webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 历史言情
分數不夠
17 Chs

Bagian 9 | Mencoba [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Disetiap kenangan pasti ada cerita. Dan disetiap cerita pasti ada sesuatu yang melekat. Yang akhirnya membuat cerita itu sulit untuk dilupakan.

Namun beberapa kenangan, ada yang ingin sekali dilupakan tapi sulit untuk dilakukan. Contohnya sebuah kenangan yang cukup menyakitkan. Ingin sekali kita bisa melupakan itu, dan membuka hal yang lebih menyenangkan. Tapi rasanya terkadang hati tak mudah untuk lepas dari kenangan menyakitkan itu. Kalau kata orang, kitanya yang belum 'Ikhlas'. Meski kita berulang kali mengatakan bahwa sudah menerima, tapi nyatanya hati menampik hal itu.

Rasanya seperti berpura pura tersenyum dikeramaian, padahal hati sedang depresi. Berulang kali mencoba untuk menerima, tapi hasilnya selalu gagal. Rasanya melelahkan memang, selalu terlibat pertengkaran dengan hati sendiri.

Yang pada akhirnya kata 'Terpaksa' yang akan berperan dan nantinya akan digantikan oleh 'Terbiasa'. Itulah yang dikatakan orang orang.

Mungkin memang, ikhlas hanya untuk orang orang yang memiliki hati yang 'Istimewa'. Ataukah memang kita yang butuh waktu lebih lama dibanding mereka.

Jika memang iya, artinya hal itu juga berlaku bagi Adhwa. Gadis itu butuh waktu 2 tahun lamanya untuk menerima luka yang telah dia terima. Bahkan mungkin bisa lebih lama dari itu.

Apalagi peristiwa itu sangat berpengaruh dalam hidupnya. Kehilangan sosok yang amat sangat berarti dalam hidup adalah sesuatu yang menyakitkan. Lebih lagi dia juga kehilangan kepercayaan pada seseorang di waktu yang sama. Membuat rasa sakit itu menjadi dua kali lipat.

Namun, semenjak permbicarannya dengan Ambar kemarin, membuatnya seolah tertampar pada kenyataan. Bahwa dia terlalu egois pada diri sendiri dan juga semesta. Dunia tak semenyakitkan itu jika dia mau belajar untuk mengikhlaskan. Walau nyatanya teori lebih mudah dibanding tindakannya.

Dan lagi lagi kata orang orang memang benar. Pada akhirnya 'Terpaksa' yang harus ditempuh yang nantinya akan digantikan oleh 'Terbiasa'. Berat rasanya, tapi mau bagaimana lagi.

"Dek, ngapain disitu?" Tampak seorang wanita memakai khimar tali warna abu abu berdiri di samping pintu. Dia Safiya.

Adhwa tersenyum paksa. "Lagi pengen aja." Ujarnya saat wanita itu menghampiri.

"Ayo masuk. Udah mau maghrib ini." Ajaknya mengulurkan tangan.

Adhwa menyambut uluran itu dan berdiri. Keduanya masuk ke dalam rumah.

"Kamu tuh jangan kebanyakan menyendiri. Diceritain aja. Gunanya mbak buat kamu apa? Kalau kamu suka nyimpen semuanya sendiri." Kata Sayifa saat menggeser pintu hingga menutup.

Adhwa hanya diam dengan tersenyum tipis sebagai jawaban. "Nggak perlu sungkan atau takut. Kamu itu adikku." Ucap Safiya.

"Iya mbak. Adhwa tadi cuma pengen di teras belakang aja." Kilah gadis itu.

"Yaudah kalau gitu."

***

Pukul sudah menunjukkan 19.45. Ambar sudah menyiapkan makan malam. Arya juga sudah pulang kerja. Semua sudah berkumpul di meja makan untuk makan malam.

"Oh ya, anak temennya bunda itu kerja di mana?" Tanya Arya yang mulai melahap makanannya begitupun yang lain.

"Katanya kerja di kantor papanya. Nerusin usaha keluarga gitu." Sahut Adibah.

Arya manggut manggut. "Umurnya berapa?"

"29 tahun."

"Pas tuh, buat Adhwa."

"Apa sih, mas. Nggak usah ketinggian. Ketemu aja baru kemarin. Masa udah mikir sampai situ." Protes Adhwa.

"Nggak pa pa dong. Apa salahnya?" Balas Arya. "Toh dia juga single. Bahkan Tante Arini sendiri yang terang terangan nyuruh anaknya PDKT sama kamu. " Sambungnya.

"Itu kan cuma bercandaan aja. Mas Arya yang terlalu dibawa serius."

"Kamunya aja kali, yang emang nggak mau. Alias Gagal Move On." Kata Arya tepat sasaran. Dan terbukti Adhwa terdiam seketika.

"Eng—gak." Adhwa menampik hal itu meski hatinya mengatakan 'Iya'. "Kan dari awal aku udah bilang, aku cuma mau berdua aja sama bunda." Kilahnya.

"Ya nggak bisa gitu, nduk. Bagaimanapun kehidupan kamu itu harus berjalan. Kamu ndak bisa memutuskan hal seperti itu." Tegur Haidar.

"Yang dikatakan bapak memang benar. Kita semua sudah mengatakan hal yang sama berulang kali. Tapi kan, semua keputusan ada di Adhwa. Biarkan waktu yang menjawab." Imbuh Ambar.

Suasana mendadak hening setelah penuturan Ambar. Namun wanita berkhimar biru muda itu kembali berkata agar suasana kembali semula. "Sudah. Kita makan dulu. Nanti dibahas lagi." Putusnya.

Merekapun makan ditemani suara sendok yang berdentingan. Setelah selesai, Haidar dan Arya serta Safiya duduk di ruang keluarga. Sedangkan Adibah pamit pergi ke kamar untuk beristirahat karena kepalanya mendadak terasa sedikit pusing. Kemudian Adhwa pamit ke ruang santai yang berada di lantai 2. Sedangkan Ambar ikut bergabung dengan suami serta anak dan menantunya.

Semenjak pembicaraan di meja makan, suasana menjadi canggung. Adhwa benar benar merasa terbebani oleh semua itu. Otaknya benar benar buntu. Pikirannya terulang lagi ke pertemuannya dengan pria itu bersama ibunya. Apalagi saat Pakde Haidar, Mas Arya dan juga Mbak Safiya bertemu mereka.

Dengan mudahnya mereka bisa berbaur satu sama lain. Dia benar benar dipaksa untuk berpikir keras. Dari pertemuan yang tak sengaja, semua kebetulan kebetulan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa prioa itu anak dari teman lamanya bunda?

Sepertinya memang Semesta ikut andil dalam hal ini. Dan menurutnya ini bukan hanya kebetulan semata. Apakah lamunannya sore tadi memang harus terjadi? Bisakah dia menerima yang sudah terjadi?

Kepalanya terasa pening dua hari ini. Dan dari kemarin sore dia tidak menghubungi Myra sama sekali. Karena biasanya dia akan curhat pada sahabatnya itu. Dia merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel. Lalu mencari nomor sahabatnya itu. Tak lama kemudian, muncullah Myra yang tengah bersandar di tembok dengan selonjoran di atas tempat tidur.

"Assalamualaikum." Salam Adhwa.

"Waalaikumsalam. Dari mana aja bu. Dari kemarin nggak ada kabar. Mau coba jadi pria pria ghosting?" Todong Myra dengan kesal.

Adhwa terkekeh mendengar ocehan sahabatnya itu. "Maaf Myr, aku lagi nggak enak badan aja." Kilahnya.

"Alah. Alasan. Pasti lagi banyak pikiran kan. Makanya nggak pegang HP." Decak Myra. Sepertinya Myra sudah hafal betul dengan Adhwa.

Lagi lagi Adhwa terkekeh seolah mengiyakan ucapan sahabatnya itu. "Iya deh, iya. Yang tau apapun tentang aku."

"Lagian mikirin apa sih?" Tanya Myra seraya membenarkan rambutnya yang sedikit keluar dari jilbab begonya.

Adhwa nampak diam dan berpikir sejenak. "Kamu masih inget pria yang diceritain bunda waktu itu?"

Myra pun mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Dia, ternyata, anak dari temen lamanya bunda."

"Ha?! Serius?!" Pekik Myra dari seberang sana.

Adhwa menatapnya tajam. "Jangan teriak teriak." Tegurnya.

Spontan Myra menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Ya maap." Ujarnya setelah menurunkan tangannya.

Adhwa memutar bola matanya. "Terus terus?" Cecar Myra.

"Yaah. Aku bingung aja. Kok bisa gitu ya? Terus mamanya terang terangan nyuruh dia PDKT sama aku." Myra membulatkan matanya. "Kan aku jadi gimana gitu. Terus yang lain juga kayak mendukung gitu." Lanjutnya.

"Ya Allah. Beneran?" Tanya Myra masih dengan keterjutannya. Sementara Adhwa mengangguk mengiyakan.

"Ya nggak pa pa sih." Tiba tiba raut wajah Myra berubah santai tak seperti sebelumnya. "Justru itu kesempatan kamu untuk bisa move on dan membuka lembaran baru." Sambungnya dengan antusias.

Kening Adhawa berkerut dan menjadi kesal. "Dih! Apaan sih! Kok kamu jadi kayak mereka?"

Sahabatnya itu menghela nafas panjang. "Wa, dengerin aku ya. Kita emang nggak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta. Tapi kita masih bisa meminta sama Allah untuk melupakan apa yang seharusnya bukan untuk kita. Cinta itu masih bisa hilang jika memang bukan kita pemiliknya. Move on, Wa. Dia udah memilih untuk pergi. Sekarang waktunya untuk kamu melangkah ke depan. Jangan hanya berdiam diri menunggu dia kembali." Jelas Myra panjang lebar.

Lagi lagi dan lagi. Adhwa seolah tertampar berulang kali untuk menyadari kenyataan. Dia diam menyimak penuturan sahabatnya itu.

"Mungkin ini kesempatan kamu membuka pintu untuk orang lain. Dan mungkin juga Semesta udah merancang ini untuk kamu." Sambung Myra.

"Tapi sulit Myr." Keluh Adhwa.

"Memang. Tapi kalau kamu nggak coba? Mau seumur hidup gini?" Cibir Myra. "Mencintai dan membenci dalam waktu yang sama itu melelahkan." Sambungnya dengan tatapan penuh arti.

Hati Adhwa terasa begitu menyesakkan. Seolah membenarkan semua yang dikatakan Myra. Terutama pada kalimat terakhirnya. 'Mencintai dan membenci dalam waktu yang sama'.

Tanpa disadari bulir bening mengalir di ujung matanya. Masih dengan menatap sahabatnya, Adhwa berusaha tersenyum. Meski terlihat jelas itu paksaan.

"Kamu bisa, Wa. 7 tahun memang tidak sebentar. Tapi untuk apa terus diingat jika itu menyakitkan." Kata Myra dengan menyakinkan.

Adhwa hanya mengangguk dengan bulir kedua yang mengalir di ujung matanya. "Peluk online yuk!" Myra menyandarkan ponselnya lalu merentangkan kedua tangannya.

Air mata Adhwa semakin deras kala Myra mengatakan itu. Rasanya dia sangat bersyukur bisa mengenal Myra.

"Oh ya. Kita undang Galih juga yuk. Biar gabung sekalian. Kita VideoCall bertiga." Usul Myra.

Kemudian Adhwa segera menghapus air matanya dan mencari nomor Galih.

"Assalamualaikum!" Salam dari sebrang sana.

"Waalaikumsalam." Jawab Adhwa dan Myra.

"Ada apa nih? Malem malem VideoCall." Tanya laki laki itu sambil mengetik sesuatu di laptopnya.

"Kamu lagi ngapain, Lih?" Tanya Myra saat melihat laki laki itu fokus pada laptop di depannya. Posisinya sekarang, laki laki itu sedang duduk di kursi dengan laptop di hadapannya. Sepertinya ponsel Galih diletakkan di atas meja—depan sisi samping.

"Lagi kerja. Ada problem dikitlah." Jawab Galih tanpa mengalihkan tatapannya. "Tapi itu Adhwa kenapa? Kok kayak habis nangis?"

"Kok kamu tau?" Tanya Myra lagi.

"Ya kelihatan kali, Myr. Orang sesenggukan gitu." Balasnya.

"Nggak pa pa kok. Tadi habis curhat dikit sama Myra." Sahut Adhwa dengan suara seraknya.

"Curhat sama Myra doang nih? Sama aku enggak?" Kata Galih dengan nada yang dibuat buat ketus.

"Cielah, gitu aja pake cemburu bos." Ledek Myra.

Sementara Adhwa terkekeh pelan melihat kedua sahabatnya itu. "Udah. Udah. Aku tadi curhat soal orang."

Kening Galih berkerut. "Maksudnya?" Tatapannya beralih ke gadis itu.

Adhwa mulai menghembuskan nafas pelan. Lalu menceritakan detailnya ke laki laki itu.

"Ooh, gitu. Ya kalau menurut aku sih, nggak masalah. Aku dukung banget malah. Selama itu baik buat kamu, kenapa enggak?" Kata Galih setelah mendengarnya dengan saksama.

Gadis itu menghela nafas berat. "Yaa, aku bakal coba. " Ucapnya dengan tersenyum. Kali ini tidak ada paksaan. "Makasih ya, buat kalian. Makasih selalu ada buat aku." Sambungnya dengan tulus.

Mendadak suasana menjadi haru. Myra sudah berkaca kaca, sedangkan Galih tersenyum hangat.

"Jangan bikin aku mewek dong, Wa. Masa malem malem gini nangis. Besok pagi aku kerja, sembab dong mataku."

Adhwa kembali terkekeh. "Yaudah, udah jam setengah sepuluh juga. Kasihan Galih. Biar dia selesaiin kerjaannya dulu." Putusnya.

"Iya. Aku juga ngantuk." Sahut Myra.

"Baiklah. Selamat beristirahat kawan kawan. Jangan lupa berdoa dulu sebelum tidur." Kata Galih.

"Assalamualaikum." Salam Adhwa.

"Waalaikumsalam." Jawab kedua sahabatnya secara bersamaan. Lalu VideoCall terputus.

Gadis itu mengambalikan ponselnya ke saku. Kemudian beranjak dari sofa berjalan ke kamar. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Arya dan juga Safiya muncul sedang menaiki anak tangga.

"Dek. Maaf ya." Kata Arya saat sudah di hadapan Adhwa.

"Hm." Jawab gadis itu sedikit jutek. Tatapannya jiga ke arah lain.

Melihat itu Arya kembali berkata. "Maaf, dek. Mas kelepasan." Pria itu merasa bersalah karena perkataannya tadi. Dia sadar kalimatnya tadi menyinggung perasaan gadis itu.

"Udah dimaafin." Balas Adhwa dengan nada yang masih ketus.

"Kasihan dek, dia dek." Safiya ikut membujuk. "Lihat tuh, mukanya lecek banget begitu." Kata Safiya sambil menunjuk wajah suaminya.

Adhwa pun menoleh. Menatap pria itu. Mengamati wajah kakak tersayangnya itu. "Adhwa udah maafin. Tapi masih kesel dikit." Ucap gadis itu dengan nada yang sudah lebih tenang.

Arya langsung menarik dua sudut bibirnya. "Yaudah, mau ice cream nggak?"

"Udah malem. Nggak mau ice cream." Sahut Adhwa.

"Lah terus mau minta apa?"

"Adhwa mauuu jajan sepuasnya. Hari minggu depan. Sama Mbak Safiya juga. Harus. Nggak ada penolakan." Pintanya tanpa berpikir lagi.

"Oke. Nggak masalah."

"Yaudah, sekarang tidur. Udah jam segini." Pungkas Safiya.

Tapi sebelum mereka ke kamar masing masing. Safiya mencekal lengan Adhwa saat akan pergi.

"Dek."

"Apa?"

"Kamu habis nangis ya?" Tebak wanita itu sambil mengamati wajah Adhwa.

Gadis itu menyengir. "Iya. Tadi habis VideoCall sama Myra sama Galih."

"Kebiasaan deh. Kalau udah curhat curhatan nangis begitu." Cibir Arya. "Cengengnya dikurang kurangin. Masa ntar kalau nikah, masih cengeng." Sambungnya tanpa dosa. Baru saja berbaikan sudah meledek lagi. Dan tanpa bersalah, dia berlalu begiti saja meninggalkan mereka berdua.

"Apaan sih?! Eh, Mas Arya baru aja minta maaf ya! Sekerang udah ledekin lagi. Awas ntar! Aku bales!" Pekik gadis itu.

Safiya tertawa geli melihat kedua kakak adik itu. "Udah udah. Udah malem, nggak boleh teriak teriak itu." Kata Safiya seraya mengusap pelan lengan Adhwa.

"Nyebelin kan, mbak." Adu Adhwa dengan wajah kesal.

Sontak Safiya tersenyum geli. "Ya kan, mas mu emang gitu." Tangannya beralih ke pipi gadis itu. Mengusapnya lembut. "Udah malem, sayang."

Safiya menyayangi Adhwa. Walaupun mereka tidak terikat darah. Rasanya sudah seperti adik sendiri.

Setelah itu, keduanya masuk ke kamar masing masing. Tak lama, Ambar bersama Haidar naik ke lantai 2 untuk beristirahat. Malampun menemani mereka bersama bulan dan juga bintang. Tak lupa mimpi ikut andil menemani mereka tertidur pulas.

Hari ini cukup melelahkan untuk Adhwa, melelahkan pikiran dan hatinya. Dia berharap esok akan lebih baik dari hari ini. Dan semua yang dia harapkan bisa terwujud. Yaitu, melupakan sesuatu yang tak seharusnya menetap.