Gadis itu mendorong perlahan pintu yang ada di depan matanya. Selepas mengintip dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja dan terkendali, Sandra memutuskan untuk masuk menjenguk sang ibunda malam ini. Memang, ia tak berharap sama sekali untuk bisa berbincang dengan wanita tua itu. Namun, Sandra hanya ingin melihat dan memandangi wajah sang malaikat tanpa sayap-nya itu. Ia rindu bermain bersama sang ibunda.
Langkah kaki gadis itu tegas masuk ke dalam ruangan. Suasana monitor detak jantung yang ada di sisi ranjang sang ibunda mulai terdengar dengan jelas. Suasana yang sepi, tak ada suara apapun selain derap langkah kakinya. Ia mulai menarik sebuah kursi kecil dan duduk di sisi sang ibunda. Wanita itu memejamkan rapat kedua matanya saat ini. Tertidur atau entah mencoba untuk menutup matanya saja sebab rasa sakit pasti menggerogoti di dalam dirinya.
Ada kabar buruk yang didengarnya sebelum datang kemari juga tepat saat Sandra menginjakkan kakinya di dalam bangsal rumah sakit. Dokter gendut dengan kacamata kotak itu berkata bahwa harapan ibunya menipis. Ia harus segera menjalani operasi. Jika terus begini, maka tak ada lagi harapan hidup untuk wanita tua itu. Toh juga, Dokter terlalu iba pada Sandra yang terus berusaha bekerja keras hanya untuk menutup biaya rumah sakit sang ibunda.
Operasi? Tidak! Membayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan olehnya saja, sudah cukup membuat Sandra geleng-geleng kepala. Ia belum punya uang sebanyak itu. Sandra tak bisa mengambil seluruh uang tabungannya begitu saja. Sang ayahanda akan bertanya dan akan murka kalau tahu Sandra menghabiskan uangnya untuk sang ibunda. Bukannya apa, urusan wanita ini bukan lagi menjadi beban untuk Sandra. Ayahanda berulang kali berkata, kalau ia hanya perlu fokus untuk mengejar prestasi dan membangun mimpi juga masa depannya nanti. Jangan terkecoh pada keadaan! Begitulah wejangan yang didapat saat ia memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah sang nenek yang lebih dekat dengan kampus.
"Ibu ...." Sandra memanggil lirih wanita yang ada di depannya. Ia mulai meraih kedua pergelangan tangan wanita yang ada di depannya. Tubuhnya terasa begitu dingin, tak hangat seperti orang normal biasanya. Sandra tak bisa membayangkan apapun lagi. Ia belum siap kehilangan ibunya. Ia tak ingin menyandang status sebagai anak pintu. Sandra masih ingin bekerja dengan keras dan masih ingin menjenguk sang ibunda di akhir pekan.
"Maafkan Sandra, Mom." Gadis itu mengimbuhkan. Kini dirinya menempelkan punggung tangan sang ibunda tepat di sisi wajahnya. Mengusap-usapnya dengan perlahan penuh dengan kelembutan. Tanpa disadari oleh Sandra, jari jemari itu bergerak. Sepersekian detik kemudian, erangan lirih datang mencuri fokus gadis itu. Sandra mengangkat pandangannya. Ia menatap ke arah sang ibunda yang baru saja membuka matanya perlahan-lahan.
"Ibu bangun karena aku?" tanyanya berjaga-jaga. Rasa bersalah ada saat ia mengganggu istirahat wanita itu.
Ia tersenyum manis pada Sandra. Kepalanya menggeleng ringan untuk itu. "Tidak ... ibu belum tidur tadi," pungkasnya dengan helaan napas ringan. Ia mengulurkan tangannya untuk membalas genggaman tangan dari Sandra. Hangat, inilah yang paling dirindukan oleh dirinya kalau Sandra tak kunjung datang. Hanya sang putri yang sering mengunjunginya, tak ada orang lain yang melakukan itu sesering Sandra.
"Maafkan Sandra, Mom." Ia mengulang. Kali ini nadanya lirih sembari mulai menundukkan kepalanya. "Maaf karena tak bisa membuatmu cepat sembuh dan cepat pergi dari tempat ini," tukasnya mengimbuhkan. Ia mengerutkan dahinya samar. Sedih rasanya, tubuh sang ibunda semakin kurus dengan wajah yang terus bertambah tua dan lesu. Ia pasti lelah sebab setiap detik dan setiap menit harus berjuang melawan sakit yang dideritanya. Sandra benar-benar merasa tak berguna juga sudah begitu.
"Sandra ...." Wanita itu memanggilnya dengan lirih. Tak pernah absen dalam tersenyum ke arah sang putri. Ia terus memberikan yang terbaik untuk Sandra saat ini. Mencoba tetap kuat dan tetap terlihat baik-baik saja meksipun ia paham benar kalau Sandra bukanlah gadis yang bodoh. Sandra pasti tahu apa yang dirasakan oleh sang ibunda.
"Boleh aku minta sesuatu padamu, Nak?" tanyanya dengan nada lirih. Sembari mengusap punggung tangan milik sang putri, ia menatap ke arah wajah Sandra yang nampak mulai les.
Anggukan kepal ringan datang dari Sandra. Gadis itu mencoba untuk tersenyum sembari terus mengarahkan pandangannya untuk menatap sang ibu. "Katakan, Mom. Jika aku bisa melakukannya. Maka aku akan melakukan itu," tutur Sandra dengan nada ringan.
"Berhentilah untuk bekerja paruh waktu dan berisitirahatlah, Nak. Pastikan dirimu tetap sehat dan baik-baik saja," ucapnya menuturkan.
Sandra mulai melipat keningnya samar. "Apa maksudnhay, Mom?"
Kepala gadis itu mulai menggeleng jelas. Ia tersenyum kecut kepada wanita yang terbaring lemah di depannya itu. Tak ada suara apapun dalam sepersekian detik berjalan. Sandra hanya diam begitu juga sang ibunda.
"Aku akan tetap melakukan ini. Sudah menjadi kewajiban Sandra untuk melakukan ini ...." Ia mempertegas kalimatnya. Meksipun tak meninggi, tetapi nada bicaranya cukup bisa didengar dengan jelas.
"Jadi, berhenti untuk berbicara aneh seperti itu. Ketika Sandra masih bisa, maka Sandra akan terus berusaha." Sandra menutup kalimatnya. Ia tersenyum manis, lalu mengusap punggung tangan sang ibu.
"Aku bukan ibu kandungmu, Sandra. Aku adalah orang asing yang dititipkan untuk menjaga dirimu." Wanita itu mulai menjawab. Air mata mengenang di dalam kelopak mata gadis cantik yang kini mulai memberikan sebuah tatapan sayu. Tidak, dialah sang ibunda. Wanita tua ini adalah ibunya. Apapun alasannya, ia tetap akan berpendirian teguh pada itu.
"Jangan bilang seperti itu, Mom. Aku hanya punya satu itu dan—"
"Pergilah ke rumah lama kita ... di sana aku menyimpan sebuah kotak berwarna hitam pekat tepat di sisi pintu gudang yang selalu tertutup rapat." Wanita itu menyela kalimat milik Sandra. Tak ada suara, mendengarnya Sandra hanya diam senantiasa mencoba memahami suasana yang tiba-tiba aneh dan asing. Seperti seseorang yang sedang berpamitan sebelum pergi jauh darinya.
"Di sana tak ada hantu atau monster yang akan memakanmu, Sandra," tuturnya dengan lirih. Membuat putri yang ada di depannya hanya bisa mengangguk dengan ringan. Sandra masih mengingat larang itu, kala ia kecil ibunya selalu berkata untuk tak masuk ke dalam ruangan itu. Monster dan hantu berwajah mengetik akan menerkam dan memakammu hidup-hidup! Begitu katanya untuk menakuti Sandra. Namun, sebenarnya hanya ada rahasia di dalam ruangan itu. Ia sedang menunggu waktu yang tepat saat Sandra sudah dewasa nanti.
"Jika aku mati ...."
"Mom ...," sela suara Sandra memotong. Ia meneteskan air matanya tiba-tiba. Sampai detik ini, Sandra belum bisa mengikhlaskan semuanya. Ia belum bisa kehilangan sang ibunda.
"Jika aku mati, maka kamu harus segera pergi dari Kota ini dan mencari wanita yang sudah melahirkanmu. Jika dia masih hidup, maka dia akan melindungimu, Sandra."
Gadis itu memejamkan rapat matanya. Kepalanya mulai menggeleng dengan ringan. Air mata jatuh kian deras saja. Tidak, apapun yang terjadi ibunya inilah yang akan melindungi Sandra.
... To be Continued ...