webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 历史言情
分數不夠
17 Chs

Bagian 12 | Tak Terduga [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Sehabis isya' semua orang berkumpul di ruang tv. Mereka saling sahut menyahut serta berseda gurau. Saling melempar jawaban atas pernyataan yang terkadang menyebalkan atau justru menghibur. Suasana begitu nyaman, bahkan rasanya enggan untuk mengakhiri. Dan seperti inilah ketika mereka sedang berkumpul.

"Dulu. Waktu kalian masih kecil—" Kata Haidar seraya menatap Adhwa dan Arya bergantian. "Sering banget kejar kejaran. Atau nggak rebutan nastar. Apalagi olok olok an udah kayak hal wajib yang dilakuin. Serasa rumah nih kayak Taman Kanak Kanak." Haidar serius bercerita sesekali terkekeh pelan.

Sementara Arya tertawa renyah beberapa kali ketika ayahnya bercerita. "Terus, kalau yang satu dibeliin ice cream, yang satu iri minta jajan. Ntar kalau udah dibeliin dua duanya, malah dituker." Tambah Ambar.

Arya semakin tergelak mendengar penuturan sang ibu. Tak ketinggalan juga sang istri ikut tertawa mendengarnya begitupun dengan Adibah juga Adhwa.

"Udah kayak kucing sama tikus." Kata Safiya.

"Emang bener." Ambar menimpali.

"Adhwa tikusnya." Tambah Arya membuat Adhwa melotot tajam padanya.

"Tuh, kan. Udah kayak penyihir." Tangan Arya menunjuk ke Adhwa. "Ati ati, tambah tua nanti kalau cepet marah." Ucapnya tanpa ragu sekaligus menambah kemarahan gadis itu.

Adhwa pun langsung melayangkan bantal ke muka Arya. Tapi kali ini tidak sampai mengenainya karena lebih dulu dia tangkap. "Eits. Tidak bisa."

Gadis itu langsung membuang muka dengan wajah jengkelnya. "Awas sampe nyuruh nyuruh lagi. Ogah aku." Omelnya.

"Yah, ngambek. Marah marah mulu' sih. Ntar keriputan loh." Tangan Arya menarik sedikit baju Adhwa.

Kemudian terdengar suara ketukan pintu. "Wah, tamunya udah dateng." Ucap Ambar membuat semua mengerutkan kening. Wanita itu segera beranjak dan pergi untuk membuka pintu dengan diikuti Adibah di belakangnya. Menambah rasa penasaran yang lain.

Arya pun ikut membututi dua wanita itu bersama sang istri. Sementara Haidar tetap tenang sambil menyalakan TV.

Adhwa yang masih kesal jadi penasaran juga. Dia ikut beranjak dan mengikuti dari belakang. Sesaat sudah sampai ruang tamu, terlihat Ambar antusias menyambut tamu.

"Masuk ke dalem aja yuk. Lebih enak ngobrolnya." Ajak Ambar.

Arini hanya tersenyum kikuk. Dia sungkan untuk mengiyakan. Karena memang dia baru sekali ke sini. Sedangkan Adibah tersenyum hangat kepadanya sambil mengangguk.

Lantas Arini melebarkan senyumnya dan mengiyakan ajakan Ambar.

"Eh, kalian di sini toh. Salim dulu sama Tante Arini." Ucap Ambar kepada Arya, Safiya serta Adhwa.

Setelah itu masuklah dua pria dengan membawa sebuah paper bag di salah satunya. Dua pria itu masuk bergantian lalu mencium tangan Ambar dan juga Adibah.

"Ini buat bude sama yang lain." Ucap pria yang memakai kaos cream berlengan panjang serta celana panjang chino berwarna sama. Yang tak lain adalah Ali. Sementara pria satunya yang berhoddie putih adalah Reza. Yang berdiri di sampingnya.

Kedatangan keduanya pun tak luput dari padangan Arya juga Safiya. Apalagi Ambar, wanita itu yang paling semangat menyambutnya. Bahkan tadi siang sudah membuat coocies coklat bersama Adibah.

"Masya Allah, kok repot repot." Ujarnya begitu menerima paper bag itu. Yang isinya beberapa buah saat dilihatnya sebentar.

"Ndak repot mbak. Kebetulan tadi lewat supermarket aja." Sahut Arini.

Sebenarnya dia bingung mau bawa apa. Karena keluarga ini juga sudah sering buat kue, jadi dia beli buah saja.

"Yaudah, yuk masuk. Lebih enak di dalem. Biar bisa lebih santai." Ajak Ambar kepada ketiganya.

"Ibu aja sama Tante Arini sama bunda ke dalem. Biar Ali sama temennya di sini sama Arya. Nanti biar bapak juga ke sini. Di dalem buat para wanita aja." Usul sang anak.

"Iya bu, Biar cowok cowok di sini. Nanti ngobrolnya lebih seru gitu." Timpal Safiya dengan antusias.

"Terus maksud kamu, kita para pria ndak seru gitu?" Tanya Arya yang tersinggung.

"Ndak, apalagi Mas Arya yang tukang usil."

"Ih, gitu sama suami sendiri." Ucapnya tak terima.

Selagi mereka berdebat, Adhwa masih terdiam sedari tadi. Memandang ke pintu dengan tatapan kosong. Jujur saja, dia gelisah dengan kehadiran mereka. Bukan karena tidak suka orangnya, melainkan situasinya. Apalagi tentang bercandaan mereka yang menjodohkan itu.

"Eum, Adhwa ke kamar dulu ya." Katanya kepada mereka.

Dan mereka langsung menoleh. "Kenapa?" Tanya Adibah dengan lembut. "Ada yang sakit?"

"Eng—gak kok bun. A—aku mau telpon dulu." Jawabnya gugup. "HP aku ada di kamar. Jadi mau aku ambil." Lanjutnya berbohong. Dia ke kamar karena ingin menghindar.

"Mau telpon siapa?" Tanya Arya curiga.

"Mau telpon Myra." Jawabnya berusaha tenang.

Arya tidak lagi membalas, dia terdiam sambil memandang Adhwa penuh selidik.

"Biasa aja natapnya!" Sewot Adhwa karena merasa risih dengan tatapan pria itu. Lebih tepatnya takut ketahuan.

"Yaudah. Biarin Adhwa ke kamar." Lerai Ambar.

Gadis itu pun segera pergi dari sana dan berjalan cepat menuju tangga yang berada di sisi kirinya. Kemudian para wanita masuk ke dalam melewati koridor. Sedangkan para pria duduk di sofa.

Setelah 20 menit berlalu, Adibah mengampiri Arya di ruang tamu. Dia bertanya tentang Adhwa, karena gadis itu belum juga muncul.

"Arya." Pria itu menoleh. "Adhwa belum turun?" Tanya Adibah.

"Belum, bun." Jawab Arya.

Adibah pun langsung menyusul putrinya ke kamar. "Mungkin saja Adhwa sedang kesulitan akan sesuatu", pikirnya.

***

Sama seperti kita membaca sebuah novel dan terpaksa harus berhenti karena sesuatu hal. Seperti itulah kisah Adhwa. Masa lalunya terpaksa berhenti karena sesuatu. Yang pada akhirnya, berakhir lebih cepat. Padahal cerita itu belum pernah mencapai akhir. Cerita itu masih ada, bahkan dia sendiri ingin tau akhir dari cerita itu. "Mungkin, jika si peran utama tidak pergi, cerita itu bisa Happy Ending", pikirnya. Tapi nyatanya menggantung sampai sekarang.

"Adhwa, sayang." Pintu kamar terbuka perlahan. Munculah seseorang bergamis hijau tua dengan khimar berwarna senada. Wanita itu berjalan mendekati Adhwa dan duduk di sebelahnya.

Adhwa tersenyum tipis kepada Adibah. Ada rasa bersalah hinggap di hatinya setiap melihat bundanya. Apalagi ketika kesehatan wanita itu menurun. Membuatnya jadi anak yang tak berguna.

"Kenapa?" Tanya Adibah dengan lembut saat melihat raut wajah putrinya yang sendu. Dia juga memberikan usapan sayang di kepala Adhwa.

Gadis itu menggeleng pelan sebagai jawaban tak lupa senyuman yang tetap dia pertahankan meski terkesan dipaksakan.

"Kalau ada apa apa itu cerita sama bunda. Jangan dipendem sendiri." Tangan Adibah turun dan mengenggam tangan putrinya.

Adhwa menunduk lalu memainkan jari Adibah di pangkuannya. "Adhwa.." Ucapnya lirih. "Adhwa mau minta maaf sama bunda."

Adibah terdiam dan menunggu putrinya mengutarakan semua yang dirasakan.

"Adhwa mau minta maaf karena udah membebani bunda. Adhwa udah ngerepotin bunda dalam segala hal. Adhwa minta maaf bun. Adhwa belum jadi anak yang baik buat bunda." Gadis itu mendongak dan menatap sang bunda.

Sedangkan Adibah tersenyum lembut sembari merangkul sang putri. Meletakkan kepala Adhwa pada bahunya. "Adhwa nggak pernah ngerepotin bunda. Apalagi jadi beban buat bunda. Adhwa anak yang baik. Adhwa itu, alasan bunda buat bertahan sampai sekarang. Kamu itu sayangnya bunda. Kamu itu cahayanya bunda." Ujarnya dengan menahan sesak di dadanya. Dia seolah terseret dalam kenangan 2 tahun lalu. Seakan mengerti apa yang di katakan putrinya. Karena yang Adhwa sekarang pasti kejadian 2 tahun lalu yang masih sangat membekas hingga saat ini.

Jangankan Adhwa dirinya sendiri juga terkadang masih teringat akan kejadian itu. Kehilangan sosok pendamping adalah sesuatu yang tak pernah dia kira akan secepat itu terjadi. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah terduga. Kehilangan sosok suami dan harus meneruskan peran seorang ayah. 2 tahun adalah waktu yang tak mudah untuknya. Dan mungkin pikirnya, saat ini waktunya yang tepat untuknya mengambil sebuah keputusan untuk kehidupan selanjutnya untuk Adhwa.

Karena tak ada yang tau umur seseorang. Dia hanya ingin berusaha mempersiapkan beberapa hal. Yang mungkin Sang Pencipta mewujudkannya.

Pelukan itu terlepas setelah beberapa detik mereka terdiam. "Kita ke bawah yuk, yang lain di bawah semua." Ajak Adibah.

Wanita itu sudah beranjak dan akan pergi sembari menggandeng Adhwa. Namun berhenti saat merasakan tak ada pergerakan dari putrinya.

"Kenapa lagi nak?" Tanya Adibah seusai berbalik menghadap Adhwa.

"Adhwa nggak mau bun." Kata Adhwa pelan.

Kening Adibah mengerut. "Adhwa nggak mau ngasih harapan palsu ke bunda." Kata Adhwa lagi.

Adibah di buat tegang ketika mendengarnya. Genggamannya terlepas perlahan. Terdiam sejenak sembari menatap lekat gadis itu.

"Adhwa nggak bisa." Ucap Adhwa seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Kalian seolah mengharapkan hal lebih dari Adhwa. Tapi Adhwa nggak bisa." Gadis itu berusaha keras untuk tetap terlihat tenang membalas tatapan sang bunda.

Adibah masih membisu. Lidahnya terasa kelu untuk membalas perkataan putrinya. "Nak, bunda—"

"Aku cuma mau bunda tau. Kalau hati aku masih tertutup untuk siapapun." Potong Adhwa.

Deg!

Tubuh Adibah mendadak lemas seketika. Kejujuran Adhwa inilah yang selama ini dia takutkan. Jika sudah terucap seperti ini, membuat dia tidak sanggup untuk berbuat apa apa.

"Iya. Bunda ngerti." Balas singkat Adibah seraya tersenyum kecut. "Yaudah, Adhwa istirahat aja. Nanti biar bunda yang bilang ke yang lain, ya." Sambungnya sebelum berbalik dan pergi.

Pikirannya benar benar semrawut. Kepalanya mendadak sakit, dadanya juga terasa sesak. Perasaan bersalahpun langsung menghinggapinya. Memang tak seharusnya dia memaksakan kehendak. Tapi dia takut jika suatu saat tugasnya menjaga Adhwa berhenti, siapa yang akan menjaga putrinya.

Kejadian 2 tahun lalu membuatnya khawatir akan masa depan Adhwa. Apalagi para tetangga yang dulunya mengetahui kejadian itu membuat berita yang tidak benar ditakutkan akan mempengaruhi masa depan putrinya.

"Astaughfirullah al adzim." Seakan tersadar apa yang sudah dia pikirkan. Langkahnya terhenti sambil memejamkan mata. Dia lupa jika semua yang terjadi di dunia atas kehendak Sang Pencipta. Dia lupa jika "Sebaik-baiknya Rencana Kita, Tetap Rencana Allah Sebagai Penentu Terbaik".

"Ya Allah, ampunilah hamba." Gumamnya dalam hati.

Matanya kembali terbuka dan melanjutkan langkah. Namun saat baru selangkah, tubuhnya seakan limbung. Pandangannya pun juga mendadak kabur. Dan hidungnya terasa seperti akan keluar sesuatu.

Kemudian tangannya meraih ganggang pintu tapi tak sampai. Tubuhnya pun terjatuh seiring teriakan Adhwa dari tempat tidur.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Malam juga semakin larut. Suasana juga menjadi sepi. Diruangan ini yang serba biru dan putih, Adhwa duduk terdiam menatap seseorang yang memejamkan mata terbaring lemah di atas brankar. Dengan infus yang terpasang di tangan kirinya.

Sudah setengah jam Adhwa duduk tanpa bersuara dan pergerakan. Tatapannya pun kosong. Dan hanya aliran bulir bening di ujung matanya yang menemani. Serta sesekali kedipan mata yang membuat bulir bening itu keluar.

Dia tidak pernah menyangka hal ini akan terulang kembali setelah 2 tahun lalu. Kejadian yang sama seperti Alm. ayahnya dulu. Masuk ke ruangan ini membuatnya harus melawan diri sendiri. 2 kali orang yang dia cintai terbaring lemah karena kesalahannya.

Membuatnya seperti anak yang tak berguna. "Seharusnya kalimat itu tidak pernah terucap." Kata Adhwa dalam hati.

"Assalamualaikum." Salam seseorang dari belakangnya.

Adhwa masih terdiam seolah tak mendengarnya.

"Adhwa.." Panggil orang itu lirih. Sambil menghampiri Adhwa perlahan.

"Wa.." Tangannya menepuk pelan bahu Adhwa. Gadis itupun tersadar dan mendongak ke kiri. "Myra.." Gumam Adhwa.

Seseorang itu Myra. Dia di beri kabar oleh Safiya pukul 21.00. Dan itu membuatnya terkejut dan langsung menuju rumah sakit.

"Kita berdoa buat bunda. Insya Allah bunda sembuh." Ucapnya menenangkan sambil memeluk erat sahabatnya.

"Kamu ke sini sendiri?" Tanya Adhwa setelah pelukan terlepas.

Myra menggeleng. "Enggak. Sama Galih." Dia menoleh ke arah brankar dengan tatapan sendu.

"Semua ini kesalahanku Myr." Kata Adhwa dengan nada sedikit bergetar. Tatapannya juga ikut mengarah ke brankar.

"Enggak, Wa. Nggak ada yang salah. Jangan nyalahin diri sendiri gitu." Tangan Myra terangkat mengusap lembut bahu Adhwa. Dia juga beralih menatap gadis itu.

"Tapi—" Adhwa membalas tatapan sahabatnya.

"Udah. Ini bukan saatnya membahas itu. Sekarang kita fokus sama kesehatan bunda." Potong Myra dengan pelan sambil merangkul bahu gadis itu.

Sementara di luar ruang IGD, terlihat Arini bersama Safiya sedang duduk bersandar di kursi tunggu. Lalu Ali, Reza, Galih serta Arya tengah berdiri sambil membicarakan sesuatu.

Dan untuk Ambar dan Haidar baru saja pulang, karena malam sudah larut. Jadi Arya meminta keduanya untuk istirahat.

"Jadi tadi kata dokter gimana mas?" Tanya Galih dengan nada sedikit serius.

"Untuk saat ini diagnosisnya belum tau pasti. Karena masih harus dilakukan pemeriksaan lanjut. Tapi alhamdulillah udah ditangani dokter supaya keadaannya stabil. Dan besok pagi baru pemeriksaan lebih detailnya." Jelas Arya dengan tenang.

Galih menghembuskan nafas pelan. "Terus Adhwa gimana?"

"Dia masih kaget sih, tapi Safiya udah nenangin." Jawab Arya dengan menyilangkan tangan di depan dada.

Galih mengangguk paham. "Nggak kebayang paniknya dia." Gumamnya dengan nada khawatir.

"Eum, maaf. Kalau boleh tau. Tante Adibah sebelumnya punya riwayat sakit?" Tanya Reza hati hati.

"Ada, 5 bulan lalu bunda habis dirawat di rumah sakit karena asam lambung. Terus sekarang lagi proses kontrol tiap minggu sebenarnya. Tapi kadang bunda suka nggak mau disuruh kontrol." Jelas Arya.

Bertepatan dengan itu, suara pintu terbuka. Tampak Myra keluar dari ruangan diikuti Adhwa di belakangnya.

Keduanya mendekat. Adhwa mendekati Arini ketika wanita itu beranjak dari kursi dan menghampirinya.

Arini memeluknya sayang tanpa berkata apapun. Dia juga mengusap pelan punggung Adhwa. Ketika pelukan terlepas, kedua tangannya memegang kedua bahu Adhwa. "Jangan tinggalin sholat ya, jangan lupa makan juga. Di jaga kesehatannya. Biar bisa jagain bunda." Pesannya.

Gadis itu mengangguk pelan dengan perasaan haru. Dia bersyukur bundanya memiliki teman sebaik Arini.

Merekapun kembali berpelukan tapi kali ini Adhwa yang lebih dulu memeluk. Sementara Arini membalasnya dengan erat.

"Makasih tante."

"Sama sama, sayang." Jawab Arini.

Pemandangan itu tak luput dari Ali, sang anak. Membuat sudut bibirnya sedikit terangkat. Ada rasa haru dan sedih bercampur di benaknya.

Setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang terkecuali Safiya dan Arya yang memang berjaga bersama Adhwa.

***

"Gue... nggak bisa berkata kata Al." Gumam Reza begitu sudah di perjalanan pulang.

"Apalagi gue." Sahut Ali seraya melirik pada kaca di tengah. Melihat sang mama yang duduk di sofa penumpang dengan memejamkan mata.

"Cerita lo udah kayak di drama beneran."

"Pala gue mendadak puyeng Ree." Keluh sang sahabat. Sambil memegang kepala, sikunya tertumpu pada kaca.

"Gue jadi kepikiran si Adhwa." Reza terdiam sejenak. "Tuh perempuan pas kita dateng kayak menghindar gitu ya?" Tanyanya penasaran seraya menoleh pada Ali. Namun yang dia dapat hanya keterdiaman pria itu.

Merasa diabaikan, Reza kembali menatap ke depan.

"Lo kenal sama Myra?" Tanya Ali tiba tiba. Membuat Reza menoleh seketika. "Kok lo tau?" Beo Reza.

"Kelihatan dari ekspresi lo waktu dia dateng." Jelas Ali tanpa mengalihkan pandangan.

Sementara Reza mendengus kesal. "Dia sekretaris baru gue." Jawabnya dengan malas.

"Terus kenapa lo kayak kesel gitu? Dia kan kayaknya lucu gitu."

"Lucu bagimu." Sungut Reza.

Ali terkekeh melihat pria itu emosi. "Emang kenapa sih?"

"Panjang gue ceritain. Besok besok aja." Jawab Reza seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada serta memejamkan mata lalu menyandarkan kepala.

Sedangkan Ali kembali terkekeh. Dia tidak bertanya lagi. Dan fokus mengemudi dengan tangan kanan menyalakan musik satunya di setir.

Dia antar sengaja dan tidak sengaja menanyakan hal itu pada sahabatnya. Agar pria itu tidak bertanya hal lebih tenatang kejadian tadi. Karena dia saja masih syok. Pikirannya masih campur aduk. Dia butuh ketenangan untuk memulihkannya.

Ali masih belum siap kisah hidupkan seperti drama dalam sebuah film. Lantaran masalah keluarganya saja masih belum berakhir, sekarang ditambah lagi hal seperti ini.

Dalam hati dia berharap semua akan baik baik saja. Dan tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Semoga.