webnovel

BAB 14

Kay menatap kursi kosong ruang makan yang cukup besar lalu menghela nafas. Saat ini dia sedang memakan sarapannya sendirian karena orang tua Alexa masih berada di luar kota dan Adrian kembali ke apartemennya setelah lukanya sudah membaik. Entah perasaannya saja atau memang kenyataannya Adrian menghindarinya karena alasan yang tidak diketahui oleh Kay. Sejauh yang dia tahu, mereka berdua mulai dekat dan berbicara banyak hal. Perubahan mendadak Adrian terjadi dua hari yang lalu dan memutuskan untuk kembali ke apartemennya dengan membawa bu Rina untuk merawatnya. Kay tidak ingin membuat Adrian semakin tidak nyaman jadi dia membiarkan dan tidak mempertanyakannya.

Dia menghabiskan kopinya dengan sekali teguk dan bangkit dari kursi untuk berangkat ke sekolah. Kay melihat sebuah mobil terparkir di depan dengan seseorang yang tidak di kenalnya. Dia bertanya pada pria yang tampak seusianya dan pria itu menjawab bahwa Adrian yang menyewanya. Pria itu membukakan pintu mobil dan mengendarai dengan kecepatan sedang menuju sekolah. Kay menatap keluar jendela dengan pikiran kosong. Tiba-tiba dia teringat dengan Adrian. Benar, dia sangat khawatir dengan Adrian yang terluka tapi jika dia boleh jujur, Kay mulai tertarik pada Adrian. Dia adalah lelaki yang baik dan perhatian. Kay mendengus sambil menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Sebanyak apa pun aku menyukainya, aku tidak akan melibatkannya dalam hidupku, pikir Kay.

Pikirannya terputus ketika mobil berhenti. Kay menoleh ke sekelilingnya dan menyadari bahwa mobil berhenti di tempat pengisian bensin. Dia melihat sopir itu keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa. Kay menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menutup kedua matanya. Dia membuka matanya ketika mendengar pintu mobil terbuka dan menoleh ke arah sopir bergerak masuk ke tempatnya duduk. Kay mengernyitkan dahinya.

"Apa yang kau..."

Sebelum Kay menyelesaikan kalimatnya, sopir itu menjepit tubuhnya sambil membekap mulut dengan tangan kirinya. Tiba-tiba Kay merasakan sengatan dia tangan kirinya. Dia menoleh dan mendapati bahwa lelaki itu telah menyuntikan sesuatu ke tubuhnya. Kay berusaha memberontak tapi tubuhnya terasa lemah dan pandangannya mulai kabur.

Adrian yang kini duduk di lorong rumah sakit sedang mengantre panggilan dokter. Lukanya sudah mulai membaik namun dokter pribadinya mengatakan bahwa dia tetap harus memeriksanya. Dia bisa saja memanggil dokter pribadinya tetapi Adrian memiliki rencana sendiri sehingga dia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Begitu namanya dipanggil, dia masuk ke dalam ruang dokter. Setelah pemeriksaan, dia berjalan di lorong rumah sakit yang cukup sibuk. Adrian berhenti di depan ruangan dan mengetuknya dengan pelan. Begitu dia mendengar jawaban dari dalam ruangan, Adrian membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter lelaki paruh baya menyambutnya dengan senyuman hangat lalu mempersilakannya untuk duduk.

"Saya cukup terkejut mendapatkan telepon dari pak Adrian yang ingin bertemu dengan saya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter itu.

"Ah, saya minta maaf mengambil waktu sibukmu, dok. Tapi ini berkaitan dengan adik saya, atas nama Alexa." Jelas Adrian yang menyandarkan kedua siku di atas meja.

"Apa ada masalah dengan saudari Alexa?"

"Saya tidak yakin apa ini termasuk masalah atau tidak. Tapi apakah pasien penderita amnesia memang memiliki perubahan drastis? Seperti sikap dan kebiasaan?"

"Tentu saja tidak. Pasien amnesia tidak akan mengalami perubahan seperti itu. Ada kemungkinan dia akan mengalami kebingungan karena kehilangan momen-momen tertentu dalam hidupnya atau orang-orang yang tidak ia ingat. Amnesia tidak mempengaruhi sikap atau kebiasaan pasien, hanya keadaan emosi."

Adrian duduk bersandar pada kursi sambil meresap informasi dari dokter yang menangani Alexa sebelumnya. Dokter terus berbicara tentang penyakit amnesia yang dialami Alexa tetapi itu tidak sesuai dengan apa yang dilihat dari adiknya. Alexa benar-benar berubah dan dokter meyakinkan bahwa itu terjadi bukan karena amnesia. Dia bangkit dari kursi dan mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruangan. Adrian berjalan pelan sambil memikirkan semua yang dikatakan dokternya. Adrian bahkan tidak menyadari ke mana langkah kakinya berjalan hingga dia sadar sudah berada di lorong ruangan VIP. Dia berkedip dan hendak berbalik ketika tiba-tiba sebuah pemikiran muncul di kepalanya. Adrian berjalan ke lorong ruangan VIP dan menghampiri ruangan yang pernah ia kunjungi. Dia mengangkat tangannya ragu-ragu tetapi berhasil mengetuk pintu setelah meyakinkan dirinya sendiri. Tidak ada jawaban dari dalam hingga dia mengetuk untuk kedua kalinya. Begitu ia tidak mendapatkan jawaban, Adrian membuka pintu dan mengintip melalui celah pintu. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan. Adrian memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Tidak ada yang berubah, wanita muda yang dia lihat sebelumnya masih terbaring di tempat tidur. Hanya keadaannya semakin membaik, tidak ada luka-luka yang terlihat dari tubuh wanita itu. Jika tidak ada respirator atau peralatan medis lain yang menempel di tubuhnya, orang akan berpikir bahwa wanita itu hanya tertidur.

Adrian menghampiri kursi di sisi ranjang lalu mendudukinya sambil menatap wanita yang masih memejamkan mata. Adrian tidak tahu harus melakukan apa karena dia sendiri tidak berniat untuk datang ke sini sebelumnya. Jadi dia hanya duduk terdiam. Adrian menatap lekat wajah wanita itu. Dia tampak cantik. Kulitnya putih seperti susu dengan bulu mata yang lentik. Rambutnya yang berwarna cokelat tergerai indah di atas bantal. Bibirnya tampak sedikit pucat tetapi menampilkan bibir penuh mungil yang sesuai dengan wajahnya yang berbentuk V. Dan hidung yang mancung. Adrian penasaran apakah wanita ini seorang model karena dia tampak cantik dan indah. Dia terlalu berfokus pada wanita itu tanpa menyadari seseorang memasuki ruangan.

"Siapa kau?"

Sebuah suara pria mengejutkan Adrian yang sedikit terlonjak dari kursi lalu berbalik untuk melihat pria yang pernah ia temui. Dia hendak memberitahu siapa dirinya sebelum pria itu berjalan menghampiri sofa sambil berbicara.

"Ah, bukankah kamu kakak Alexa?"

"Kamu ingat aku?"

"Tentu saja. Jadi apa yang kau lakukan di sini?"

Adrian menggeser kursi sedikit untuk menghadapi pria itu.

"Aku hanya ingin melihat bagaimana perkembangan kesehatannya. Bagaimana juga keluargaku merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya." Jelas Adrian dengan penuh keyakinan.

Pria itu menganggukkan kepalanya dan menawarkan soda kaleng pada Adrian yang diterimanya dengan senang hati. Dia sadar bahwa dia belum memperkenalkan diri jadi dia mengulurkan tangan pada pria itu.

"Namaku Adrian. Aku minta maaf belum memperkenalkan diri sebelumnya."

"Aku Daniel." Ujar Daniel sambil menjabat tangan Adrian.

Keheningan tercipta di antara keduanya ketika mereka meminum soda. Adrian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan untuk menemukan pakaian atau bekas kunjungan sebelumnya tetapi ruangan itu cukup bersih, kecuali bantal dan jaket pada sofa.

"Aku selalu melihatmu di sini seorang diri, apa kau pacar atau..."

"Oh tidak, aku hanya temannya. Meskipun kami lebih dari sekedar teman tapi yang pasti kami bukan pasangan." Ucap Daniel memotong ucapan Adrian.

Adrian mengangguk sebelum mengajukan pertanyaan lagi.

"Di mana keluarganya?"

"Dia yatim piatu, hanya aku dan bos kami yang dia punya. Kamu pasti tahu apa pekerjaan kami bukan? Setelah semua keluargamu menyewa salah satu dari kami."

"Ah iya, aku tahu. Pak Erwin juga menjelaskan kenapa kau tidak bisa ditugaskan untuk sementara ini."

"Omong-omong, bagaimana keadaannya?" tanya Adrian.

"Cedera yang dialaminya sudah sembuh. Secara keseluruhan dia sehat tetapi dia masih belum bangun dari komanya. Aku tidak tahu kapan dia akan bangun tapi aku berharap secepatnya." Jawab Daniel yang menatap wajah wanita itu.

Adrian merasakan kasih sayang pada tatapan Daniel yang diarahkan untuk wanita itu. Dia tidak tahu bagaimana hubungan keduanya karena Daniel mengatakan bahwa mereka bukan pasangan.

"Aku yakin Kay akan mengalami sakit badan yang cukup parah setelah bangun dan dia akan mengomel sepanjang hari." Ucap Daniel sambil terkekeh.

Tiba-tiba Adrian teringat sesuatu ketika nama itu di sebut. Dia ingat ketika Alexa terbangun dari komanya dan menyebut dirinya dengan nama Kaylee. Adrian benar-benar ingat itu sekarang seperti itu baru saja terjadi kemarin. Kepalanya kini berdenyut memikirkan apa hubungan dari keduanya. Apa itu kebetulan?

"S-siapa namanya lagi?" tanya Adrian tergagap.

"Kay. Namanya lengkapnya adalah Kaylee." Ujar Daniel.

Adrian menatap Daniel dengan ekspresi terkejut. Berulang kali dia mengucapkan kata 'tidak mungkin' yang di dengar oleh Daniel. Adrian merasakan bahunya di tepuk beberapa kali oleh Daniel yang kini berada di depannya.

"Ada apa denganmu?" tanya Daniel dengan tatapan heran.

Adrian menarik nafas dalam-dalam. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya tetapi berpikir sekali lagi bahwa itu tidak perlu. Itu bahkan terdengar gila jika dia mengatakan bahwa adiknya mengaku sebagai Kaylee dan mungkin Daniel akan marah. Dia menatap Daniel dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Dia melirik ke arah Kaylee sekali lagi sebelum dia keluar meninggalkan ruangan secepat kilat setelah berpamitan pada Daniel.

Adrian masuk ke dalam mobil dan hanya duduk di belakang kemudi untuk beberapa menit. Matanya menatap kosong tetapi pikirannya berkecamuk. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa adiknya mengaku sebagai Kaylee ketika tersadar dari komanya. Dia sangat yakin bahwa Alexa dan Kaylee tidak pernah bertemu sebelumnya jadi itu cukup aneh dan membingungkan. Tiba-tiba dering ponselnya bergetar yang membuatnya terkejut. Adrian mengambil ponsel di saku celananya dan tertera nama Lily di layar ponsel. Dia mengerutkan kening namun mengangkat panggilan itu.

"Halo, Lily."

"Hai, kak Adrian."

"Iya, kenapa kamu menelepon? Apa kamu tidak sekolah?"

"Aku sudah pulang, guru-guru sedang melakukan rapat jadi tidak ada kegiatan belajar."

"Oh, begitu. Kenapa kamu menelepon? Apa kamu dan Alexa ingin dijemput?"

"Justru itu aku ingin bertanya, apa Alexa baik-baik saja?"

Adrian yang baru saja akan menyalakan mesin mobil menghentikan tindakannya dan hanya diam membeku.

"Apa maksudmu? Kenapa dengan Alexa? Apa dia sakit?" tanya Adrian sedikit panik.

"Kak, harusnya aku yang bertanya. Alexa tidak masuk sekolah hari ini."

"Benarkah? Kalau begitu kakak akan pulang dan memeriksa Alexa. Sampai jumpa, Lily."

Adrian mematikan teleponnya setelah mendapatkan jawaban dari Lily dan mulai menjalankan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Adrian sengaja tidak memberitahu orang tuanya soal kejadian yang menimpanya dan Alexa. Dia hanya menghubungi pak Erwin untuk menyewa salah satu anggota untuk menjaga Alexa. Untungnya jalanan tidak terlalu macet sehingga dia sampai di rumah orang tuanya dengan cepat. Setelah memarkirkan mobilnya, dia berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi bu Rina yang pasti menunggunya pulang di apartemen. Kepala asisten rumah tangga itu benar-benar bersikeras untuk ikut dengannya ke apartemen dan merawatnya seperti anak kecil. Sebelum dia menekan tombol panggilan, dia melihat seorang pria bersandar pada mobil milik Alexa. Pria berusia 25 tahun itu merupakan pengawal yang disewanya dari Red Moon. Pria itu mendongak dan berdiri tegak sebelum mengangguk kepalanya sebagai tanda hormat ketika Andrian berjalan menghampirinya.

"Apa Alexa tidak berangkat sekolah hari ini?" tanya Adrian.

"Maaf, tuan. Saya bahkan belum bertemu dengan nona Alexa." Ujar pria itu tampak bingung.

"Apa maksudmu?"

"Ketika saya datang, tukang kebun bilang bahwa nona sudah berangkat dengan orang suruhanmu."

"A-apa? Aku tidak menyuruh siapa pun selain kamu. Ya Tuhan apa yang terjadi."

Adrian berlari masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh pengawal tadi. Begitu dia bertemu dengan Marni, dia bertanya keberadaan Alexa. Marni mengatakan bahwa Alexa berangkat ke sekolah dan belum pulang. Saat itu juga Adrian tahu ada yang salah. Dia meminta Marni untuk mengumpulkan seluruh asisten rumah tangga serta tukang kebun dan penjaga keamanan untuk berkumpul. Dia meminta pengawal untuk menghubungi polisi yang dilakukannya segera. Adrian berjalan mondar-mandir hingga dia memutuskan untuk menghubungi orang tuanya.

Beberapa petugas kepolisian sibuk mempertanyakan tukang kebun dan penjaga keamanan yang melihat kepergian Alexa dengan laki-laki yang mengaku menjadi suruhan Adrian. Ada juga petugas yang sedang mengecek rekaman CCTV tetapi sayangnya mereka tidak melihat wajah pelaku karena tertutup topi yang dipakainya. Adrian melihat beberapa petugas mencoba melacak nomor mobil yang tertangkap kamera sedangkan Adrian berusaha menghubungi nomor Alexa yang hanya tersambung ke pesan suara. Adrian mengacak-acak rambutnya karena frustrasi lalu menunduk dengan menopangkan kepalanya. Perasaan bersalah menyelimutinya. Jika dia tidak menghindari Alexa, adiknya akan baik-baik saja. Jika dia tidak sibuk menganalisis tentang perasaannya yang membingungkan, hal ini tidak akan terjadi. Kata-kata 'jika' itu terus-menerus berputar di kepalanya. Adrian mendongak ketika ia merasa seseorang memeluknya dari samping, yang rupanya bu Rina yang melakukannya. Bu Rina tersenyum sedih padanya dan mengusap punggungnya dengan lembut. Tanpa ia sadari, air mata mengalir ke pipinya. Dia memeluk bu Rina yang masih ikut menangis.

"Permisi, pak. Kami harus segera kembali ke kantor. Kami akan menghubungi jika ada perkembangan. Jangan khawatir, kami akan melakukan tindakan terbaik kami." Ucap salah satu petugas yang sedikit berjongkok di depan Adrian.

Adrian melepaskan pelukan bu Rina untuk menoleh ke arah petugas dan memberikan jawaban dengan menganggukkan kepalanya. Dia melihat beberapa petugas kepolisian keluar dari rumahnya. Adrian melihat Marni yang terduduk lemas di lantai sambil terisak-isak. Marni sangat dekat dengan Alexa jadi wajar baginya melihat kesedihan di wajah Marni.

"Sebaiknya tuan muda beristirahat sebentar, ini sudah larut. Tuan dan nyonya akan berada di sini besok pagi." Jelas bu Rina dengan suara bergetar.

Adrian menggelengkan kepala, berusaha menolak. Tetapi bu Rina bersikeras dan membimbing Adrian yang masih terisak ke dalam kamarnya. Begitu dia masuk ke dalam kamar, dia hanya terduduk lemas di tepi tempat tidur dengan bu Rina di sampingnya.

"Ini semua salahku." Ujar Adrian di sela tangisannya.

"Tidak, tuan, ini bukan salah tuan muda."

"Kau tidak mengerti, bu Rina. Jika aku tidak menghindari Alexa, ini semua tidak akan terjadi. Aku benar-benar menyesal." Ujar Adrian lemah dan kembali menangis.

Tidak ada kata-kata yang diucapkan oleh bu Rina. Dia hanya menggosok punggung Adrian dengan lembut untuk menenangkannya. Setelah beberapa menit, bu Rina mengatakan sesuatu yang tidak terduga.

"Ibu harap, dia menyelamatkan nona Alexa." Ujar bu Rina dengan tatapan kosong ke arah dinding.

Adrian mendongak dan melihat bu Rina dengan tatapan bingung.

"Dia siapa?" tanya Adrian.

Bu Rina menoleh dan menatap Adrian.

"Seseorang atau sesuatu yang menempati tubuh nona Alexa." Ujar bu Rina datar.

Adrian terkejut. Mereka hanya saling menatap dalam diam sebelum bu Rina menjelaskan ucapannya.

"Ibu tahu mungkin ini terdengar gila atau aneh tetapi sejak nona Alexa bangun dari koma dia mulai berubah. Apa tuan muda pernah mendengar bahwa ibu memiliki mata batin yang peka?" tanya bu Rina.

Adrian mengangguk. Dia ingat ibunya pernah bercerita tentang kemampuan bu Rina pada saat Alexa masih kecil. Alexa kecil menangis terus-menerus dan mulai berhenti ketika bu Rina mengusir 'sesuatu' yang menganggu Alexa.

"Ketika ibu melihat nona Alexa, entah bagaimana ibu melihat sosok yang berbeda. Ibu tidak tahu bagaimana menjelaskannya tetapi beberapa kali ibu melihat wajah nona Alexa berubah. Itu sebabnya ibu yakin bahwa sesuatu menggunakan tubuh nona Alexa." Jelas bu Rina.

"Kenapa ibu Rina tidak bilang?"

"Ibu takut tidak ada yang percaya. Dia berpura-pura menjadi nona Alexa dengan sangat baik jadi tuan dan nyonya tidak curiga. Apa tuan muda juga curiga? Itu sebabnya tuan muda menghindari nona?"

"Aku memang merasa Alexa berubah drastis. Itu sebabnya aku bertanya pada dokter yang menangani Alexa untuk mempertanyakan perubahannya tetapi itu bukan alasan aku menghindari Alexa."

"Lalu kenapa?"

Adrian melirik ke arah bu Rina yang menatapnya bingung. Dia ragu-ragu untuk menceritakannya tetapi hanya bu Rina yang mengetahui situasi ini. Dia membersihkan tenggorokannya untuk menghilangkan kegugupannya yang mendadak.

"Aku...ya.. Itu karena aku ehm... merasa menyukainya." Jawab Adrian sambil mengalihkan pandangannya.

Bu Rina tidak merespon dan hanya menatap Adrian dengan wajah datar. Adrian bergeser tidak nyaman di bawah tatapan bu Rina.

"Maksudnya, tuan muda menyukai nona Alexa? Bukan nona Alexa, tapi sosok yang ada di tubuh nona Alexa?" tanya bu Rina untuk memperjelas.

Adrian menatap bu Rina sebelum mengangguk lemah. Dia menunduk sambil menghela nafas. Adrian tahu ucapannya terdengar tidak masuk akal tetapi itulah yang terjadi. Dia merasakan tangan bu Rina menggenggam tangannya.

"Tolong jangan mendalami perasaan itu, tuan muda. Kita tidak tahu sosok apa yang berada dalam tubuh nona Alexa." Pinta bu Rina dengan lemah.

Adrian hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lemah. Dia bisa menebak siapa sosok yang ada di tubuh Alexa meski dia tidak yakin sepenuhnya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah bu Rina meninggalkannya sendiri setelah berjanji untuk mencari jalan keluar saat Alexa kembali. Sebelum tidur mengambil alih, Adrian berharap adiknya kembali pulang dengan selamat.

Kay menatap kursi kosong ruang makan yang cukup besar lalu menghela nafas. Saat ini dia sedang memakan sarapannya sendirian karena orang tua Alexa masih berada di luar kota dan Adrian kembali ke apartemennya setelah lukanya sudah membaik. Entah perasaannya saja atau memang kenyataannya Adrian menghindarinya karena alasan yang tidak diketahui oleh Kay. Sejauh yang dia tahu, mereka berdua mulai dekat dan berbicara banyak hal. Perubahan mendadak Adrian terjadi dua hari yang lalu dan memutuskan untuk kembali ke apartemennya dengan membawa bu Rina untuk merawatnya. Kay tidak ingin membuat Adrian semakin tidak nyaman jadi dia membiarkan dan tidak mempertanyakannya.

Dia menghabiskan kopinya dengan sekali teguk dan bangkit dari kursi untuk berangkat ke sekolah. Kay melihat sebuah mobil terparkir di depan dengan seseorang yang tidak di kenalnya. Dia bertanya pada pria yang tampak seusianya dan pria itu menjawab bahwa Adrian yang menyewanya. Pria itu membukakan pintu mobil dan mengendarai dengan kecepatan sedang menuju sekolah. Kay menatap keluar jendela dengan pikiran kosong. Tiba-tiba dia teringat dengan Adrian. Benar, dia sangat khawatir dengan Adrian yang terluka tapi jika dia boleh jujur, Kay mulai tertarik pada Adrian. Dia adalah lelaki yang baik dan perhatian. Kay mendengus sambil menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Sebanyak apa pun aku menyukainya, aku tidak akan melibatkannya dalam hidupku, pikir Kay.

Pikirannya terputus ketika mobil berhenti. Kay menoleh ke sekelilingnya dan menyadari bahwa mobil berhenti di tempat pengisian bensin. Dia melihat sopir itu keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa. Kay menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menutup kedua matanya. Dia membuka matanya ketika mendengar pintu mobil terbuka dan menoleh ke arah sopir bergerak masuk ke tempatnya duduk. Kay mengernyitkan dahinya.

"Apa yang kau..."

Sebelum Kay menyelesaikan kalimatnya, sopir itu menjepit tubuhnya sambil membekap mulut dengan tangan kirinya. Tiba-tiba Kay merasakan sengatan dia tangan kirinya. Dia menoleh dan mendapati bahwa lelaki itu telah menyuntikan sesuatu ke tubuhnya. Kay berusaha memberontak tapi tubuhnya terasa lemah dan pandangannya mulai kabur.

Adrian yang kini duduk di lorong rumah sakit sedang mengantre panggilan dokter. Lukanya sudah mulai membaik namun dokter pribadinya mengatakan bahwa dia tetap harus memeriksanya. Dia bisa saja memanggil dokter pribadinya tetapi Adrian memiliki rencana sendiri sehingga dia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Begitu namanya dipanggil, dia masuk ke dalam ruang dokter. Setelah pemeriksaan, dia berjalan di lorong rumah sakit yang cukup sibuk. Adrian berhenti di depan ruangan dan mengetuknya dengan pelan. Begitu dia mendengar jawaban dari dalam ruangan, Adrian membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter lelaki paruh baya menyambutnya dengan senyuman hangat lalu mempersilakannya untuk duduk.

"Saya cukup terkejut mendapatkan telepon dari pak Adrian yang ingin bertemu dengan saya. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter itu.

"Ah, saya minta maaf mengambil waktu sibukmu, dok. Tapi ini berkaitan dengan adik saya, atas nama Alexa." Jelas Adrian yang menyandarkan kedua siku di atas meja.

"Apa ada masalah dengan saudari Alexa?"

"Saya tidak yakin apa ini termasuk masalah atau tidak. Tapi apakah pasien penderita amnesia memang memiliki perubahan drastis? Seperti sikap dan kebiasaan?"

"Tentu saja tidak. Pasien amnesia tidak akan mengalami perubahan seperti itu. Ada kemungkinan dia akan mengalami kebingungan karena kehilangan momen-momen tertentu dalam hidupnya atau orang-orang yang tidak ia ingat. Amnesia tidak mempengaruhi sikap atau kebiasaan pasien, hanya keadaan emosi."

Adrian duduk bersandar pada kursi sambil meresap informasi dari dokter yang menangani Alexa sebelumnya. Dokter terus berbicara tentang penyakit amnesia yang dialami Alexa tetapi itu tidak sesuai dengan apa yang dilihat dari adiknya. Alexa benar-benar berubah dan dokter meyakinkan bahwa itu terjadi bukan karena amnesia. Dia bangkit dari kursi dan mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruangan. Adrian berjalan pelan sambil memikirkan semua yang dikatakan dokternya. Adrian bahkan tidak menyadari ke mana langkah kakinya berjalan hingga dia sadar sudah berada di lorong ruangan VIP. Dia berkedip dan hendak berbalik ketika tiba-tiba sebuah pemikiran muncul di kepalanya. Adrian berjalan ke lorong ruangan VIP dan menghampiri ruangan yang pernah ia kunjungi. Dia mengangkat tangannya ragu-ragu tetapi berhasil mengetuk pintu setelah meyakinkan dirinya sendiri. Tidak ada jawaban dari dalam hingga dia mengetuk untuk kedua kalinya. Begitu ia tidak mendapatkan jawaban, Adrian membuka pintu dan mengintip melalui celah pintu. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan. Adrian memberanikan diri untuk melangkah masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Tidak ada yang berubah, wanita muda yang dia lihat sebelumnya masih terbaring di tempat tidur. Hanya keadaannya semakin membaik, tidak ada luka-luka yang terlihat dari tubuh wanita itu. Jika tidak ada respirator atau peralatan medis lain yang menempel di tubuhnya, orang akan berpikir bahwa wanita itu hanya tertidur.

Adrian menghampiri kursi di sisi ranjang lalu mendudukinya sambil menatap wanita yang masih memejamkan mata. Adrian tidak tahu harus melakukan apa karena dia sendiri tidak berniat untuk datang ke sini sebelumnya. Jadi dia hanya duduk terdiam. Adrian menatap lekat wajah wanita itu. Dia tampak cantik. Kulitnya putih seperti susu dengan bulu mata yang lentik. Rambutnya yang berwarna cokelat tergerai indah di atas bantal. Bibirnya tampak sedikit pucat tetapi menampilkan bibir penuh mungil yang sesuai dengan wajahnya yang berbentuk V. Dan hidung yang mancung. Adrian penasaran apakah wanita ini seorang model karena dia tampak cantik dan indah. Dia terlalu berfokus pada wanita itu tanpa menyadari seseorang memasuki ruangan.

"Siapa kau?"

Sebuah suara pria mengejutkan Adrian yang sedikit terlonjak dari kursi lalu berbalik untuk melihat pria yang pernah ia temui. Dia hendak memberitahu siapa dirinya sebelum pria itu berjalan menghampiri sofa sambil berbicara.

"Ah, bukankah kamu kakak Alexa?"

"Kamu ingat aku?"

"Tentu saja. Jadi apa yang kau lakukan di sini?"

Adrian menggeser kursi sedikit untuk menghadapi pria itu.

"Aku hanya ingin melihat bagaimana perkembangan kesehatannya. Bagaimana juga keluargaku merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya." Jelas Adrian dengan penuh keyakinan.

Pria itu menganggukkan kepalanya dan menawarkan soda kaleng pada Adrian yang diterimanya dengan senang hati. Dia sadar bahwa dia belum memperkenalkan diri jadi dia mengulurkan tangan pada pria itu.

"Namaku Adrian. Aku minta maaf belum memperkenalkan diri sebelumnya."

"Aku Daniel." Ujar Daniel sambil menjabat tangan Adrian.

Keheningan tercipta di antara keduanya ketika mereka meminum soda. Adrian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan untuk menemukan pakaian atau bekas kunjungan sebelumnya tetapi ruangan itu cukup bersih, kecuali bantal dan jaket pada sofa.

"Aku selalu melihatmu di sini seorang diri, apa kau pacar atau..."

"Oh tidak, aku hanya temannya. Meskipun kami lebih dari sekedar teman tapi yang pasti kami bukan pasangan." Ucap Daniel memotong ucapan Adrian.

Adrian mengangguk sebelum mengajukan pertanyaan lagi.

"Di mana keluarganya?"

"Dia yatim piatu, hanya aku dan bos kami yang dia punya. Kamu pasti tahu apa pekerjaan kami bukan? Setelah semua keluargamu menyewa salah satu dari kami."

"Ah iya, aku tahu. Pak Erwin juga menjelaskan kenapa kau tidak bisa ditugaskan untuk sementara ini."

"Omong-omong, bagaimana keadaannya?" tanya Adrian.

"Cedera yang dialaminya sudah sembuh. Secara keseluruhan dia sehat tetapi dia masih belum bangun dari komanya. Aku tidak tahu kapan dia akan bangun tapi aku berharap secepatnya." Jawab Daniel yang menatap wajah wanita itu.

Adrian merasakan kasih sayang pada tatapan Daniel yang diarahkan untuk wanita itu. Dia tidak tahu bagaimana hubungan keduanya karena Daniel mengatakan bahwa mereka bukan pasangan.

"Aku yakin Kay akan mengalami sakit badan yang cukup parah setelah bangun dan dia akan mengomel sepanjang hari." Ucap Daniel sambil terkekeh.

Tiba-tiba Adrian teringat sesuatu ketika nama itu di sebut. Dia ingat ketika Alexa terbangun dari komanya dan menyebut dirinya dengan nama Kaylee. Adrian benar-benar ingat itu sekarang seperti itu baru saja terjadi kemarin. Kepalanya kini berdenyut memikirkan apa hubungan dari keduanya. Apa itu kebetulan?

"S-siapa namanya lagi?" tanya Adrian tergagap.

"Kay. Namanya lengkapnya adalah Kaylee." Ujar Daniel.

Adrian menatap Daniel dengan ekspresi terkejut. Berulang kali dia mengucapkan kata 'tidak mungkin' yang di dengar oleh Daniel. Adrian merasakan bahunya di tepuk beberapa kali oleh Daniel yang kini berada di depannya.

"Ada apa denganmu?" tanya Daniel dengan tatapan heran.

Adrian menarik nafas dalam-dalam. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya tetapi berpikir sekali lagi bahwa itu tidak perlu. Itu bahkan terdengar gila jika dia mengatakan bahwa adiknya mengaku sebagai Kaylee dan mungkin Daniel akan marah. Dia menatap Daniel dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Dia melirik ke arah Kaylee sekali lagi sebelum dia keluar meninggalkan ruangan secepat kilat setelah berpamitan pada Daniel.

Adrian masuk ke dalam mobil dan hanya duduk di belakang kemudi untuk beberapa menit. Matanya menatap kosong tetapi pikirannya berkecamuk. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa adiknya mengaku sebagai Kaylee ketika tersadar dari komanya. Dia sangat yakin bahwa Alexa dan Kaylee tidak pernah bertemu sebelumnya jadi itu cukup aneh dan membingungkan. Tiba-tiba dering ponselnya bergetar yang membuatnya terkejut. Adrian mengambil ponsel di saku celananya dan tertera nama Lily di layar ponsel. Dia mengerutkan kening namun mengangkat panggilan itu.

"Halo, Lily."

"Hai, kak Adrian."

"Iya, kenapa kamu menelepon? Apa kamu tidak sekolah?"

"Aku sudah pulang, guru-guru sedang melakukan rapat jadi tidak ada kegiatan belajar."

"Oh, begitu. Kenapa kamu menelepon? Apa kamu dan Alexa ingin dijemput?"

"Justru itu aku ingin bertanya, apa Alexa baik-baik saja?"

Adrian yang baru saja akan menyalakan mesin mobil menghentikan tindakannya dan hanya diam membeku.

"Apa maksudmu? Kenapa dengan Alexa? Apa dia sakit?" tanya Adrian sedikit panik.

"Kak, harusnya aku yang bertanya. Alexa tidak masuk sekolah hari ini."

"Benarkah? Kalau begitu kakak akan pulang dan memeriksa Alexa. Sampai jumpa, Lily."

Adrian mematikan teleponnya setelah mendapatkan jawaban dari Lily dan mulai menjalankan mobilnya menuju rumah orang tuanya. Adrian sengaja tidak memberitahu orang tuanya soal kejadian yang menimpanya dan Alexa. Dia hanya menghubungi pak Erwin untuk menyewa salah satu anggota untuk menjaga Alexa. Untungnya jalanan tidak terlalu macet sehingga dia sampai di rumah orang tuanya dengan cepat. Setelah memarkirkan mobilnya, dia berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya. Dia mengambil ponsel untuk menghubungi bu Rina yang pasti menunggunya pulang di apartemen. Kepala asisten rumah tangga itu benar-benar bersikeras untuk ikut dengannya ke apartemen dan merawatnya seperti anak kecil. Sebelum dia menekan tombol panggilan, dia melihat seorang pria bersandar pada mobil milik Alexa. Pria berusia 25 tahun itu merupakan pengawal yang disewanya dari Red Moon. Pria itu mendongak dan berdiri tegak sebelum mengangguk kepalanya sebagai tanda hormat ketika Andrian berjalan menghampirinya.

"Apa Alexa tidak berangkat sekolah hari ini?" tanya Adrian.

"Maaf, tuan. Saya bahkan belum bertemu dengan nona Alexa." Ujar pria itu tampak bingung.

"Apa maksudmu?"

"Ketika saya datang, tukang kebun bilang bahwa nona sudah berangkat dengan orang suruhanmu."

"A-apa? Aku tidak menyuruh siapa pun selain kamu. Ya Tuhan apa yang terjadi."

Adrian berlari masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh pengawal tadi. Begitu dia bertemu dengan Marni, dia bertanya keberadaan Alexa. Marni mengatakan bahwa Alexa berangkat ke sekolah dan belum pulang. Saat itu juga Adrian tahu ada yang salah. Dia meminta Marni untuk mengumpulkan seluruh asisten rumah tangga serta tukang kebun dan penjaga keamanan untuk berkumpul. Dia meminta pengawal untuk menghubungi polisi yang dilakukannya segera. Adrian berjalan mondar-mandir hingga dia memutuskan untuk menghubungi orang tuanya.

Beberapa petugas kepolisian sibuk mempertanyakan tukang kebun dan penjaga keamanan yang melihat kepergian Alexa dengan laki-laki yang mengaku menjadi suruhan Adrian. Ada juga petugas yang sedang mengecek rekaman CCTV tetapi sayangnya mereka tidak melihat wajah pelaku karena tertutup topi yang dipakainya. Adrian melihat beberapa petugas mencoba melacak nomor mobil yang tertangkap kamera sedangkan Adrian berusaha menghubungi nomor Alexa yang hanya tersambung ke pesan suara. Adrian mengacak-acak rambutnya karena frustrasi lalu menunduk dengan menopangkan kepalanya. Perasaan bersalah menyelimutinya. Jika dia tidak menghindari Alexa, adiknya akan baik-baik saja. Jika dia tidak sibuk menganalisis tentang perasaannya yang membingungkan, hal ini tidak akan terjadi. Kata-kata 'jika' itu terus-menerus berputar di kepalanya. Adrian mendongak ketika ia merasa seseorang memeluknya dari samping, yang rupanya bu Rina yang melakukannya. Bu Rina tersenyum sedih padanya dan mengusap punggungnya dengan lembut. Tanpa ia sadari, air mata mengalir ke pipinya. Dia memeluk bu Rina yang masih ikut menangis.

"Permisi, pak. Kami harus segera kembali ke kantor. Kami akan menghubungi jika ada perkembangan. Jangan khawatir, kami akan melakukan tindakan terbaik kami." Ucap salah satu petugas yang sedikit berjongkok di depan Adrian.

Adrian melepaskan pelukan bu Rina untuk menoleh ke arah petugas dan memberikan jawaban dengan menganggukkan kepalanya. Dia melihat beberapa petugas kepolisian keluar dari rumahnya. Adrian melihat Marni yang terduduk lemas di lantai sambil terisak-isak. Marni sangat dekat dengan Alexa jadi wajar baginya melihat kesedihan di wajah Marni.

"Sebaiknya tuan muda beristirahat sebentar, ini sudah larut. Tuan dan nyonya akan berada di sini besok pagi." Jelas bu Rina dengan suara bergetar.

Adrian menggelengkan kepala, berusaha menolak. Tetapi bu Rina bersikeras dan membimbing Adrian yang masih terisak ke dalam kamarnya. Begitu dia masuk ke dalam kamar, dia hanya terduduk lemas di tepi tempat tidur dengan bu Rina di sampingnya.

"Ini semua salahku." Ujar Adrian di sela tangisannya.

"Tidak, tuan, ini bukan salah tuan muda."

"Kau tidak mengerti, bu Rina. Jika aku tidak menghindari Alexa, ini semua tidak akan terjadi. Aku benar-benar menyesal." Ujar Adrian lemah dan kembali menangis.

Tidak ada kata-kata yang diucapkan oleh bu Rina. Dia hanya menggosok punggung Adrian dengan lembut untuk menenangkannya. Setelah beberapa menit, bu Rina mengatakan sesuatu yang tidak terduga.

"Ibu harap, dia menyelamatkan nona Alexa." Ujar bu Rina dengan tatapan kosong ke arah dinding.

Adrian mendongak dan melihat bu Rina dengan tatapan bingung.

"Dia siapa?" tanya Adrian.

Bu Rina menoleh dan menatap Adrian.

"Seseorang atau sesuatu yang menempati tubuh nona Alexa." Ujar bu Rina datar.

Adrian terkejut. Mereka hanya saling menatap dalam diam sebelum bu Rina menjelaskan ucapannya.

"Ibu tahu mungkin ini terdengar gila atau aneh tetapi sejak nona Alexa bangun dari koma dia mulai berubah. Apa tuan muda pernah mendengar bahwa ibu memiliki mata batin yang peka?" tanya bu Rina.

Adrian mengangguk. Dia ingat ibunya pernah bercerita tentang kemampuan bu Rina pada saat Alexa masih kecil. Alexa kecil menangis terus-menerus dan mulai berhenti ketika bu Rina mengusir 'sesuatu' yang menganggu Alexa.

"Ketika ibu melihat nona Alexa, entah bagaimana ibu melihat sosok yang berbeda. Ibu tidak tahu bagaimana menjelaskannya tetapi beberapa kali ibu melihat wajah nona Alexa berubah. Itu sebabnya ibu yakin bahwa sesuatu menggunakan tubuh nona Alexa." Jelas bu Rina.

"Kenapa ibu Rina tidak bilang?"

"Ibu takut tidak ada yang percaya. Dia berpura-pura menjadi nona Alexa dengan sangat baik jadi tuan dan nyonya tidak curiga. Apa tuan muda juga curiga? Itu sebabnya tuan muda menghindari nona?"

"Aku memang merasa Alexa berubah drastis. Itu sebabnya aku bertanya pada dokter yang menangani Alexa untuk mempertanyakan perubahannya tetapi itu bukan alasan aku menghindari Alexa."

"Lalu kenapa?"

Adrian melirik ke arah bu Rina yang menatapnya bingung. Dia ragu-ragu untuk menceritakannya tetapi hanya bu Rina yang mengetahui situasi ini. Dia membersihkan tenggorokannya untuk menghilangkan kegugupannya yang mendadak.

"Aku...ya.. Itu karena aku ehm... merasa menyukainya." Jawab Adrian sambil mengalihkan pandangannya.

Bu Rina tidak merespon dan hanya menatap Adrian dengan wajah datar. Adrian bergeser tidak nyaman di bawah tatapan bu Rina.

"Maksudnya, tuan muda menyukai nona Alexa? Bukan nona Alexa, tapi sosok yang ada di tubuh nona Alexa?" tanya bu Rina untuk memperjelas.

Adrian menatap bu Rina sebelum mengangguk lemah. Dia menunduk sambil menghela nafas. Adrian tahu ucapannya terdengar tidak masuk akal tetapi itulah yang terjadi. Dia merasakan tangan bu Rina menggenggam tangannya.

"Tolong jangan mendalami perasaan itu, tuan muda. Kita tidak tahu sosok apa yang berada dalam tubuh nona Alexa." Pinta bu Rina dengan lemah.

Adrian hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lemah. Dia bisa menebak siapa sosok yang ada di tubuh Alexa meski dia tidak yakin sepenuhnya. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah bu Rina meninggalkannya sendiri setelah berjanji untuk mencari jalan keluar saat Alexa kembali. Sebelum tidur mengambil alih, Adrian berharap adiknya kembali pulang dengan selamat.