Theo sudah kembali lagi ke Desa Bari seorang diri. Seperti yang Maria bilang, ia akan tinggal di kota untuk meneliti virus itu lebih lanjut. Ia diantar oleh seorang kadet untuk menggantikan Theo. Rencananya Theo dan John akan kembali lagi ke Desa Kali untuk mencari tahu lebih lanjut tentang desa itu. Sebelum itu, John memutuskan untuk mengajak Theo melihat gedung yang berada di Desa Uma.
"Theo, sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk menunjukan gedung itu kepadamu. Kita akan terlebih dahulu pergi ke Desa Uma untuk melihat gedung yang pernah aku ceritakan padamu," ucap John.
"Really? Wah, aku sangat tidak sabar! Aku sangat suka tentang misteri," ucap Theo semangat.
"Baiklah, persiapkan dirimu. Kita akan berangkat dalam lima belas menit."
Theo menganggukan kepalanya dan mempersiapkan segala keperluannya. Ia akan meninggalkan Desa Bari selama kurang lebih tiga hari lamanya. Karena waktu satu hari tidak cukup untuk meneliti Desa Kali yang di penuhi oleh gandum. Theo dan John mempersiapkan penyamaran mereka terlebih dahulu, John sudah tidak bisa lagi masuk ke Desa Kali karena Kepala Desa Kali sepertinya sudah terlanjur membencinya.
"Baiklah, aku sudah siap! Bagaimana denganmu John?" Tanya Theo yang sudah siap dengan tas gunung yang berada di punggungnya.
"Aku juga, ingat. Kita adalah seorang pendaki yang tersesat bukan seorang tentara. Mengerti?"
"Baik, baik. Aku paham."
Mereka berdua lalu berangkat menuju Desa Uma dan menyerahkan segala tugas mereka kepada para kadet untuk sementara. Mereka juga sudah diberitahu untuk berhati-hati mengkonsumsi makanan atau minuman yang bahannya berasal dari sekitar waduk.
Setelah lama menuruni gunung, akhirnya mereka berdua sampai di pintu gerbang Desa Uma. John dan Theo langsung masuk ke dalam sana dan menyesuaikan peran.
"Apa letaknya jauh dari sini?" Tanya Theo.
"Tidak, sebentar lagi kita akan sampai. Tapi sepertinya gedung itu akan sepi karena semua warga sudah pergi ke kota untuk berobat."
Mereka berjalan melewati lapangan bola tempat dimana pertama kali John bermain bola dengan anak-anak. Deja vu, itu yang John rasakan. Rasanya sangat hampa ketika melihat bola rotan tergeletak begitu saja di tanah tanpa ada yang memainkannya. Bola itu sepertinya sudah lama berdiam diri disana.
John dan Theo sampai di depan gedung yang berdiri kokoh di bawah kaki bukit. Theo sungguh terpesona melihat kemegahan gedung itu. Pertama kalinya ia melihat gedung yang sangat indah ini. Tak sia-sia dirinya semangat untuk mengikuti John kemari, rasa penasarannya akhirnya terbayarkan setelah sekian lama.
"Wow, John! It's beautifull! Aku... Aku belum pernah melihat gedung yang semegah ini sebelumnya di dalam hidup ku! Ini bukan lah gedung, apa mungkin ini adalah tempat dimana para dewa tinggal? Aku ingin segera masuk ke dalam sana!" Kata Theo.
"Tentu kita akan masuk. Ayo."
John langsung mengajak Theo untuk masuk ke dalam gedung itu. Namun, siapa sangka jika Nyonya Samanta dan Maria sedang memasak makanan yang tidak banyak namun juga tidak sedikit.
"Permisi Nyonya," kata John.
"Owh, Tuan tentara?" Pekik Maria.
Swushh~
Angin menerpa wajah tampan Theo seiring berlarinya Maria ke arah John. Sensasi apa ini?
"Bagaimana kau bisa tahu jika ini adalah aku?" Tanya John saat Maria berhasil membongkar penyamarannya.
"Hei, kau memiliki tato naga di lengan kekarmu. Tentu saja aku mudah mengenalimu. Mengapa kau berpakaian seperti seorang pendaki? Apa kau akan mendaki? Bolehkah aku ikut?" Kata Maria di depan John.
"Tidak, ini demi kepentingan misi ku." John sedikit menjauhkan tubuhnya dari Maria.
Theo melihat betapa imutnya gadis di hadapannya ini. Maria memiliki wajah yang polos, alami, dan tentu saja cantik. Maria menggunakan dress panjang yang elegan, padahal ia menggunakan dress rumahan biasa. Theo tanpa henti memandangi wajah Maria yang imut saat merengek manja di hadapan John.
"Ahh, cantiknya..." Tanpa sadar Theo bergumam agak keras sambil memerhatikan Maria.
"Siapa yang cantik?" Tanya Maria.
"Hmm, itu... vas bunganya sangat cantik."
Theo berjalan cepat ke arah vas bunga yang ada di pojok ruangan dengan jantung yang berdebar kencang. Tatapan Maria yang tanpa sengaja bertemu dengannya membuat segalanya menjadi lebih sulit. Kenapa sesulit itu menatap mata Maria.
"Siapa itu? Temanmu?" Tanya Maria.
"Benar, dia rekan ku yang akan membantu ku menyelesaikan misi. Aku akan bertemu dengan Nyonya Samanta terlebih dahulu."
John berjalan sebentar lalu mendekati Nyonya Samanta yang sedang fokus meracik bumbu untuk masakannya. John duduk di hadapan Nyonya Samanta dengan diam.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Tuan?"
"Hmm, boleh kah aku memperlihatkan lukisan itu kepada teman ku? Dia sangat ingin melihatnya," kata John.
"Boleh, perlihatkan saja lukisan itu padanya. Tapi sepertinya temanmu menyukai Maria."
"Sepertinya begitu, dari tadi dia terus memperhatikan Maria." John melihat Theo yang diam-diam melirik Maria yang sedang memotong sayuran.
"Cepat lah pergi dan tunjukan lukisan itu, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepada kalian berdua. Mungkin saja itu bisa membantu kalian memecahkan kasus virus ini," ujar Nyonya Samanta.
"Kau mau membantu kami?" Tanya John tak percaya.
"Aku harus membantu kalian, walau keyakinan ku dan dirimu berbeda jauh. Tapi apa salahnya membantu? Cepat lah kau pergi dan dengarkan cerita ku!"
Theo yang melihat John tengah berbicara dengan serius dengan seseorang memutuskan untuk mendekat. Wajah yang familiar di mata Theo.
"Permisi, Nek?" Kata Theo.
Nyonya Samanta menoleh dan tersenyum ke arah Theo. Theo akhirnya ingat, Nyonya Samanta lah yang memberikan buku sejarah usang itu kepadanya.
"Nenek adalah orang yang mendatangi ku dan memberikan buku sejarah usang kepadaku! Tidak salah lagi, senang bertemu denganmu lagi, Nek." Kata Theo lalu menjabat tangan Nyonya Samanta.
"Panggil dia Nyonya Samanta, Theo." perintah John.
"Ohh, maaf Nyonya." Theo menggaruk belakang lehernya sebentar.
"Tidak apa-apa jika kau lebih nyaman memanggilku nenek. Kau bilang ingin melihat sesuatu yang indah 'kan? Pergilah bersama Tuan John dan nikmati lah," kata Nyonya Samanta sambil tersenyum ramah. Sungguh berbeda saat berbincang dengan John. Nyonya Samanta selalu serius dan tak pernah memperlihatkan senyuman ramahnya kepada John.
"Ahh, kalau begitu aku akan memanggilmu Nek Samanta. Perkenalkan namaku Theo. Terimakasih karena sudah memberikan ku buku yang sangat menarik. Aku baru membaca sampai halaman awal saja karena bukunya begitu tebal."
"Sama-sama."
"Baiklah Nyonya, kami akan pergi melihat-lihat sebentar." John dan Theo lalu pergi dari sana dan berjalan menuju pintu dimana lukisan tersebut berada. Pintu yang sangat tinggi dan kokoh serta gambar orang dengan pedang hitam bersimbah darah biru.
"Ini kah yang kau sebut karya seni indah itu, John?" Tanya Theo tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu tersebut.
"Jika ini di laporkan kepada pemerintah, maka ini akan menjadi tujuan wisata paling menarik yang pernah ada! Aku menyukai ini! Boleh kah aku memotretnya?"
"Tidak! Jangan seenaknya! Tetap diam dan lihat lukisannya." Ucap John. Wajah Theo akhirnya menekuk.
"Nyonya Samanta pertama kali menegur ku di sini. Waktu itu aku merasakan sensasi yang aneh, sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Nyonya Samanta bilang jika virus ini adalah virus yang berasal dari dewa. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya."
"Ingin mencoba membuka pintu ini?" Tanya Theo.
"Tidak, aku bilang jangan seenaknya! Kita harus menghormati warga yang ada di sini."
"Hei, jika kau ingin memecahkan suatu masalah kau harus mencari sampai ke akarnya. Aku yakin pasti ada sesuatu di dalam sini. Biar aku saja yang membuka pintunya!"
Theo mendekat ke arah pintu dan meletakan tangannya di gagang pintu. Menarik gagang itu hingga...