Satu minggu sudah berlalu, tetapi Daffa masih saja tinggal di kantornya dan tidak sedikitpun dia berniat pulang baik itu ke rumahnya, maupun tinggal bersama Jeslin. Seperti pagi ini asistennya terkejut ketika dia datang Daffa bosnya sudah ada di kantor lebih dulu.
"Astaga Tuan Daffa, anda membuat terkejut saja saya kira Tuan sudah pulang ke rumah, tetapi ternyata masih tinggal di kantor," ucap Roy.
"Kau tidak suka aku tinggal di kantorku sendiri, atau kau mau memasukkan wanita ke dalam ruanganku dan memadu kasih di sini, ayo mengaku saja kau sudah tertangkap basah," ledek Daffa yang langsung duduk di kursinya.
"Bukan begitu maksudku Tuan, tapi apa anda tidak memikirkan nasib kedua istri yang telah anda tinggalkan? karena apapun alasannya mereka sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari suaminya, apalagi nona Mei yang sama sekali tidak bisa tidur jika tidak memeluk anda, Tuan," ungkap Roy yang membuat Daffa termenung memikirkan semua yang diucapkan oleh asistennya itu.
"Benar apa yang kau katakan Roy? karena terlalu sibuk dengan kesedihanku sehingga membuatku melupakan semua kewajibanku kepada istriku sendiri, terima kasih Roy, kau sudah mengingatkanku," ucap Daffa sambil menatapnya dengan penuh makna.
"Sama-sama Tuan, lalu apa anda mau saya belikan sarapan?" tawar asistennya.
"Ayo kita pergi bersama saja Roy! karena sudah lama aku tidak bercengkrama denganmu jadi, selama aku masih tinggal di kantor aku ingin menghabiskan waktu denganmu," papar Daffa, dia mengajak asistennya keluar kantor sambil berjalan berdampingan, sedangkan Roy tersenyum tipis mendengar ucapan bosnya itu.
"Benar sekali yang anda katakan Tuan, seingat saya terakhir kali kita berjalan santai itu ketika Tuan masih pacaran dengan nona Meisya," sahut asistennya lagi.
"Aku jadi merindukan istriku Roy, padahal sudah setiap dua jam sekali aku menelepon bunda menanyakan keadaan istriku dan ketika ada saat yang tepat bunda juga selalu video call untuk memberi tahu kegiatan istriku, walaupun dia tidak tahu kalau aku sering meneleponnya," beber Daffa yang berjalan masuk ke dalam kantin perusahaannya.
Banyak yang kagum akan ketampanan Daffa, walaupun dia sama sekali tidak menyapa semua karyawannya, tetapi semua karyawan wanita tetap menyukai pria yang berumur 35 tahun itu.
"Kita duduk di mana Tuan?" tanya Roy sambil melihat disekelilingnya.
"Di sudut sana saja Roy, aku merasa lebih nyaman jika duduk di dekat jendela, lalu apa kau sudah memesan makanannya?" sahut Daffa sambil menunjuk ke arah tempat duduk yang ada di sana, lalu Roy dan Daffa melangkah ke arah tempat yang mereka maksud.
"Sudah Tuan sebentar lagi juga makananya akan datang, tapi apa anda tidak melihat para wanita-wanita itu Tuan? kenapa mereka masih saja menyukai anda? padahal mereka sudah tahu kalau anda sudah menikah dan yang seharusnya mereka lirik itu aku, karena di sini aku yang masih lajang," protes Roy dan baru saja Daffa mau menjawab malah sudah di potong lebih dulu oeh ibu kantin.
"Karena Tuan Daffa jauh lebih tampan dari pada anda, Tuan Roy, maaf tuan kalau ucapannya tadi saya potong," terang ibu kantin yang baru sadar akan kesalahannya sehingga dia merasa tidak nyaman.
"Jangan takut, Bu, ucapan anda memang benar sekali dan Ibu juga sudah membuatku senang jadi, aku tidak akan marah pada Ibu," ucap Daffa yang membuat ibu kantin menjadi lega.
"Terima kasih Tuan, sekali lagi saya minta maaf karena sudah lancang memotong pèmbicaraan anda dan Ibu permisi dulu Tuan Daffa silahkan nikmati sarapannya," pamit ibu kantin yang menundukkan sedikit tubuhnya, kemudian pergi meninggalkan Daffa dan Roy.
"Bagaimana rasanya disukai banyak orang Tuan? apakah sangat menyenangkan? apa rasanya seperti anda mendapatkan gaji untuk pertama kalinya?" tanya Roy dengan sangat penasaran.
"Bagiku biasa saja Roy dan kau juga jika sudah saatnya nanti akan banyak disukai oleh banyak wanita juga jadi, sabar saja ya, tapi untung saja kau menyebut tentang wanita itu," ucap Daffa yang menggantung kalimatnya.
"Ada apa dengannya Tuan? bukankah sekarang nona Jeslin itu istri anda, apa yang mau anda lakukan padanya?" ujar Roy.
"Saya tidak mau kau memanggilnya dengan sebutan Nona, Roy, karena dia bukan Nonamu, dia hanya orang asing yang telah merusak kebahagiaanku, dan ingat belikan aku rumah yang lebih kecil dari rumah yang dia tinggali sekarang dan juga untuk pembantu berikan dua orang saja, satu untuk mengurus rumah lalu satu lagi untuk menjaga rumah," pinta Daffa lalu dia kembali melanjutkan makanannya.
"Ternyata anda masih memiliki hati nurani Tuan, saya juga yakin kalau anda itu sebenarnya tidak tega padanya, karena walau bagaimanapun nona Jeslin seorang perempuan, apalagi dia sedang hamil," gumam Roy sambil melirik Tuan mudanya.
"Kenapa kau diam saja Roy? apa kau mendengar yang aku katakan tadi?" tanya Daffa ketika dia tidak mendapat reaksi apapun dari asistennya.
"Hah, iya saya dengar apa yang Tuan bicarakan? lalu di mana saya harus mencari rumah untuk Istri kedua anda itu Tuan? apa saya harus meletakkannya di tempat yang sangat jauh? agar tidak ada yang tahu kalau dia itu Istri anda?" ucap Roy dengan sedikit kesal.
"Ide yang sangat cemerlang Roy, aku ingin kau melakukan semua yang kau ucapkan tadi, tapi tetap tempatnya harus dekat dengan rumah sakit dan swalayan biar pembantunya tidak susah kalau mau membeli semua yang dia butuhkan," suruh Daffa yang membuat asistennya itu melongo, tetapi dia berusaha bersikap biasa saja agar Tuannya tidak marah.
"Baik Tuan akan segera saya laksanakan," sahut Roy.
"Apa kau sudah selesai sarapan Roy? aku ingin kembali ke kantor karena pekerjaanku masih banyak," ungkap Daffa sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
"Saya sudah selesai Tuan, ayo kita kembali!" ajak Roy pada bosnya lalu mereka melangkah bersama kembali ke kantor lagi.
"Roy, setelah kau menelesaikan semua pekerjaanmu segeralah carikan rumah untuknya, karena aku tidak mau dia tinggal di rumah itu lebih lama lagi," pinta Daffa sebelum di masuk ke dalam ruangannya.
"Siap Tuan,"
"Bagus lanjutkan pekerjaanmu, aku masuk dulu," kata Daffa, kemudian dia berbalik dan masuk ke dalam ruangannya dan duduk melanjutkan pekerjaannya lagi.
"Aku sangat merindukan Istriku lebih baik aku menelepon Bunda saja, siapa tahu bisa video call dan memandang wajahnya lebih lama," keluh Daffa, kemudian dia mengambil handphonenya yang di atas meja lalu menekakan panggilan dengan nama bunda.
[Hallo sayang, apa kabarmu, Nak? kenapa semalam tidak menelepon bunda? padahal bunda sudah menunggu telepon darimu, sayang, apa terjadi sesuatu sehingga tidak menelepon?]
"Bunda, kenapa banyak sekali pertanyaan yang Bunda ajukan padaku? aku baik-baik saja Bunda, aku hanya terlalu merindukannya, sehingga aku tidak sanggup untuk memandang wajahnya, tetapi sekarang aku sudah baik-baik saja dan ijinkan aku untuk melihatnya Bunda, apa yang dilakukan oleh istriku sekarang?" terang Daffa dengan penuh harap.