"Bagaimana kalau kamu hamil? kita nggak memakai pengaman?" tanya William khawatir. Dia belum siap menikah namun hasratnya tidak bisa dikontrol saat melihat dan merasakan reaksi tubuh Beatrice.
"Nggak apa-apa. Banyak teman-temanku yang sudah melakukannya tanpa pernikahan. Aku yakin kalau aku nggak akan hamil."
"Tapi…."
"Will, kita berdua nggak saling mencintai. Ini hanya kesalahan karena suasana hati kita berdua lagi nggak baik-baik saja. Aku nggak mau menikah karena aku masih fokus membangun karier," sahut Bea.
Itu hanyalah alasan yang keluar dari mulut Beatrice. Dalam hati dia terluka namun dia tidak bisa menuntut apapun pada William. Bea sangat mencintai William tetapi dia bertekad tidak akan mau menikah dengan laki-laki yang tak pernah mencintainya.
"Aku takut kamu hamil, Bea."
"Aku nggak mungkin hamil, Will."
"Kenapa kamu sangat yakin?"
Percintaan panas mereka justru diakhiri perdebatan. William ingin bertanggung jawab namun sejujurnya dia belum siap sementara Beatrice tidak akan mempertaruhkan masa depannya kepada laki-laki yang tidak pernah mencintainya.
"Karena aku PCOS," sahut Beatrice penuh amarah.
"PCOS? Apa itu?"
"Kamu nggak akan ngerti. Lebih baik lupakan kejadian pagi ini. Aku nggak akan mengganggu ketenanganmu hanya karena kesalahan satu malam."
Beatrice membungkus tubuhnya dalam selimut. "Sebentar lagi kurir akan mengantar pakaian untuk kita. Aku membelinya di toko online," terang Bea. Benar saja. Tidak lama kemudian bell pintu kamar berbunyi.
William membuka pintu dan menerima paper bag dari seorang kurir toko pakaian. "Terima kasih," ucapnya.
Beatrice Menahan rasa perih di bagian bawahnya. Dia ingin membersihkan tubuhnya agar peluh dan aroma tubuh William lepas dari tubuhnya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati Bea membuat wanita ingin berendam di dalam bathtub.
"Aku akan membantumu," ucap William tatkala Beatrice menggigit bibir bawahnya karena kesakitan.
"Nggak perlu! Aku bisa sendiri."
Beatrice mengambil paper bag dari tangan William lalu masuk kamar mandi. "Dasar gadis keras kepala!" gumam William.
William duduk di kursi lalu menatap wajahnya di cermin. "Bagaimana kalau dia hamil? kenapa aku nggak bisa menahan diriku? Dia bukan seperti perempuan-perempuan yang sering aku kencani saat di Amerika. Apa yang harus aku lakukan?"
William sangat menyesal. Baru kali ini dia merasa terpukul karena meniduri wanita. "Kenapa dia nggak mau menikah denganku? Apa aku kurang tampan untuk menjadi suaminya?"
Mendadak penolakan Beatrice menghancurkan rasa percaya diri William. "Aku sudah menidurinya tapi kenapa dia menolakku?"
Berbagai pertanyaan muncul di kepala William. Beatrice memang bukan tipe wanitanya namun dia tidak menyangka jika gadis bodoh itu akan menolaknya.
Setelah William dan Beatrice membersihkan tubuh mereka, keduanya memutuskan kembali ke rumah. Sebelum keluar dari mobil, Bea melihat ke samping.
"Ada apa lagi? apa kamu berubah pikiran?" tanya William. Dia sudah berusaha ingin bertanggung jawab tetapi gadis bodoh itu menolaknya.
"Aku hanya mau memastikan kalau kamu nggak akan menceritakan apapun pada keluargaku. Aku takut orangtua kita akan membunuhmu."
"Iya-iya. Lakukan saja apa maumu."
William dan Beatrice masuk ke rumah dan kedatangan mereka disambut oleh Shifa. "Kalian menginap di mana? Mama mengetuk kamarmu tapi kosong," tanya Shifa. Saat di hotel, dia memanggil putrinya untuk sarapan tetapi Shifa hanya menemukan kamar kosong.
"Mama pasti ngerti. Aku harus menemani William," sahut Bea. Shifa pun tidak bertanya lagi. Sebenarnya dia merasa kasihan pada William namun tidak mungkin mengorbankan kebahagiaan putra sulungnya hanya karena obsesi pemuda itu terhadap menantunya.
"Aku capek, Ma. Aku mau langsung ke kamar," ucap Bea, lalu meninggalkan William dan Shifa yang masih berdiri di tempatnya.
"Ada apa, Will? Kenapa wajah Bea nggak seceria biasanya."
"Mungkin dia lelah, Aunty. Aku juga mau ke kamar."
Di dalam kamar, Beatrice merutuki dirinya. "Aku nggak mungkin hamil. Dokter sudah mengatakan kalau sel telurku lemah. Mana mungkin aku hamil hanya karena sekali bercinta. Iya, aku harus yakin. Lebih baik aku nggak perawan daripada harus menikah dengan laki-laki yang cinta mati pada kakak iparku."
William hendak kembali ke villa mewah milik keluarganya yang ada di Bali. Sejak dua hari yang lalu mereka menginap di rumah Wynn, tetapi sekarang dia membutuhkan waktu untuk sendirian. Percintaannya dengan Beatrice sangat mengganggu pikirannya apalagi wanita keras kepala itu tidak mau menikah dengannya.
"Kenapa kamu menginap di villa, Will? Banyak kamar kosong di sini," tanya Shifa namun pertanyaannya mendapat balasan sentuhan dari Mark. Sang suami mengusap punggungnya agar dia mencoba mengerti posisi William yang patah hati setelah menyaksikan pernikahan anak mereka.
"Aku mau sendirian saja, Aunty."
"Baiklah. Istirahatlah di villa orangtuamu. Jangan memikirkan sesuatu yang membuatmu terluka. Aunty yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu."
"Terima kasih, Aunty."
Sejak kepulangan mereka dari hotel, William belum bertemu dengan Beatrice lagi. Wanita itu mengurung diri di kamar karena lelah. William berpikir jika Bea meratapi nasibnya namun ternyata wanita itu sedang tidur nyenyak sambil memeluk guling.
"Maafkan aku, Bea." William berkata dalam hati.
***
Sudah dua hari William tinggal di villa. Dia harus kembali ke Jakarta karena pasti banyak pekerjaan yang sudah menantinya di sana. Sebelum ke bandara dia harus mampir ke rumah Wynn karena orangtuanya masih ada di sana.
"Pelayan sudah menyiapkan makan siang untuk kita. Kamu harus makan sebelum berangkat," ucap Shifa. Dia menautkan tangan di lengan William agar pemuda itu tidak menolak ajakannya.
Dari dulu William memang tidak pernah bisa menolak permintaan Shifa. Untung saja jadwal keberangkatannya masih lama.
Beatrice keluar dari kamar. Dia tidak tahu jika William kembali ke rumahnya. "Kenapa dia ada di sini?" ucap Beatrice dalam hati. Sungguh penyatuan tubuh mereka membuat Bea enggan bertemu dengan pemuda itu. Berbagai perasaan memenuhi hati Beatrice. Dia menyesal, malu, dan risih jika membayangkan kejadian dua hari yang lalu saat mereka berada di kamar hotel.
"Kemari, Nak! Kamu pasti tahu kalau hari ini William pulang ke Jakarta. Kamu mau mengantarnya ke bandara, kan?" Shifa mengajak putri bungsunya bergabung di meja makan lalu bertanya.
"Aku sibuk, Ma. Aku banyak kerjaan di butik," sahut Beatrice tanpa mau memandang William. Sungguh dia sangat malu dan merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menolak sentuhan William saat di hotel. Kehangatan ciuman William sudah membuatnya gila sampai tidak bisa tidur.
"Benarkah?" Shifa terlihat kecewa. Sebenarnya dia ingin mengantar namun mereka masih memiliki urusan lain. "Mama nggak tega kalau William berangkat naik taxi," ucapnya kemudian.
Tidak lama, Asher dan Zelda pun keluar dari kamar. Mereka bergabung di meja makan karena perut sudah memaksa agar segera diisi makanan.
"Daddy dan Mommy masih ingin di Bali. Kamu bisa handle perusahaan, kan? Yohan akan membantumu," ucap Asher pada William. Dia dan Zelda sengaja tidak pulang agar putra sulung mereka lebih serius mengurus perusahaan.
"Iya, Dad." William menjawab malas. Sungguh penolakan dan percintaannya dengan Beatrice sudah merusak suasana hatinya.