webnovel

Ini Pernikahan Sungguhan, Bukan Main-main.

Gedung pernikahan

Di teras depan gedung tampak beberapa orang, tepatnya keluarga yang hari ini menyelenggarakan pesta pernikahan. Di sana ada Saveri dan Abeliana yang pulang dengan sopir pribadi, sedangkan Aliysia dengan mobil yang dikendarai oleh Vian, suaminya, uhuk!

Abeliana tampak mencium kedua pipi Aliysia yang balas sama di pipi dengan senyum diulas, membuat Vian yang melihat merasa jika bocah bar-bar yang ditemukannya sangat senang dengan sang mama dan begitu juga sebaliknya.

Namun demikian, ia tidak menegur dan melihat ke arah lainnya berusaha mengabaikan pula kelakuan si bocah yang mulai memonopoli kedua orang tuanya semenjak di dalam ruangan.

Ia hanya berharap papa dan mamanya tidak menyayangi istrinya berlebih, karena sejatinya ini hanya pernikahan sementara. Ia hanya tidak ingin keduanya sedih karena tidak lama lagi ia dan Aliysia akan berpisah, itu saja.

"Selamat istirahat Sayang, besok Mama akan mengunjungimu. Okay?" ujar Abeliana sebelum beliau masuk ke dalam mobil.

"Okay Mah!" seru Aliysia semangat, meambaikan tangan dengan cengiran diulas dan akhirnya mobil pun meninggalkan teras gedung, menyisakan pasangan suami-istri yang berdiri bersisihan.

Vian memperhatikan senyum yang ulas Aliysia tampak tulus, membuatnya tanpa sadar melihat dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski sayang, moment memperhatikan itu harus terganggu dengan teguran si bocah.

"Vian! Ayo kita pulang, antar aku ke kost-an ya. Ck! Hari ini sungguh melelahkan dan harus mandi air hangat kalau begini ceritanya," cerocos Aliysia sambil merengangkan pinggang.

Suara 'kretek' terdengar sampai telinga Vian, yang meringis dan tersadar dari lamunan meski dalam hati mengucapkan puji Tuhan karena si bocah tidak tahu jika sedang dipandanginya.

Coba kalau ketahuan, sudah pasti saat ini ia melihat tatapan mengejek dan parahnya diledek habis-habisan. Namun, ketika mengingat lagi apa yang dikatakan oleh Aliysia, seketika Vian mengangkat sebelah alis dan menatap skeptis.

"Kost-an?" tanyanya mengulangi, dengan Aliyisa yang mengangguk seakan membenarkan.

"Iyap, betul sekali kost-an tepatnya tempat tinggalku. Tugasku dalam membantumu 'kan sudah selesai, jadi aku rasa sudah tidak ada keperluan lagi kita bersama seperti ini. Iya 'kan? " jawab Aliysia menjelaskan dengan wajah polos, seakan-akan jika saat ini keduanya memang sedang bersandiwara.

Kalian pasti pernah dong saat kecil bermain 'mari menikah', mungkin ini juga yang dibayangkan Aliysia saat mengucapkan sumpah pernikahan dengan nama Viandra Jefrin Geonandes disebut lantang.

Meski tidak ada ciuman bibir dan diganti dengan kening yang dinistai, seharusnya Aliysia sadar jika ini bukanlah permainan seperti ia kecil dulu.

Vian sendiri segera memicing, menatap si istri dengan ekspresi tidak bersahabat. "Apa maksud kamu dengan tugas yang diselesaikan?" tanyanya datar dan Aliysia segera menatap dengan kernyitan dahi, bingung.

Bahkan, tangannya sudah sibuk mengukuri surai yang untungnya tidak kaku karena kebanyakan dipakaian hair spray.

"Loh! Bukankah ini hanya pernikahan main-main ya? Kamu 'kan bilangnya hanya membantu dan nanti dijelaskan?" tanya Aliysia sambil mengingat lagi awal mula terjadi pernikahan ini.

Ia mengingat jelas mendengar kata 'bantu aku', tapi kenapa saat ini membuatnya canggung dan takut?

Vian sendiri semakin mengangkat alis, memasang ekspresi wajah seakan berkata 'are you kidding me' kepada si bocah yang seketika itu juga melotot horor, sepertinya baru menyadari apa yang terjadi.

"T-tunggu! Jangan bilang kalau yang siang ini, yang janji, yang aku ucapkan...."

Aliysia tergagap dengan wajah pucat pasi sambil menunjuk ke dalam dan Vian bergantian, sedangkan yang ditunjuk kini menyeringai kemudian menjelaskan dengan nada main-main.

"Iya, ini adalah pernikahan nyata dan tidak ada kata main. Apa kau kira, ucapan janji pernikahanku bohong? Tidak, itu adalah kebenaran dan artinya jelas, jika saat ini kita adalah sepasang suami istri. Apakah ini bisa dipahami, Aliysia?"

Mulut menganga adalah yang dilihat Vian ketika Aliysia sendiri tidak menjawab dan justru diam dengan bola mata hampir keluar. Ia tahu jika saat ini si bocah pasti sedang tidak percaya akan kenyataan yang ada dan diam-diam ia memperlebar seringai.

"Kau pun sudah mengucapkan janji kepada Tuhan untuk menerimaku sebagai suami disaksikan oleh banyak tamu yang datang."

Deg! Deg!

Semakin diam saja Aliysia dibuatnya dan Vian tersenyum manis setelahnya.

"Jadi Aliysia, dengan berat hati aku katakan sekali lagi kalau sampai tua nanti dan kembali ke pangkuan-NYA, kita adalah pasangan suami dan istri, jelas?"

"Apa!"

Fu-fu-fu..... Aku tidak tahu, jika mengerjai seseorang bisa sesenang ini. Tapi dia berbeda dengan banyak wanita di luar sana, apakah aku bisa mempermainkannya seperti ini? batin Vian.

Sungguh, ia senang saat melihat wajah Aliysia yang menatap tidak percaya, tapi ia juga tidak tahu kenapa ada perasaan lain di sisi hatinya.

***

Apartement Soho

Pasangan baru menikah yang sempat terlibat percekcokan karena pernikahan yang dikira mainan akhirnya sampai di apartemen sekitar lima belas menit kemudian.

Di dalam lift tidak ada percakapan diantara keduanya. Ya, Vian yang lurus menatap ke depan, sedangkan Aliysia yang masih memikirkan kehidupannya ketika mendengar jelas apa yang sebenarnya terjadi hari ini.

Setibanya mereka di depan pintu hunian, Vian pun bergegas membuka pintu menggunakan kartu serta memasukkan kode akses.

Ceklek!

"Masuk," ujarnya mempersilakan, dengan Aliysia yang patuh segera masuk baru kemudian ia sendiri sambil menutup pintu.

Awalnya pun Aliysia tidak ingin mengikuti apa mau Vian, ia bersikeras ingin pulang ke kost-annya sendiri. Namun sayang, Vian tidak mengikuti dan menulikan pendengaran ketika pekikan kalimat 'pulangkan aku!' dari si bocah diucapkan berulang.

Meski harus merelakan telinganya pengang sepanjang jalan, tapi setidaknya saat ini ia sudah sampai di apartemen dengan selamat.

Benar, Vian dengan keras kepala tetap mengendarai mobil menuju apartemen. Alhasil, Aliysia pun mau tidak mau mengikuti.

Blam!

Aliysia kini berdiri di tengah-tengah ruangan, sementara si empu sendiri berjalan ke arah kamar untuk mengambil secarik kertas, kemudian kembali menghampiri si bocah yang masih betah berdiri.

Sepertinya dia tipe yang tahu diri meski seenaknya, batinnya menilai.

"Duduk," ujar Vian mempersilakan singkat.

Tanpa kata Aliysia duduk sudut di sofa panjang dan menatap dengan memicing, curiga. Sedangkan Vian, ia sendiri duduk di sofa single dan meletakkan kertas yang dibawa di atas meja.

Ia mengabaikan saat ditatap dengan wajah penuh tanya, meski akhirnya menghela napas dan mulai menjelaskan apa maunya kepada si bocah.

"Aku akan membuat surat perjanjian pernikahan," jelas Vian dan sayangnya Aliysia segera menyela apa yang ingin dijelaskan.

"Apa? Aku bilang 'kan aku tidak ingin menganggap pernikahan ini sungguh-sung-

"Maka itu aku buat perjanjian pernikahan. Bisa tidak, kalau orang sedang menjelaskan itu di dengarkan dulu, baru kemudian bertanya biar jelas?"

Vian ikut menyela sedikit kesal, menatap Aliysia dengan ekspresi datar yang dibalas dengan tatapan kaget, takut.

Ah! sepertinya Vian terlalu berlebihan.

Namun, ia merasa Aliysia benar seperti bocah, bisa-bisanya membuat orang seperti naik rollercoaster, kadang bisa manis dan juga naik darah seperti ini.

Padahal, keduanya baru bertemu kurang dari satu hari, tapi anehnya Vian sudah berhasil dibuat kehilangan sikap tenang.

Benar-benar bahaya, batin Vian dengan helaan napas kasar.

Bersambung