webnovel

Persahabatan Tetua

Satu hari menjelang keberangkatan ke kota, Dayu mengajak Lanai bermain perahu di sungai. Dengan cekatan dua kakak beradik itu naik ke sampan kecil yang bersandar di belakang rumah mereka. Sampan kecil itu hanya muat untuk dua orang. Untuk menjalankannya, mereka harus mendayung. Satu dayung di kiri, sementara yang lainnya di kanan. Gerakan mendayung harus teratur agar perahu bisa berjalan lurus. Untuk membelokan ke kiri atau ke kanan, maka satu dayung yang digunakan. Jika hendak ke kiri, maka dayung di sebelah kanan berhenti mendayung, begitu sebaliknya.

Lanai yang telah hampir tiga tahun tinggal di kota, nampak kaku dengan dayung di tangannya. Butuh waktu beberapa saat baginya menyelaraskan irama kayuhan dayung. Sampan berjalan perlahan tapi pasti, ke tengah sungai menuju Utara desa. Lanai tidak sempat menanyakan tujuan Dayu membawanya. Ia terkesima dengan pemandangan alam di kiri kanan sungai. Perasaan itu tidak dirasakannya sebelumnya. Bahkan ketika sampan sandar di dermaga kecil berbahan kayu seru itu,

Lanai masih tidak faham arah tujuan mereka.

Saat menyusuri jalanan setapak dan melihat rumah kayu hitam nan angker itu, ia tersadar.

"Mbok, ki-ki-kita ke rumah tetua ya?" tanyanya bergetar.

Pertanyaan itu dijawab Dayu dengan senyuman. Ia menganggukan kepala, namun tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang mungil itu. Lanai semakin bingung. Banyak sekali pertanyaan berlalu lalang di kepalanya.

Mereka menaiki tangga kayu yang sama, namun kali ini Lanai menghitung jumlahnya, ada tujuh anak tangga. Jarak setiap anak tangga sekitar setengah meter, berbahan kayu berwarna hitam mengkilap yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Berbeda dengan situasi kemarin, bersama Dayu nampak sekali bahwa kesan angker akan rumah dan penghuninya ini hilang. Dayu tampak sangat kenal sekali dengan rumah itu. Ketika kami masuk dan mengucapkan salam, ia langsung mencium tangan Gede Deron yang sudah menunggu di atas tikar purun di ruang tamu.

"Sehat kau Dayu. Sudah cukup lama juga Gede tidak melihatmu."

"Gede, harusnya aku yang menanyakan kesehatan Gede, jangan dibalik-balik. Ya, semenjak aku sekolah di SMP Simpang Pematang, hanya sebulan sekali aku bisa pulang ke kampung. Jadi, otomatis aku jarang mengunjungi rumah ini, tidak seperti biasanya," jawab Dayu santai.

Terlihat sekali keakraban mereka, seperti kakek dan cucunya saja. Keduanya lalu berbincang-bincang serius, mengenai kedatangan ayah pekan lalu.

"Gede sudah menyampaikan pandangan soal kalian berdua yang harus tinggal di kota. Dasar Dayu ini memang anak nakal, dia paksa kakeknya yang sudah tua ini untuk berbohong." Penjelasan dari Gede Deron itu membuat mata Lanai terbelalak. Dia terkejut dan langsung sadar bahwa apa yang dipetuahkan si tetua kampung ini adalah titipan pesan dari Dayu, kakak perempuannya.

Setelah penjelasan itu, Lanai jadi mahfum hubungan antara Dayu dan si Tetua Kampung. Pertemanan keduanya berawal ketika Dayu yang memiliki sifat kelaki-lakian itu mencari daun purun di sekitar rumah Gede. Waktu itu, Dayu secara tidak sengaja menginjak ulok ayek sebutan masyarakat setempat untuk ular air. Kulitnya berwarna kelabu dan badannya sebesar dua jari orang dewasa, sedangkan lidahnya menjulur-julur keluar.

"Tolong-tolong…..," teriak Dayu panik saat ular itu melilit kakinya. Pada saat itu pula, Gede yang kebetulan tengah mencari ikan di sungai mendengar suaranya. Ditangkapnya kepala ular itu, kemudian badan ular ia putar sehingga lilitannya terlepas. Ular itu kemudian langsung dibuang ke dalam sungai.

Ulo ayek memang bentuknya menakutkan namun ia termasuk golongan homolopsis buccata atau ular yang tidak berbisa. Ia melumpuhkan mangsanya dengan cara melilit. Kendati tidak berbisa, namun lilitan dari ular ini bisa membuat aliran darah manusia terhenti.

Setelah ditolong tetua kampung, Dayu yang supel langsung akrab dengan Gede Deron. Ia bahkan secara diam-diam kerap mengunjungi rumahnya dan membantu Gede Betine di dapur. Dalam bahasa setempat Gede Lanang adalah sebutan untuk kakek dan Gede Betine sebutan untuk nenek. Banyak sekali yang ia pelajari dari sepasang suami istri yang hanya tinggal berdua itu. Mulai dari memasak, membuat obat-obatan dari daun-daun di hutan, hingga belajar mengaji. Lima orang anak mereka telah merantau ke desa lain dan mencari penghidupan di luar kampung. Hanya sebulan sekali mereka bergantian mengunjungi rumah Gede. Persahabatan Dayu dengan mereka tentunya membuat ramai kembali rumah tetua kampung yang sangat disegani masyarakat itu.

Kedatangan Lanai dan nenek ke kampung memang telah diketahui keluarga mereka. Setelah dokter menyatakan Lanai sembuh, nenek sempat menitip pesan kepada kerabat mereka yang kebetulan ke kota untuk disampaikan berita ke kampung. Rencana kedatangan Lanai itu menginspirasi Dayu untuk ikut sekolah di kota. Ia lalu mendatangi Gede Deron dan mengutarakan keinginannya. Dayu tahu persis, ayahnya pasti akan mengunjungi rumah Gede meskipun hanya sekedar untuk meminta saran.

*****