webnovel

Tales of Gods : Gods of Dunya

Fantasy
Ongoing · 11.7K Views
  • 10 Chs
    Content
  • ratings
  • N/A
    SUPPORT
Synopsis

Kalian pernah berpikir kehidupan di luar sana selain di bumi? Bagian semesta yang tersembunyi, terdapat banyak tempat yang ditinggali ada ras terkuat disebut "Dewa." Mereka bertugas mengatur dunia dan alam setelahnya. Namun, sebagian dewa juga masih ingin merasakan kehidupan di dunia sana. Sebagian dewa pun sepakat mengunjungi satu tempat di tata surya dan namanya adalah "bumi." *** "Di bumi ada banyak keajaiban yang disiapkan untuk kita jelajahi." Cover by hm_design12

Chapter 1Maiden of Moon

Tales of Gods

| Maiden of Moon |

***

Aku tatap bintang yang senantiasa menemani. Benda yang aku miliki sejak masih bayi hingga saat ini. Bentuknya segi lima dengan warna kekuningan, sementara ukurannya sedang hingga bisa dipeluk di dada. Ketika dipegang, terasa hangat.

Aku peluk bintangku dengan erat dan penuh kasih. Bintang itu bersinar ketika dipeluk, cahayanya semakin terang jika aku tengah merasakan kebahagiaan. Terlebih ketika bersama dengan mainan kesayanganku.

Aku tumbuh besar bersama Bintang. Sejak bayi dia menjadi penjagaku di kala malam mencekam, kemudian siang menjadi sahabat terbaik. Ketika rumah begitu sunyi tanpa ada yang menemani, hanya dia yang ada untukku.

Aku lahir dan dibesarkan di tempat yang luas tapi begitu sunyi. Hanya terdapat hamparan dataran putih tanpa hiasan melainkan warna itu saja. Bisa dibilang, aku satu-satunya makhkuk di sini bersama bersama bintang yang tidak pernah terlepaskan. Ketika dilahirkan, seakan sudah menjadi takdir kalau aku akan selalu ditemani oleh bintang ini. Hingga saat ini, masih menyayangi teman kecilku.

Aku kemudian berbisik pada Bintang. "Bintang, apa yang akan kita lakukan hari ini?"

Biasanya, aku akan bermain hanya bersama dia. Tapi, tidak banyak permainan yang aku tahu selain melempar bintang kemudian menangkapnya. Atau berlari ke sana ke mari sambil memeluknya. Karena hanya itu yang kutahu.

"Siap?" Aku tatap Bintang sambil mempersiapkan diri.

Aku pun melempar Bintang dengan pelan, dia mengambang di udara yang gelap kemudian jatuh perlahan, sambil menunggunya jatuh aku akan membuka tangan menyambutnya.

Semakin turun, Bintang akhirnya jatuh ke tanganku. Aku meraihnya sambil tertawa girang, kemudian mengulangi kegiatan tadi dengan gembira.

Hari-hari biasa, akan diakhiri dengan biasa pula. Di tempat aku berada saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan. Hanya berupa hamparan tanah putih yang luas, begitu hening hingga tidak dapat dipastikan apakah ada makhluk lain di sana selain aku maupun Bintang.

Aku tidak tahu persis nama tempat ini, tapi yang aku tahu, bentuknya bulat dan besar hingga dapat menampung banyak sekalk makhluk. Meski begitu sunyi. Sayangnya sejauh ini aku hanya bisa melihat diri sendiri dan Bintang. Yang aku tahu, nama rumahku ini disebut "Bulan" oleh Mentari.

Mentari adalah temanku selain Bintang, tapi dia jarang mampir ke sini. Yang kutahu, dia sering bertualang entah ke mana. Datang-datang hanya untuk memberi kabar tentang tempat yang dia kunjungi.

Mentari bukannya menelantarkan, dia hanya sangat sibuk. Begitulah yang kutahu. Memang sedari kecil aku tumbuh bersamanya seorang. Dia memang ramah, namun tidak terlalu sering mampir dan menjengukku. Entah apa yang dia lakukan selain bertualang. Meski demikian, aku tidak keberatan.

Aku ingat waktu dilahirkan, hanya semburat cahaya menghias pandangan. Begitu meredup, hanya ada diriku yang sedang memeluk bintang kesayangan di pangkuan Mentari. Dia menyambutku, tapi tidak berkata-kata melainkan dengan senyuman.

Hari demi hari berlalu tanpa tangisan maupun tawa. Hanya lelap menyertai. Itu pun sesekali bangun kemudian tidur lagi di pangkuannya. Begitu saja terus hingga mencapai tahun kesepuluh.

Aku tidak butuh makan maupun minum. Tapi, aku kadang merasa lelah akibat bermain terlalu lama. Aku akan beristirahat baru kemudian pulih dan kembali bermain seperti sedia kala.

Bosan, aku pun kembali melempar Bintang. Dipenuhi tenaga hingga tanpa disadari membuatnya melambung terlalu tinggi.

"Bintang!"

Aku panik. Aku tidak bisa kehilangan bintangku!

Tanpa berpikir lagi, aku memasang kuda-kuda lalu melompat tinggi meraihnya.

"Bintang!" seruku sambil berusaha meraihnya yang berada jauh di depan. Dan ...

Hap! Aku berhasil memeluknya.

Jantungku yang berdebar kencang kini memelan. Setidaknya Bintng kembali di sisiku.

Sayangnya, dari situlah aku menyadari kesalahan. Bintang yang aku peluk seketika terasa begitu berat hingga berkali-kali lipat melebihi apa yang bisa aku kuasai.

Ada apa ini?

Aku mendekap erat Bintang. Ketika aku semakin menjauh dari rumah yang kini tampak bagai bola putih di tengah langit, saat itu juga aku teringat bahwa ada tempat lain selain rumahku. Dan aku semakin dekat ke sana.

Bintang berubah wujud. Warnanya yang kuning perlahan menjelma menjadi sebuah benda bulat dengan ekor. Melesat melintasi langit, mengarah langsung ke bawah. Sebuah hamparan tanah luas yang hijau.

Aku menjerit sambil setia memeluk Bintang.

Wuuussshhh ...

Elusan angin semakin menajam hingga terasa menusuk dalam diri. Begitu dingin hingga aku tidak mampu bergerak. Semakin dekat ke tempat itu, aku menutup mata saking tidak sanggup menahan terpaan angin di mata.

Namun, semua kengerian itu berakhir. Setiap embusan angin yang mengganggu, kini semakin tenang hingga membuat aku mulai berani membuka mata.

Di mana ini?

Sepanjang penglihatan hanya ada hamparan garis-garis hijau nan luas. Aku belum pernah melihat apalagi merasakan ini di kedua kaki. Entah karena apa, keadaan tanah menjadi sedikit basah membuat kaki terasa tidak nyaman karena terlalu dingin.

Aku langsung berdiri dan menggenggam Bintang. Ketika mendekapnya, aku merasa lebih aman karena ada teman menemani.

Di mana ini? Kira-kira dunia mana yang aku pijak saat ini? Tetapi, tidak ada dari diriku yang bisa menjawab.

Aku kembali mengamati diriku. Tangan dan kaki masih utuh, kulit masih mulus meski sedikit kotor di bagian kaki, rambut pirangku sedikit acak-acakan, maka aku langsung merapikan. Setelah semua dirasa aman, aku meneruskan langkah sambil mendekap Bintang. Tidak lupa mengamati tempat ini.

Bintang masih setia di sisiku. Masih memancarkan sinar lembut yang sama. Untung tidak ada lecet.

"Bintang, di mana kita?" bisikku.

Tentu dia tidak menjawab. Namun, karena itu juga aku merasa lega setidaknya ada yang "mendengar" isi hatiku.

Kembali meneruskan langkah, aku mencoba mengamati tempat baru ini. Sungguh aneh, sangat banyak warna hijau tua di bawah sinar bulan. Sementara dahulu yang kupihak hanya warna putih dengan permukaan kasar. Kini, hanya kuinjak terasa geli lagi basah. Apa yang baru saja terjadi?

"Bintang, kenapa tanahnya begitu aneh?" Aku bertanya lagi.

Seperti biasa, tidak ada balasan. Tapi, aku berpikir bisa jadi dunia yang kupijak ini memang diciptakan berbeda.

Teringat dengan bulan, aku langsung menengadah dan menatap rumahku. Ternyata tampak begitu kecil meski selama ini terasa sangat luas, aku bahkan tidak merasa sampai menjelajah seperempat dari rumah sendiri.

Satu-satunya yang kutahu soal bulan adalah Bintang. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Barangkali mereka lebih jarang muncul dan pergi setelah aku mulai lihai berjalan juga bermain sendiri. Tidak tahu cara memanggil mereka, aku hanya duduk diam dan berusaha mencerna apa gerangan yang terjadi waktu itu. Mentari tidak pernah menunjukkan bahwa dia menciptakanku, sehingga tidak terhitung.

Lantas, bagaimana caraku kembali? Apakah aku akan terjebak di sini selamanya?

Aku tidak bisa menyerah. Bagaimanapun aku akan kembali ke bulan!

"Bintang, pandu aku kembali ke bulan!" titahku.

Meski tidak ada balasan, aku dapat merasakan pancaran hangat dari Bintang seakan dia turut merasakan kobaran semangatku.

"Tapi, bagaimana?" bisikku ragu. "Bagaimana caraku pulang nanti? Apa aku akan baik-baik saja?"

Saat itu juga, mataku tertuju pada sosok yang melayang ke atas bulan. Tidak jelas wujudnya melainkan bayangan hitam menyelubungi.

Aku berlari mengerjarnya. Bisa jadi dia akan membantu. "Tunggu! Tunggu!"

Namun, jeritanku terasa sia-sia melihatnya semakin jauh bahkan tidak menoleh. Apa suaraku terlalu kecil?

Aku mendekap erat Bintang. Jantung berdegup kencang. Diri ini terguncang karena merasa akan hidup selamanya di tempat aneh ini. Bagaimana nasib bulan tanpaku? Lantas, bagaimana dengan rumahku nanti? Apa aku akan bertahan di tempat asing ini?

Bintang berpendar kembali. Muncul cahaya kuning menyilaukan mata. Aku perlahan menurunkannya dan membiarkan Bintang melakukan apa yang dia inginkan.

Saat itu juga, cahaya tadi meredup. Wujud Bintang berubah menjadi makhluk berwajah panjang, berkaki empat, dengan bulu putih, serta sepasang sayap. Bintang kini mengeluarkan suara aneh menyerupai "kikikik" layaknya bunyi gesekan. Sungguh aneh.

Aku terpana menyaksikan keajaiban ini. Menyadari bahwa Bintang ternyata bisa berubah wujud setelah sekian lama bersama. Aku dekati jelmaan Bintang lalu naik ke makhluk itu. Mengelus bulu putihnya kemudian berbisik.

"Antar aku kembali ke bulan," bisikku.

Saat itu juga, aku melayang kembali ke atas. Berpegangan erat dengan surai putih, melaju menuju bulan yang tadinya berbentuk bulat kecil kini semakin besar hingga aku kembali tampak bagai butiran debu.

Bintang dalam jelmaannya pun masih tidak bicara. Setelah kembali mendarat di bulan, aku lalu turun. Keadaan bulan sama seperti sedia kala. Syukurlah bisa kembali.

Ah, aku harus mengucapkan terima kasih ada Bintang.

Belum sempat memuji bahkan mengucapkan terima kasih, Bintang kembali ke wujud awalnya. Aku dekati kemudian mendekapnya erat sebagai tanda terima kasih.

"Terima kasih sudah mengantarku kembali," ucapku tulus.

"Raana."

Suara yang tidak asing.

Bayangan tinggi menjulang di belakang. Meski tahu itu siapa, aku tetap terkejut dan takut untuk menoleh untuk beberapa saat.

Mata cokelatku tertuju pada sosok yang masih tidak berkutik, seakan menunggu respons dariku.

Mentari.

Rambut pirang dengan sedikit garis biru, berkulit putih, serta mata kuning pucat namun tidak memiliki titik hitam di bagian tengah. Ia sangat tinggi, bahkan aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya sampai pahanya.

"Raana ke mana saja?" tanyanya. Suaranya lebih terdengar penasaran alih-alih cemas. Sepertinya dia mencariku saat terdampar di tempat aneh tadi.

Bintang memancarkan cahaya lagi, kali ini menyalurkan kehangatan dalam dada, membuatku sedikit tenang. Bukannya kenapa, tapi pengalaman jatuh ke tempat asing sudah cukup membuatku takut.

Aku memeluk erat Bintang. "Raana bermain dengan Bintang. Tapi, malah terlempar terlalu tinggi hingga jatuh ke bawah sana. Kami berhasil pulang berkat Bintang yang menjelma jadi makhluk berkaki empat dan bersayap!"

"Maksudmu unicorn?" tanyanya seakan menebak.

"Apa pun itu," balasku. Aku bahkan tidak tahu apa itu, yang penting terasa menyambung dengan obrolan.

Mentari mengamati Bintang. Dia mengulurkan tangan tanda ingin aku menyerahkan temanku. Bintang pun beralih ke tangannya.

Diam saja, itu yang dia lakukan. Aku yang penasaran hanya berlutut dan mengamati.

"Bintang memang istimewa," ujarnya. "Sudah ada waktu kamu masih kecil, diciptakan untuk mendampingimu."

Aku mengiakan. "Bukannya aku tercipta bersamanya?"

"Tentu, kamu Putri Bintang." Mentari tersenyum. Dia kembali menyerahkan temanku. "Sekarang, Raana harus siap berkeliling semesta layaknya bintang."

"Maksudmu?" Aku tentu bingung.

"Berkeliling semesta, bukankah itu menyenangkan?" Mentari kembali tersenyum, dia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Ayo!"

Masih mengenggam erat Bintang, aku tetap saja ragu. Meski aku dan Mentari cukup sering berjumpa, bukan berarti aku sepenuhnya tahu niat dia, bukan?

"Aku tidak mau kembali ke bawah sana!" tegasku sambil menunjuk bola raksasa warna hijau dan biru di bawah sana.

Mentari mengamati benda itu, dia tertawa kecil. "Itu bumi namanya."

"Bumi?" beoku. "Aneh juga namanya."

"Itu tempat tinggal makhluk-makhluk kecil, yah, meski ada beberapa yang lebih besar," jelas Mentari. "Sudah lama tidak berkunjung di sana. Sangat seru!"

"Seru?" beoku, tidak terima dengan komentar tadi. "Raana ketakutan!"

Mentari malah tertawa. "Raana, Raana, kalau hanya sekilas, tidak bisa dinilai langsung."

Aku tidak menyahut.

Mentari berlutut hingga aku dapat melihat wajahnya tanpa mendongak terlalu tinggi. Dia menatapku dengan senyuman ramah, atau justru terlihat seperti anak kecil yang berusaha membujuk temannya agar ingin bermain.

"Di bumi ada banyak keajaiban yang disiapkan untuk kita jelajahi." Mentari melanjutkan. "Raana yakin tidak mau ikut?"

Aku memeluk lutut, mendengar ucapaan Mentari membuatku kian ragu. Bahkan sampai meremas terusan jingga yang kukenakan. "Raana tidak yakin. Bumi tampak menakutkan."

Mentari menatap ke bumi. "Tidak selamanya yang terlihat menakutkan itu benar-benar buruk."

Aku tidak mengerti maksudnya. Yah, mungkin karena perbandingkan usia yang terlampau jauh. Mentari bisa dibilang sangat tua dan jelas sudah menjelajahi tempat-tempat di alam semesta itu. Tapi, apa benar yang dia ucapkan itu?

Aku menatap Mentari, masih diam sambil memandangi bumi. Dari sorot mata tanpa pupil itu, dia seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Sepertinya dia bahkan tidak menyadari tatapanku.

Diam saja menjadi pilihan utama. Belum sempat berpikir lebih lama, muncul sepercik ide. Ah, apakah ini keputusan yang bagus?

Menarik napas, aku menatap Mentari dan memantapkan hati. "Baik, aku ikut."

Balasannya hanya berupa senyuman. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan.

Aku pegang tangannya.

"Eits." Dia mengangkat tangan seolah menolak uluranku, seakan juga teringat sesuatu. "Tunggu dulu."

Saat itu juga, semburat cahaya menyilaukan menguasai pandangan. Yang kutahu, dia dapat mengendalikan cahaya yang muncul dari dalam dirinya. Sepertinya dia kembali bersinar meski risikonya bisa menyebabkan kebutaan bagi sekitar. Aku tidak tahu apa niatnya kali ini.

Menutup mata, aku biarkan dia bersinar lagi. Meski begitu, sinarnya bahkan masih bisa terlihat meski seberkas. Tanda betapa kuatnya cahaya ini.

"Raana."

Panggilannya membuatku perlahan mengerjapkan mata.

Mentari telah berubah.

Tingginya kini hampir menyamaiku, mungkin sedikit lebih tinggi. Rambutnya kini panjang nyaris sepinggang. Meski tatapannya tetap sama, penuh keceriaan serta semangat membara.

"Nah, kalau begini lebih baik," ujar Mentari. "Yuk, Raana!"

Aku kembali memegang tangannya.

Mentari melompat. Aku pegang tangannya dengan erat bersama Bintang di sebelah tanganku. Melewati batas yang biasa kulihat, semakin dekat menuju tempat yang disebut bumi.

Tamat

You May Also Like

Difraksi Fragmen

Edwin Albern, bocah berusia tujuh tahun dipaksa oleh keluarganya berkeliling dunia hanya untuk melihat sisi gelap dari kehidupan manusia. Dunia yang dia tinggali ternyata lebih busuk dari pada yang dia kira, tempat di mana martabat manusia dan nilai kehidupan tidak dapat ditentukan. Kebahagiaan yang dia lihat selama ini seolah-olah hanya kebohongan yang dipamerkan. Pembunuhan, pembantaian, perbudakan dan kekejaman lainnya telah bocah itu saksikan dengan kedua matanya sendiri. Tidak ada tempat aman! Hak asasi manusia tidak lebih dari catatan yang kapan saja bisa diabaikan. Setiap kota yang dia kunjungi selalu ada manusia yang melakukan kejahatan semudah bernapas. Sejak berusia lima tahun dia sudah mengetahui bahwa keluarganya adalah mafia, mereka tidak lebih dari sekelompok penjahat. Karena Edwin yang kecil dan polos dipenuhi idealisme keadilan membuatnya menjaga jarak dengan keluarganya. Bahkan kematian orang tuanya beberapa bulan setelah dia mengetahui pekerjaan mereka tidak sedikit pun menyentuh hatinya. Tapi pandangan hidupnya berubah setelah upacara pemakaman. Kakaknya, anggota keluarganya yang tersisa menceritakan segala hal tentang keluarganya. Mereka mungkin dikenal sebagai mafia, tapi kenyataannya yang mereka lakukan adalah berbeda. Mereka melakukan pekerjaan demi melindungi tempat mereka. Sepotong kebohongan terungkap, tentang dua orang yang bermain peran bahkan rela menipu putranya sendiri. Setelah perjalanannya selesai, bocah kecil itu membuat keputusan, bahwa sekarang adalah gilirannya bermain peran.

MattLain · Fantasy
5.0
276 Chs

ATMA-TRUTH OF SOUL

Sebuah retakan misterius muncul dan mengubah seluruh sistem tatanan dunia. Para peneliti mencoba memastikan tentang sesuatu yang mereka sebut retakan dimensi. sebab retakan misterius yang disebut retakan dimensi mengeluarkan energi aneh. Sebuah energi yang tidak diketahui oleh para peneliti manusia di bumi karena baru pertama kali melihatnya. "Monster Dimensi" Itulah teriakan yang sering terdengar ketika manusia melihat monster keluar dari retakan dimensi. Fenomena kemunculan monster dimensi masih menjadi perdebatan para peneliti. Namun fenomena itu tidak hanya membuat kekacauan, tapi juga memakan banyak korban. Sampai akhirnya sosok manusia yang disebut etranger muncul dan membunuh monster dimensi. "Etranger yang bisa mengalahkan monster dimensi adalah kunci utama untuk keselamatan umat manusia." Begitulah argumen Presiden Amerika ketika melakukan pertemuan darurat tentang kemunculan monster dimensi. Dunia telah menganggap keberadaan etranger merupakan kondisi istimewa yang menguntungkan manusia. Namun tidak semua kekuatan mendatangkan kebaikan, sebab tidak semua orang bisa menjadi etranger. "Kami kaum elit yang telah berkuasa jauh lebih pantas mendapatkan kekuatan itu dari pada rakyat jelata...!" Rasa iri terus menghiasi orang-orang yang tidak mendapat kekuatan untuk menjadi seorang etranger. Tingkat kejahatan di sebuah negara yang tidak bisa mengatur etranger pun meningkat dengan pesat. Indonesia juga termasuk negara yang pernah mengalami krisis akibat ulah para etranger. Pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan banyak kejahatan lainnya yang melibatkan para etranger. Rigma Sanja Dawala, anak dari seorang peneliti dan Jenderal Besar Militer Indonesia yang tidak menyukai etranger. Di tengah kekacauan dunia, rigma lebih memilih menjadi seorang peneliti. Rigma mencoba mencari pengetahuan tentang sumber kekuatan etranger. Segala macam jenis pengetahuan tentang etranger terus dipelajari olehnya. Semua itu dilakukan karena sosok terpenting baginya terkena penyakit kontaminasi jiwa akibat serangan monster dimensi. Sampai akhirnya muncul kondisi dimana rigma hampir mati karena serangan monster dimensi peringkat SS+. Di saat kritis rigma masih memikirkan keselamatan temannya, hingga sebuah suara terdengar. "Terimalah kontrak ini untuk membuat kami bertiga menjadi milikmu." Tiga jiwa pengelana menawarkan kontrak saat rigma hampir mati untuk membuatnya menjadi etranger. Rigma pun terpaksa menjadi etranger untuk menolong teman sekelasnya di universitas. "Kami, sosok yang sering disebut Raja terkuat akan membantumu menemukan jawabannya."

KannaSayu · Fantasy
Not enough ratings
490 Chs

CEO Jutek Dan Perisainya

Khafi Arjuna Naufal dan Zahira Zakiyah Nadira adalah individu yang terpisah, tetapi kehidupan keduanya terhubung kembali dengan cara luar biasa, yaitu takdir. Khafi adalah seorang CEO dengan lima saudara, dia anak ketiga, kepribadian yang jutek membuat banyak orang tidak suka dengannya, Khafi juga memiliki Jin dengan menjelma sebagai merpati, Jin itu memiliki kekuatan sihir yang hebat. Hingga membuat Khafi mengetahui segala masa lalunya yang belum tuntas dan menyakitkan. Rasa bersalah dari masalalunya membuat dia sangat ingin menuntaskan masalahnya di dunia masadepan. Dahulunya dia adalah seorang kesatria. Sementara di masa depan dia CEO ternama. Kekayaan yang dimilikinya membuat dia diincar oleh beberapa musuh dari masalalunya juga, dari seorang wanita yang menginginkannya, sampai dari CEO lain yang sering diacuhkan Khafi, mereka yang tidak terima mengirimi mantra sihir jahat kepada Khafi. Hingga keadaan yang tidak memungkinkan, seorang Alim meminta keluarganya mencarikan gadis yang berhati baik dan tulus serta penglihatan batin yang terbuka, yang akan menjadi perisai untuk Khafi. Keluarga Khafi hendak menikahkannya dengan Tiana, gadis yang disarankan seorang Alim. Namun, Tiana pura-pura sakit parah, dan meminta Zahira yang adik tirinya, untuk menggantikannya, agar keluarga Khafi memberi uang untuk pengobatan, nyatanya uang itu untuk kesenangan Tiana sendiri. Keluarga Khafi menerima pengantin pengganti dari Tiana, karena tahu kalau Zahira gadis yang sangat baik dan seorang Alim pun setuju. Namun, tidak dengan Khafi yang sangat membenci Zahira, karena pikiran Kahfi, Zahira menikahinya demi uang. Khafi pun acuh tak acuh dan setiap hari Zahira merasa terluka oleh prilaku Khafi kepadanya. Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Bagaimanakah, masalalu Khahfi yang masih terhubung di zaman moderent? Apakah Khafi bisa berubah? Apakah Zahira bisa bertahan dengan pernikahannya?

Ririnby · Fantasy
5.0
164 Chs

SUPPORT