Cahaya matahari menembus tirai tenda, membangunkan John yang tertidur lelap. John menyipitkan matanya lalu terkesiap bangun saat menyadari dia tidak sedang berada di dalam tendanya.
"Kenapa ada banyak sekali obat-obat serta buku-buku? Dimana aku?" Tanya John pada dirinya. John meneliti sekitar, hingga matanya menemukan sosok Maria yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Baru lah dia sadar jika terbangun di dalam tenda Maria, istrinya.
John tersenyum melihat Maria yang menawan bahkan saat tidur. Tidak salah lagi, itulah alasan mengapa banyak yang menyukai Maria. John kembali merebahkan dirinya dan menghadap Maria yang tertidur pulas. John mengelus wajah Maria, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik Maria.
"Ngghhh...." Lenguh Maria saat merasa tidurnya diganggu.
"Apa aku menganggu tidur nyenyakmu, hmm?" Tanya John.
"Ahh John..."
Maria mendekat ke arah John dan memeluk tubuh kekar polos John. Menghirup bau wangi alami tubuh suaminya.
"Ayo bangun, ini sudah pagi. Tidak baik jika terlalu lama di tempat tidur," ucap John sembari mengelus rambut halus milik Maria.
"Kau duluan saja, aku masih ingin tidur sebentar." Maria melepaskan pelukannya dari pinggang John. Cepat-cepat John mengeratkan kembali pelukan Maria agar tak lepas darinya.
"Bukankah kau ingin bangun? Bangun lah terlebih dahulu, aku masih ingin tidur," kata Maria dengan suara serak khas bangun tidur.
"Aku akan tidur bersamamu lebih lama lagi." John makin mengeratkan pelukannya.
"Jennifer nanti akan mengomelimu. Cepat lah keluar dulu, nanti ada yang melihatmu disini."
"Memang kenapa jika ada yang melihat ku di tendamu? Aku suamimu."
"Aku tahu, tapi bukankah memalukan jika ada yang melihat kita dengan kondisi seperti ini? Keluar lah dan lakukan tugasmu."
"Bagaimana denganmu?"
"Hari ini aku libur, rencananya aku akan pergi berkeliling Desa Bari sebentar. Profesor Bald yang akan meneliti virusnya untuk saat ini."
"Huh, baiklah kalau begitu aku akan bangun. Lanjutkan tidur cantikmu, Babe." John bangun dari tempat tidur setelah mengecup kening, bibir, serta kedua mata Maria.
Di luar para kadet sudah di sibukkan dengan kegiatan yang selama seminggu ini tertunda. Rencananya, semua kegiatan pembangunan kembali di Desa Bari akan dilakukan oleh kadet saja. Sementara warga masih dipulihkan, para warga sudah dibawa ke kota untuk pengobatan lebih lanjut.
"Selamat pagi Mr. Miller," ucap semua kadet.
"Selamat pagi." John melangkah gagah ke arah tenda tempat dimana ia sering berkumpul bersama Theo, Jennifer, dan Bianca. Tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam tenda yang satu itu. Di dalam sana, Jennifer dan Theo sedang membaca sebuah buku usang. Theo juga terlihat sangat berhati-hati saat membalik halaman buku tersebut.
"Buku apa itu?" Tanya John.
"Ahh, tadi ada orang asing yang memberikannya pada ku. Buku ini menarik berisi sebuah sejarah?" Kata Theo sambil memiringkan kepalanya.
"Apa masih ada warga yang belum pergi ke kota?"
"Entah, buku ini diberikan oleh seorang nenek tua bungkuk dengan jubah hitam serta tongkat sebagai penyangga tubuh. Sekilas nenek itu terlihat sangat menyeramkan mengendap-endap sebelum memanggil ku."
"Nyonya Samanta!" Satu nama yang terlintas di benak John. Siapa lagi jika bukan dia?
*****
Seorang pria berjubah hitam berjalan melewati jalan menuju ke Desa Kali. Sampailah orang itu di atas bukit, berdiri dengan topangan tongkat hitam. Desir angin menyapu jubahnya, memperlihatkan wajahnya yang menyeramkan.
Kulit keriput, bibir hitam, mata besar, hidung mancung. Mata nya menyipit melihat sekitar, lalu ia berjalan ke sebuah gubuk di Desa Kali. Gubuk yang ia masuki konon katanya adalah rumah dukun yang sakti dan suka menyihir orang agar sakit. Di dalam gubuk itu terdapat banyak sekali tumpukan perhiasan emas dan harta benda yang lain.
Pria itu duduk di belakang sebuah bola kristal dengan nyala warna-warni, memutar tangannya dan mengucapkan sebuah mantra yang hanya diketahui olehnya. Tirai terbelah, menampakan seorang pria yang tidak lain adalah Kepala Desa, Desa Kali.
"Selamat datang, Tuan Kali. Duduk lah dan sebutkan keinginanmu," kata dukun itu.
"Aku ingin meminta ramuan ajaib untuk ladang gandum ku, Tuan. Sudah lama ladang gandum ku tidak terurus karena para warga ku sakit dan sedang pergi ke kota."
"Baiklah, tapi sebelum itu apa kau membawa cukup bayaran sebagai ganti ramuan ajaib ku?" Kepala Desa itu mengangguk antusias dan menyerahkan beberapa keping emas asli. Dukun itu selalu meminta imbalan emas setiap kali membantu seseorang.
"Bagus." Dukun itu langsung mencakupkan tangannya, menutup mata rapat-rapat dan berkomat-kamit menyebutkan berbagai mantra sihir.
"Dengan bantuan Dewa Dewi kemakmuran dan kesuburan! Berikan lah hambamu ini sebuah ramuan ajaib untuk kesuburan ladang gandum!" Selesai mengucapkan permohonan, dukun itu memasukan kedua tangannya di sebuah tungku besar. Dari sana lalu keluar semangkuk batu kerikil halus berwarna putih berkilau.
"Terimakasih para Dewa Dewi kemakmuran dan kesuburan. Setelah ini jangan lupa untuk memberikan setengah dari hasil panenmu untuk dipersembahkan kepada para Dewa." Pria itu lalu menyerahkan semangkuk batu kerikil itu kepada Kepala Desa, Desa Kali.
"Terimakasih Tuan, terimakasih Dewa. Setelah ini aku berjanji akan membawakanmu setengah dari hasil panen ladang ku nanti."
"Sebarkan ini di hulu sungai, pastikan airnya mengalir ke bendungan Desa Bari."
"Baik, Tuan."
Kepala Desa Kali akhirnya pergi dari rumah dukun itu. Dengan membawa sebuah cairan, kepala desa Kali pergi ke sungai yang mengalir ke arah bendungan yang ada di Desa Bari. Sesuai perintah dukun tadi, Kepala Desa Kali menyebarkan cairan itu di hulu sungai.
"Aku penasaran, apa isi dari cairan yang dukun itu berikan. Mengapa setiap kali aku meminta ramuan ajaib kepadanya dia selalu menyuruh ku untuk menebar sebuah cairan menuju Desa Bari? Sudah lah, yang penting sekarang aku harus mengurus ladang gandum ku dulu."
Sore harinya, Kepala Desa Kali pergi ke ladang gandum miliknya dan menyebarkan ramuan ajaib. Meninggalkan begitu saja tumbuhan gandum yang sudah mulai melayu karena kurang perawatan. Keesokan harinya, seperti biasa Kepala Desa Kali pergi ke ladangnya untuk melihat perkembangan tanaman-tanamannya. Secara ajaib, tanaman gandum nya tumbuh besar dan sehat.
"Memang mujarab ramuan si dukun. Tidak sia-sia aku mengorbankan setengah kekayaan ku untuknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."
"Wah, aku pikir kau akan panen banyak lagi tahun ini." Kata seorang pria.
"Bari? Tentu saja, tanah di desa ku itu sangat subur." Kepala Desa Kali menjawab dengan arogan. Kepala diangkat tinggi ke atas dengan senyum meremehkan.
"Mengapa kau tidak menanam tumbuhan lain? Seperti jagung, padi atau apapun itu."
"Ini tanah ku! Kau tidak berhak mengatur apa yang aku tanam! Jika tidak ada yang ingin kau sampaikan, sebaiknya kau angkat kaki dari sini!"
"Begini, jika kau berkenan, bisakah kau meminjamkan aku dan warga ku sekarung gandum? Rencananya kami akan membangun ladang kembali namun karena warga ku masih sakit, aku tidak bisa merawat ladang itu."
"Cih, ingat? Setahun yang lalu kalian juga meminjam gandum kepada ku, dan berjanji akan mengembalikannya sesegera mungkin. Kapan kau akan mengembalikan yang dahulu dulu?"
"Kali, kau tahu bagaimana kondisi ku dan desa ku saat ini. Wabah virus tak kunjung berhenti hingga saat ini walau para ilmuwan datang untuk menyembuhkannya. Aku berjanji akan mengembalikan seluruh gandum yang aku pinjam."
"Pergilah dan sebaiknya kau bakar saja desamu. Tak ada gunanya mempertahankan desa yang tidak memiliki penduduk!"
"Mengapa kau berkata demikian? Dulu sebelum kau bisa menjadikan desamu sebagai desa penghasil gandum, aku dan warga ku yang membantumu bukan? Mungkin saja tanpa diriku, desamu juga akan mati seperti desaku." Perkataan Kepala Desa Bari masih terdengar halus dan lembut.
"Itu urusan leluhur kita yang sebelumnya! Jika aku tidak pandai merawat, maka sama saja desa ini tidak akan pernah subur! Berhenti mengoceh dan pergilah!" Kata Kepala Desa Kali dengan arogan.
"Minta saja bantuan kepada para tentara yang turun di desamu itu! Sampai sebegitunya datang jauh-jauh hanya untuk memperbaiki desa sialan!" Kepala Desa Kali berucap dengan sedikit berbisik. Jujur saja dirinya kesal karena kenapa hanya Desa Bari saja yang dibantu oleh tentara.
"Jika kau tidak mau membantu ku, maka baiklah. Aku mengerti dengan derajat dan status ku. Aku hanya kepala desa gagal yang telah menghancurkan desa. Kalau begitu aku pergi dulu."
"Yaya, silahkan saja kau pergi! Memang itu yang aku tunggu-tunggu dari tadi!"
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Kepala Desa Kali, Kepala Desa Bari menguatkan hatinya dan memilih untuk pergi dengan rasa pasrah. Bukan main malunya dirinya saat mengetahui bahwa ladang yang ia rencanakan di porak porandakan oleh babi hutan liar. Bibit tanaman juga dicuri dari rumahnya, dia masih belum bisa mengerti kenapa hal mengerikan terus menerus menimpa desanya.
Kepala Desa Bari memutuskan untuk pergi ke Desa Uma. Berharap di sana dia akan diperlakukan selayaknya manusia biasa.
Sampai lah dia di depan sebuah rumah. Mengetuk pintu rumah itu dengan perasaan risau.
"Ohh, hola Tuan Bari!" Sapa Maria. Ingat Maria? Bukan, bukan Maria istri John tapi Maria yang menyukai John.
"Maria? Mengapa kau masih ada di sini? Apa kau tidak terinveksi?"
"Tidak, aku tidak tahu mengapa. Hanya aku dan Nyonya Samanta yang ada di Desa ini. Ada apa perlu apa hingga kau rela datang jauh-jauh kemari?"
"Apa Nyonya Samanta ada?" Tanya Kepala Desa Bari.
"Owh, tentu. Masuklah dahulu dan duduk di sana. Aku akan memanggil Nyonya Samanta." Maria meninggalkan Kepala Desa Bari dan masuk ke dalam sebuah kamar. Sepertinya itu kamar milik Nyonya Samanta.
"Bari, ada apa kau mencari ku?" Tanya Nyonya Samanta sambil tertatih.
"Begini Nyonya, kedatangan ku kemari untuk meminta bantuanmu. Jika berkenan maukah kau membantu ku?"
"Bantuan seperti apa? Jangan yang berat, aku sudah tua dan mungkin umur ku sudah tidak lama lagi." Nyonya Samanta duduk di kursi kayu favoritnya yang posisinya di depan Kepala Desa Bari.
"Nyonya, hentikan omong kosongmu. Biar aku pijat kakimu." Maria bersimpuh di hadapan Nyonya Samanta dan memijat kakinya.
"Aku hanya ingin meminjam sekarung bibit padi."
"Oh, kalau begitu ambil saja di lumbung padi. Ambil semaumu tapi jangan lupa untuk menyisakan sedikit untuk ku. Kau bisa membawa sayur dan daging juga, Bari."
Sungguh mulia hati Nyonya Samanta.
"Tidak, aku hanya perlu beras. Terimakasih Nyonya Samanta. Aku berjanji akan mengembalikannya sesegera mungkin."
"Bukannya di desamu kedatangan sekelompok tentara? Apa mereka tidak mau membantumu?" Tanya Maria.
"Mereka sangat banyak membantu Desa ku. Tapi, aku hanya tidak enak jika terus membiarkan anak muda itu bekerja dengan makanan seadanya. Pemerintah hanya mengirimkan sedikit pasokan makanan. Maka dari itu aku ingin agar mereka dapat makan enak walau hanya sehari."
"Ahh begitu, aku paham."
"Baiklah kalau begitu aku akan kembali ke Desa ku. Terimakasih karena tidak menolak permintaan ku Nyonya."
"Tunggu Bari..."