Ini hari pertama Tangguh menjalani hari sebagai murid dukun Parti. Ia tinggal di gua tempat persemayaman dukun itu. Tak seperti gurunya yang tidur di sebuah ruang di dalam gua yang penuh kehangatan, ia justru hanya tidur di atas tanah berbatu dalam gelapnya gua.
Saat sedang tidur, seringkali mukanya dijatuhi bom atom yang sangat bau dari kelelawar yang nangkring terbalik di langit-langit gua. Kadang pula ada binatang kecil yang masuk ke bajunya dan gerayapan di tubuhnya, dari mulai semut, cacing, kelabang, sampai kalajengking yang beracun. Hal itu membuatnya tak bisa tidur walaupun entah berapa domba yang ia hitung dalam benaknya. Padahal ia amat letih setelah sore tadi disuruh gurunya untuk memotong-motong papan hingga ukuran sepanjang lengan dan selebar jengkal.
***
Pagi tiba disertai angin yang berdesir cukup dingin. Tangguh masih terlelap dalam tidur. Namun semprotan air yang menyembur ke wajahnya membangunkannya. Adalah dukun Parti yang menyemburkan air dari mulutnya. Air yang bercampur bau mulut yang tak pernah gosok gigi bertahun–tahun itu membangunkan Tangguh. Padahal Tangguh baru saja tertidur karena semalam tak bisa tidur. Tubuhnya pun masih lemah.
"Banguun. . . . . !!!!" perintah gurunya.
"Tapi aku baru saja tidur," jawab Tangguh.
"Ayo bangun dan cuci muka, kau tidak boleh malas, sekarang kita jalan–jalan ke puncak gunung."
"Jalan-jalan, asikk!!" girang Tangguh bersemangat.
Tangguh bangun dari tidurnya. Ia baru menyadari air yang membasahi wajahnya sangat bau, lantas ia mencuci mukanya dengan air yang menetes dari atas gua. Ia agak heran dengan niat gurunya yang mau mengajaknya jalan–jalan ke puncak gunung, "Dukun itu ngajak jalan–jalan, tapi kok perasaan nggak enak ya," ucapnya dalam hati.
"Hai. . . . Letoyyyyy. . . cepat keluar!!!" teriak dukun Parti yang sudah menunggu di depan mulut gua.
"Namaku Tangguh bukan Letoy, sebentar lagi aku keluar guru, aku bereskan tempat tidurku dulu," tukas Tangguh mencoba mencari alasan.
"Sebelum kau lulus guru akan memanggilmu Letoy, dan untuk apa kamu bereskan tempat tidurmu, tempat tidurmu kan di atas tanah," ucap si dukun.
"Oh. . iya. . .ya lupa," ucap Tangguh pada dirinya.
Tangguh keluar dari gua dengan riang gembira walaupun matanya masih sayu.
"Ayo berangkaaaaat, kalo naek gunung aja sih bukan masalah," girang Tangguh dengan semangat.
"Hei, mau ke mana kau Letoy?" tanya sang guru.
"Kata guru, kita akan ke puncak gunung?"
"Iya,. . . tapi untuk melatih kekuatan otot–ototmu kau harus membawa potongan papan-papan itu sampai puncak gunung sana!!"
Dengan terpaksa, Tangguh memanggul papan-papan yang telah ia potong kemarin, "Huh. . . sial sekali, jalan-jalan ini begitu menyiksa harus manggul kayu sebegini berat," keluh Tangguh sembari berjalan memikul beban.
"Apa kau bilang Letoy.???"
"Ehh, tidak guru, aku siap lanjutkan perjalanan ini."
Sambil menggerutu dalam hatinya, ia terus berjalan sambil memikul potongan papan yang telah diikat. Setelah mulai mendaki cukup tinggi langkahnya agak tertatih. Tangguh yang masih merasa lemas karena belum sarapan ditambah lagi masih merasa ngantuk akibat tidur semalam kurang nyenyak harus bertahan sekuat tenaga untuk mencapai puncak gunung.
Namun ketika di tengah perjalanan, konsentrasinya benar–benar sudah terkuras, kakinya pun semakin tak kuasa menahan beban yang ia pikul, sehingga kakinya tersandung batu. Tangguh tersungkur dan dengkul kakinya sedikit luka. Tapi itu bukan masalah, namun yang menjadi masalah adalah potongan-potongan papan yang ia bawa terlempar ke depan dan mengenai kepala gurunya. Hal itu membuat si dukun terjatuh dan kepalanya benjol. Peristiwa itu mengingatkannya saat membantu proses kelahiran Tangguh beberapa tahun silam. Nampaknya dukun itu selalu sial saat bertemu anak itu.
"Letooooyyyyyy. . . . . . . !!!!!" teriak gurunya kesal.
Dendam lama dukun itu kepada Tangguh semakin besar setelah kejadian itu. Ia merasa harga dirinya sebagai dukun sakti lulusan fakultas kedukunan Universitas Dukun Indonesia dilecehkan oleh anak muda yang masih ingusan.
Kemudian si dukun itu sengaja memutar–mutar arah perjalanannya menuju puncak gunung agar Tangguh merasa semakin letih. Ia sengaja memilih jalan yang sulit, mulai dari batu–batu yang terjal sampai rawa–rawa yang berat untuk dilewati. Dengan sekuat tenaga Tangguh melalui berbagai rintangan sambil memikul potongan-potongan papan yang cukup berat. Baterai yang membuatnya berusaha keras adalah karena suatu saat ia ingin membuktikan pada ibunya kalau ia memang benar–benar anak yang Tangguh, tak peduli seberapa berat tantangannya.
***
Setelah berjuang cukup keras, akhirnya ia dan gurunya berhasil mencapai puncak gunung. Ia langsung terduduk lelah, nafasnya terengah–engah, keringat bercucuran dari keningnya, kakinya sudah tak kuat lagi bahkan untuk menahan beban tubuhnya sendiri.
"Guru, untuk apa kita kemari?" tanya Tangguh dengan nada letih sambil duduk meluruskan kaki.
"Ehmm," gurunya berpikir sejenak, lalu ia berkata, "Sepertinya kita salah, seharusnya kita ke gunung yang ada di sana," ucap dukun itu menunjuk ke gunung yang berada jauh di depan sana.
"Haahhhh. . . . . .!!!!" Tangguh yang telah begitu letih, kaget setengah mati, ia tersungkur merebahkan tubuhnya yang sedang duduk ke tanah.
"Hehehehe. . . . .tidak, guru cuma bercanda. Guru ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Apa guru?" tanya Tangguh kembali terbangun.
"Lihatlah ke sana!" Dukun Parti menunjuk beberapa gundukan tanah yang berderet.
"I. . .itu kan gundukan tanah."
"Coba kau tancapkan potongan-potongan papan yang kau bawa di gundukan-gundukan tanah itu. Masing-masing dua papan di setiap ujungnya."
"Baik guru,"
"Kamu tau Letoy, apa gundukan tanah itu?"
"Hmmm, setelah ditancapkan papan jadi nampak sepeti pekuburan."
"Ya, kau mau tau Letoy, kuburan siapa sajakah itu?"
"Ehmmm. . memangnya itu kuburan siapa?"
"Itu adalah kuburan mantan murid–muridku, mereka tidak lulus. Di antara mereka ada yang bunuh diri, ada yang celaka, sisanya aku bunuh karena berusaha kabur dan ada pula yang tak lulus menjalani ujian terakhir."
Mendengar perkataan gurunya, Tangguh kaget setengah mati, tubuhnya bergetar merinding, matanya melotot seolah mau melompat dari tempatnya, dan mulutnya menganga sebesar lubang golf kemudian menutup dan giginya saling beradu dan bergetar. Ia sempat berpikir untuk lari dari tempat itu, tapi kata dukun itu ada beberapa di antara yang tewas mencoba untuk lari. Ia hanya pasrah dengan semua ini dan berharap suatu saat bakal ada jalan pulang.
(Sssst. . .sebenarnya si dukun tak pernah mempunyai murid sebelumnya. Gundukan tanah itu ia buat dan ia mengarang cerita untuk menakut–nakuti Tangguh,)
***
Like it ? Add to library!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!