webnovel

Maiden of Moon

Tales of Gods

| Maiden of Moon |

***

Aku tatap bintang yang senantiasa menemani. Benda yang aku miliki sejak masih bayi hingga saat ini. Bentuknya segi lima dengan warna kekuningan, sementara ukurannya sedang hingga bisa dipeluk di dada. Ketika dipegang, terasa hangat.

Aku peluk bintangku dengan erat dan penuh kasih. Bintang itu bersinar ketika dipeluk, cahayanya semakin terang jika aku tengah merasakan kebahagiaan. Terlebih ketika bersama dengan mainan kesayanganku.

Aku tumbuh besar bersama Bintang. Sejak bayi dia menjadi penjagaku di kala malam mencekam, kemudian siang menjadi sahabat terbaik. Ketika rumah begitu sunyi tanpa ada yang menemani, hanya dia yang ada untukku.

Aku lahir dan dibesarkan di tempat yang luas tapi begitu sunyi. Hanya terdapat hamparan dataran putih tanpa hiasan melainkan warna itu saja. Bisa dibilang, aku satu-satunya makhkuk di sini bersama bersama bintang yang tidak pernah terlepaskan. Ketika dilahirkan, seakan sudah menjadi takdir kalau aku akan selalu ditemani oleh bintang ini. Hingga saat ini, masih menyayangi teman kecilku.

Aku kemudian berbisik pada Bintang. "Bintang, apa yang akan kita lakukan hari ini?"

Biasanya, aku akan bermain hanya bersama dia. Tapi, tidak banyak permainan yang aku tahu selain melempar bintang kemudian menangkapnya. Atau berlari ke sana ke mari sambil memeluknya. Karena hanya itu yang kutahu.

"Siap?" Aku tatap Bintang sambil mempersiapkan diri.

Aku pun melempar Bintang dengan pelan, dia mengambang di udara yang gelap kemudian jatuh perlahan, sambil menunggunya jatuh aku akan membuka tangan menyambutnya.

Semakin turun, Bintang akhirnya jatuh ke tanganku. Aku meraihnya sambil tertawa girang, kemudian mengulangi kegiatan tadi dengan gembira.

Hari-hari biasa, akan diakhiri dengan biasa pula. Di tempat aku berada saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan. Hanya berupa hamparan tanah putih yang luas, begitu hening hingga tidak dapat dipastikan apakah ada makhluk lain di sana selain aku maupun Bintang.

Aku tidak tahu persis nama tempat ini, tapi yang aku tahu, bentuknya bulat dan besar hingga dapat menampung banyak sekalk makhluk. Meski begitu sunyi. Sayangnya sejauh ini aku hanya bisa melihat diri sendiri dan Bintang. Yang aku tahu, nama rumahku ini disebut "Bulan" oleh Mentari.

Mentari adalah temanku selain Bintang, tapi dia jarang mampir ke sini. Yang kutahu, dia sering bertualang entah ke mana. Datang-datang hanya untuk memberi kabar tentang tempat yang dia kunjungi.

Mentari bukannya menelantarkan, dia hanya sangat sibuk. Begitulah yang kutahu. Memang sedari kecil aku tumbuh bersamanya seorang. Dia memang ramah, namun tidak terlalu sering mampir dan menjengukku. Entah apa yang dia lakukan selain bertualang. Meski demikian, aku tidak keberatan.

Aku ingat waktu dilahirkan, hanya semburat cahaya menghias pandangan. Begitu meredup, hanya ada diriku yang sedang memeluk bintang kesayangan di pangkuan Mentari. Dia menyambutku, tapi tidak berkata-kata melainkan dengan senyuman.

Hari demi hari berlalu tanpa tangisan maupun tawa. Hanya lelap menyertai. Itu pun sesekali bangun kemudian tidur lagi di pangkuannya. Begitu saja terus hingga mencapai tahun kesepuluh.

Aku tidak butuh makan maupun minum. Tapi, aku kadang merasa lelah akibat bermain terlalu lama. Aku akan beristirahat baru kemudian pulih dan kembali bermain seperti sedia kala.

Bosan, aku pun kembali melempar Bintang. Dipenuhi tenaga hingga tanpa disadari membuatnya melambung terlalu tinggi.

"Bintang!"

Aku panik. Aku tidak bisa kehilangan bintangku!

Tanpa berpikir lagi, aku memasang kuda-kuda lalu melompat tinggi meraihnya.

"Bintang!" seruku sambil berusaha meraihnya yang berada jauh di depan. Dan ...

Hap! Aku berhasil memeluknya.

Jantungku yang berdebar kencang kini memelan. Setidaknya Bintng kembali di sisiku.

Sayangnya, dari situlah aku menyadari kesalahan. Bintang yang aku peluk seketika terasa begitu berat hingga berkali-kali lipat melebihi apa yang bisa aku kuasai.

Ada apa ini?

Aku mendekap erat Bintang. Ketika aku semakin menjauh dari rumah yang kini tampak bagai bola putih di tengah langit, saat itu juga aku teringat bahwa ada tempat lain selain rumahku. Dan aku semakin dekat ke sana.

Bintang berubah wujud. Warnanya yang kuning perlahan menjelma menjadi sebuah benda bulat dengan ekor. Melesat melintasi langit, mengarah langsung ke bawah. Sebuah hamparan tanah luas yang hijau.

Aku menjerit sambil setia memeluk Bintang.

Wuuussshhh ...

Elusan angin semakin menajam hingga terasa menusuk dalam diri. Begitu dingin hingga aku tidak mampu bergerak. Semakin dekat ke tempat itu, aku menutup mata saking tidak sanggup menahan terpaan angin di mata.

Namun, semua kengerian itu berakhir. Setiap embusan angin yang mengganggu, kini semakin tenang hingga membuat aku mulai berani membuka mata.

Di mana ini?

Sepanjang penglihatan hanya ada hamparan garis-garis hijau nan luas. Aku belum pernah melihat apalagi merasakan ini di kedua kaki. Entah karena apa, keadaan tanah menjadi sedikit basah membuat kaki terasa tidak nyaman karena terlalu dingin.

Aku langsung berdiri dan menggenggam Bintang. Ketika mendekapnya, aku merasa lebih aman karena ada teman menemani.

Di mana ini? Kira-kira dunia mana yang aku pijak saat ini? Tetapi, tidak ada dari diriku yang bisa menjawab.

Aku kembali mengamati diriku. Tangan dan kaki masih utuh, kulit masih mulus meski sedikit kotor di bagian kaki, rambut pirangku sedikit acak-acakan, maka aku langsung merapikan. Setelah semua dirasa aman, aku meneruskan langkah sambil mendekap Bintang. Tidak lupa mengamati tempat ini.

Bintang masih setia di sisiku. Masih memancarkan sinar lembut yang sama. Untung tidak ada lecet.

"Bintang, di mana kita?" bisikku.

Tentu dia tidak menjawab. Namun, karena itu juga aku merasa lega setidaknya ada yang "mendengar" isi hatiku.

Kembali meneruskan langkah, aku mencoba mengamati tempat baru ini. Sungguh aneh, sangat banyak warna hijau tua di bawah sinar bulan. Sementara dahulu yang kupihak hanya warna putih dengan permukaan kasar. Kini, hanya kuinjak terasa geli lagi basah. Apa yang baru saja terjadi?

"Bintang, kenapa tanahnya begitu aneh?" Aku bertanya lagi.

Seperti biasa, tidak ada balasan. Tapi, aku berpikir bisa jadi dunia yang kupijak ini memang diciptakan berbeda.

Teringat dengan bulan, aku langsung menengadah dan menatap rumahku. Ternyata tampak begitu kecil meski selama ini terasa sangat luas, aku bahkan tidak merasa sampai menjelajah seperempat dari rumah sendiri.

Satu-satunya yang kutahu soal bulan adalah Bintang. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Barangkali mereka lebih jarang muncul dan pergi setelah aku mulai lihai berjalan juga bermain sendiri. Tidak tahu cara memanggil mereka, aku hanya duduk diam dan berusaha mencerna apa gerangan yang terjadi waktu itu. Mentari tidak pernah menunjukkan bahwa dia menciptakanku, sehingga tidak terhitung.

Lantas, bagaimana caraku kembali? Apakah aku akan terjebak di sini selamanya?

Aku tidak bisa menyerah. Bagaimanapun aku akan kembali ke bulan!

"Bintang, pandu aku kembali ke bulan!" titahku.

Meski tidak ada balasan, aku dapat merasakan pancaran hangat dari Bintang seakan dia turut merasakan kobaran semangatku.

"Tapi, bagaimana?" bisikku ragu. "Bagaimana caraku pulang nanti? Apa aku akan baik-baik saja?"

Saat itu juga, mataku tertuju pada sosok yang melayang ke atas bulan. Tidak jelas wujudnya melainkan bayangan hitam menyelubungi.

Aku berlari mengerjarnya. Bisa jadi dia akan membantu. "Tunggu! Tunggu!"

Namun, jeritanku terasa sia-sia melihatnya semakin jauh bahkan tidak menoleh. Apa suaraku terlalu kecil?

Aku mendekap erat Bintang. Jantung berdegup kencang. Diri ini terguncang karena merasa akan hidup selamanya di tempat aneh ini. Bagaimana nasib bulan tanpaku? Lantas, bagaimana dengan rumahku nanti? Apa aku akan bertahan di tempat asing ini?

Bintang berpendar kembali. Muncul cahaya kuning menyilaukan mata. Aku perlahan menurunkannya dan membiarkan Bintang melakukan apa yang dia inginkan.

Saat itu juga, cahaya tadi meredup. Wujud Bintang berubah menjadi makhluk berwajah panjang, berkaki empat, dengan bulu putih, serta sepasang sayap. Bintang kini mengeluarkan suara aneh menyerupai "kikikik" layaknya bunyi gesekan. Sungguh aneh.

Aku terpana menyaksikan keajaiban ini. Menyadari bahwa Bintang ternyata bisa berubah wujud setelah sekian lama bersama. Aku dekati jelmaan Bintang lalu naik ke makhluk itu. Mengelus bulu putihnya kemudian berbisik.

"Antar aku kembali ke bulan," bisikku.

Saat itu juga, aku melayang kembali ke atas. Berpegangan erat dengan surai putih, melaju menuju bulan yang tadinya berbentuk bulat kecil kini semakin besar hingga aku kembali tampak bagai butiran debu.

Bintang dalam jelmaannya pun masih tidak bicara. Setelah kembali mendarat di bulan, aku lalu turun. Keadaan bulan sama seperti sedia kala. Syukurlah bisa kembali.

Ah, aku harus mengucapkan terima kasih ada Bintang.

Belum sempat memuji bahkan mengucapkan terima kasih, Bintang kembali ke wujud awalnya. Aku dekati kemudian mendekapnya erat sebagai tanda terima kasih.

"Terima kasih sudah mengantarku kembali," ucapku tulus.

"Raana."

Suara yang tidak asing.

Bayangan tinggi menjulang di belakang. Meski tahu itu siapa, aku tetap terkejut dan takut untuk menoleh untuk beberapa saat.

Mata cokelatku tertuju pada sosok yang masih tidak berkutik, seakan menunggu respons dariku.

Mentari.

Rambut pirang dengan sedikit garis biru, berkulit putih, serta mata kuning pucat namun tidak memiliki titik hitam di bagian tengah. Ia sangat tinggi, bahkan aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Bahkan saat aku berdiri, tinggiku hanya sampai pahanya.

"Raana ke mana saja?" tanyanya. Suaranya lebih terdengar penasaran alih-alih cemas. Sepertinya dia mencariku saat terdampar di tempat aneh tadi.

Bintang memancarkan cahaya lagi, kali ini menyalurkan kehangatan dalam dada, membuatku sedikit tenang. Bukannya kenapa, tapi pengalaman jatuh ke tempat asing sudah cukup membuatku takut.

Aku memeluk erat Bintang. "Raana bermain dengan Bintang. Tapi, malah terlempar terlalu tinggi hingga jatuh ke bawah sana. Kami berhasil pulang berkat Bintang yang menjelma jadi makhluk berkaki empat dan bersayap!"

"Maksudmu unicorn?" tanyanya seakan menebak.

"Apa pun itu," balasku. Aku bahkan tidak tahu apa itu, yang penting terasa menyambung dengan obrolan.

Mentari mengamati Bintang. Dia mengulurkan tangan tanda ingin aku menyerahkan temanku. Bintang pun beralih ke tangannya.

Diam saja, itu yang dia lakukan. Aku yang penasaran hanya berlutut dan mengamati.

"Bintang memang istimewa," ujarnya. "Sudah ada waktu kamu masih kecil, diciptakan untuk mendampingimu."

Aku mengiakan. "Bukannya aku tercipta bersamanya?"

"Tentu, kamu Putri Bintang." Mentari tersenyum. Dia kembali menyerahkan temanku. "Sekarang, Raana harus siap berkeliling semesta layaknya bintang."

"Maksudmu?" Aku tentu bingung.

"Berkeliling semesta, bukankah itu menyenangkan?" Mentari kembali tersenyum, dia berdiri lalu mengulurkan tangan. "Ayo!"

Masih mengenggam erat Bintang, aku tetap saja ragu. Meski aku dan Mentari cukup sering berjumpa, bukan berarti aku sepenuhnya tahu niat dia, bukan?

"Aku tidak mau kembali ke bawah sana!" tegasku sambil menunjuk bola raksasa warna hijau dan biru di bawah sana.

Mentari mengamati benda itu, dia tertawa kecil. "Itu bumi namanya."

"Bumi?" beoku. "Aneh juga namanya."

"Itu tempat tinggal makhluk-makhluk kecil, yah, meski ada beberapa yang lebih besar," jelas Mentari. "Sudah lama tidak berkunjung di sana. Sangat seru!"

"Seru?" beoku, tidak terima dengan komentar tadi. "Raana ketakutan!"

Mentari malah tertawa. "Raana, Raana, kalau hanya sekilas, tidak bisa dinilai langsung."

Aku tidak menyahut.

Mentari berlutut hingga aku dapat melihat wajahnya tanpa mendongak terlalu tinggi. Dia menatapku dengan senyuman ramah, atau justru terlihat seperti anak kecil yang berusaha membujuk temannya agar ingin bermain.

"Di bumi ada banyak keajaiban yang disiapkan untuk kita jelajahi." Mentari melanjutkan. "Raana yakin tidak mau ikut?"

Aku memeluk lutut, mendengar ucapaan Mentari membuatku kian ragu. Bahkan sampai meremas terusan jingga yang kukenakan. "Raana tidak yakin. Bumi tampak menakutkan."

Mentari menatap ke bumi. "Tidak selamanya yang terlihat menakutkan itu benar-benar buruk."

Aku tidak mengerti maksudnya. Yah, mungkin karena perbandingkan usia yang terlampau jauh. Mentari bisa dibilang sangat tua dan jelas sudah menjelajahi tempat-tempat di alam semesta itu. Tapi, apa benar yang dia ucapkan itu?

Aku menatap Mentari, masih diam sambil memandangi bumi. Dari sorot mata tanpa pupil itu, dia seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Sepertinya dia bahkan tidak menyadari tatapanku.

Diam saja menjadi pilihan utama. Belum sempat berpikir lebih lama, muncul sepercik ide. Ah, apakah ini keputusan yang bagus?

Menarik napas, aku menatap Mentari dan memantapkan hati. "Baik, aku ikut."

Balasannya hanya berupa senyuman. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan.

Aku pegang tangannya.

"Eits." Dia mengangkat tangan seolah menolak uluranku, seakan juga teringat sesuatu. "Tunggu dulu."

Saat itu juga, semburat cahaya menyilaukan menguasai pandangan. Yang kutahu, dia dapat mengendalikan cahaya yang muncul dari dalam dirinya. Sepertinya dia kembali bersinar meski risikonya bisa menyebabkan kebutaan bagi sekitar. Aku tidak tahu apa niatnya kali ini.

Menutup mata, aku biarkan dia bersinar lagi. Meski begitu, sinarnya bahkan masih bisa terlihat meski seberkas. Tanda betapa kuatnya cahaya ini.

"Raana."

Panggilannya membuatku perlahan mengerjapkan mata.

Mentari telah berubah.

Tingginya kini hampir menyamaiku, mungkin sedikit lebih tinggi. Rambutnya kini panjang nyaris sepinggang. Meski tatapannya tetap sama, penuh keceriaan serta semangat membara.

"Nah, kalau begini lebih baik," ujar Mentari. "Yuk, Raana!"

Aku kembali memegang tangannya.

Mentari melompat. Aku pegang tangannya dengan erat bersama Bintang di sebelah tanganku. Melewati batas yang biasa kulihat, semakin dekat menuju tempat yang disebut bumi.

Tamat

Next chapter