin sama bibi tadi."

Arga menghela sebelum kembali berbicara. "Aku betah tinggal di sini bi, tapi aku tetep harus pulang. Tolong paman sama bibi jangan mikir yang macem-macem. Aku kangen sama kampung bi, aku pengen tinggal di sana biar bisa deket sama bapak-ibu." Arga terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya kepada wanita yang masih ia peluk. "Tolong di ijinin, bi."

Menggunakan telapak tangan bu Lina menyeka air mata yang sudah merembes melewati pelupuk matanya. "Kalau itu udah keputusan kamu, bibi nggak berbuat apa-apa. Bibi cuma bisa ikhlas." Ibu Lina mengurai pelukannya, menatap Arga yang juga sedang menatap dirinya. "Tapi kamu jangan lupa sama bibi, kamu harus sering ke sini nengokin bibi."

Arga mengulas senyuman. "Iya bi, pasti." Kemudian ia mengambil kota kecil berwarna hitam yang ia taru di atas bantal barusan. Ada amplop berwarna putih di bawah kotak hitam tersebut. "Aku nitip ini ya bi, kalau misal nanti temen aku yang namanya Eza kesini, tolong kasih ini ke dia."

Ibu Lina meraih kotak hitam berikut amplop putih di bawahnya. "Apa ini?"

"Itu punya dia bi. Enggak sengaja kebawa sama aku waktu pulang dari Joga. Aku lupa kemaren mau balikin." Lagi-lagi Arga harus berbohong.

"Kenapa nggak kamu aja yang kasihin. Kan sekalian pamitan." Usul ibu Lina.

Arga menelan ludah. "Nggak bisa bi. Dia itu orang sibuk, susah ditemuin. Apa lagi, Eza udah dapet tugas lagi keluar kota."

"Oh..." ucap ibu Lina.

Arga mengulas senyum. Demi kebaikan ia terpaksa membohongi paman dan bibinya.

Tbc