webnovel

LELE GORENG

William bertanya-tanya karena dia tidak melihat Wynn dan Nasya. Dia ingin bertanya namun pertanyaannya hanya akan mendapatkan ribuan belas kasihan dari keluarganya. Dia tidak mau dikasihani lagi karena kisah percintaan yang menyedihkan.

Zelda menggenggam tangan William. "Mommy tahu kamu pasti bisa menjadi direktur perusahaan. Mommy selalu ada pihakmu," ucap Zelda menenangkan putranya.

"Thanks, Mom."

Mereka menyelesaikan makan siang sambil bertukar cerita namun Beatrice bisa melihat kesedihan di wajah William meskipun pemuda itu berusaha menutupinya.

"Aku akan mengantar Will ke bandara," ucap Bea membuat orangtuanya dan William terhenyak karena sebelumnya Beatrice sudah menolak.

"Kamu yakin? Bukannya kamu sibuk?"

"Sebenarnya nggak terlalu sibuk. Aku masih bisa menundanya."

"Baguslah. William pasti senang kalau kamu yang mengantarnya ke Bandara."

Sepanjang jalan menuju bandara, mereka lebih banyak diam. Hubungan mereka menjadi canggung karena kejadian itu.

"Kenapa kamu mau mengantarku?" akhirnya William bertanya untuk memecahkan keheningan yang terjadi di mobil.

"Setidaknya aku mengucapkan salam perpisahan pada kamu, kan? kejadian pagi itu membuat hatiku nggak tenang. Aku rasa kita perlu menyelesaikannya tanpa perdebatan. Kamu masih punya waktu, kan?"

William melihat penunjuk waktu yang menghiasi pergelangan tangannya. "Aku akan membeli tiket yang baru. Kita masih bisa bicara."

"Baiklah."

Satu tiket hangus begitu saja tidak akan membuat William bangkrut. Lebih baik dia mengganti jadwal keberangkatan daripada menggantung permasalahannya dengan Beatrice. William tidak mau merusak hubungan di antara mereka hanya karena percintaan yang tidak disengaja.

Mobil Bea menepi di sebuah coffee shop. Mereka duduk berhadapan lalu seorang pelayan datang untuk melayani. Usai memesan dua cappuccino, Beatrice membiarkan kedua tangannya ada di atas meja. Dia melihat William dengan tatapan serius demikian juga laki-laki itu.

"Bagaimana? Apa kamu masih menolakku?" William bertanya karena perempuan di depannya belum juga mau bicara.

"Aku sudah memikirkan semuanya, Will." Jawaban Bea membuat suasana semakin tegang namun William berusaha tenang menghadapinya.

"So?"

"Aku mau menikah denganmu kalau memang aku hamil. Untuk itu jangan memberitahu apapun sebelum kita mendapatkan hasilnya. Tapi kalau aku nggak hamil, aku harap kita sama-sama melupakan kejadian. Anggap saja kita nggak pernah bercinta."

"Kamu yakin?"

"Sangat yakin."

"Aku setuju. Sejujurnya aku pun belum siap menikah. Aku nggak mau menjadikan istriku sebagai pelarian. Kamu sudah tahu kalau sampai sekarang hatiku masih dipenuhi oleh perempuan itu."

William sengaja tidak menyebutkan nama Nasya karena setiap kali lidahnya bergerak untuk mengatakan nama itu, hatinya akan terasa sangat sakit.

"Aku sangat tahu itu sebabnya aku nggak mau menikah denganmu. Tubuhku saja yang aneh karena nggak bisa menolak sentuhanmu. Sungguh sangat memalukan!" Sekali lagi Beatrice menyalahkan reaksi tubuhnya. Bisa-bisanya dia mengerang nikmat saat William menelusuri bagian-bagian sensitifnya.

"Nggak ada perempuan yang bisa menolak pesonaku, Bea. Kamu saja yang buta."

"Menyebalkan!"

"Walaupun menyebalkan tapi kamu menyukai tubuhku, kan?"

"William!" Beatrice ingin berteriak namun dia memikirkan orang-orang yang ada di sana. Dia sangat malu namun laki-laki tak tahu diri itu justru bercanda. William tertawa. Dia senang melihat kekesalan di wajah Beatrice dan setiap kali itu terjadi, dia akan melupakan Nasya.

Mereka sampai di Bandara. Beatrice mengantar William sampai ke pintu masuk. Saat ingin mengucapkan salam perpisahan, tiba-tiba Beatrice merasakan pelukan hangat dari William.

"Terima kasih, Bea. Aku tahu kamu merelakan tubuhmu hanya untuk menenangkan hatiku yang sedang terluka. Aku nggak akan membiarkan bayiku lahir tanpa seorang ayah. Kalau kamu hamil, aku akan langsung menikahimu."

Beatrice tidak membalas pelukan William namun dia tidak menolak juga. Dia membiarkan laki-laki itu membicarakan apapun karena Bea yakin jika benih William tidak akan bertumbuh dalam rahimnya.

"Masuklah! Kamu bisa kehilangan dua tiket kalau kamu masih memelukku seperti ini."

William menjauh dari Beatrice namun masih beberapa langkah dia membalikkan badannya kembali. Tatapan sendu dia berikan pada Bea. Dia sungguh bodoh karena meniduri gadis itu.

"Ada apa lagi? kamu bisa ketinggalan pesawat," ucap Bea.

William kembali memeluk Beatrice dan kali ini sangat erat. "Kamu kenapa, Will? Aku bisa mati karena nggak bisa napas. Lepaskan aku!"

William melepas pelukannya dan mencium kening Beatrice. Entah apa yang dia rasakan saat ini yang pasti William tidak akan membiarkan wanita itu menderita.

"Aku akan segera kembali," ucapnya.

"Jangan kembali! Aku nggak membutuhkan kamu di sini."

William mengacak-acak rambut Beatrice. "Sampai ketemu lagi. Jangan terlalu lelah bekerja agar benihku tumbuh dengan baik di rahimmu. Aku sudah menanyakan hal ini kepada salah satu temanku yang bekerja sebagai dokter. Dia bilang pengidap PCOS masih bisa hamil."

"Pergilah! Aku malas melihatmu di sini."

Setelah William masuk, Beatrice kembali ke mobil. Dia duduk lalu memikirkan perkataan terakhir dari William.

Beatrice memegang perutnya lalu mengusapnya lembut. "Apa mungkin aku bisa hamil? aku saja sudah pesimis dengan hal itu karena kata dokter… tapi, ya sudahlah!"

Beatrice menyalakan mobilnya. Dia tidak akan memikirkan hal itu lagi. Selama ini jadwal menstruasinya saja berantakan. Tidak mungkin dia hamil hanya karena sekali bercinta.

"Lebih baik aku fokus kerja," gumam Beatrice saat mobil sudah meninggalkan area bandara.

***

Minggu lepas minggu, Beatrice melakukan pekerjaannya. Sebagai perancang busana dia pasti menggambar beberapa desain yang bisa dia jadikan menjadi gaun mahal.

"Lembur lagi?" tanya Eliz asisten pribadinya.

"Iya, Liz. Aku harus menyelesaikan semua pesanan sebelum bulan ini berakhir. Pulanglah kalau pekerjaanmu sudah selesai."

"Jangan terlalu memaksakan diri sendiri. Ingat kesehatan. Kalau Anda sakit, saya nggak akan tahan melihat kecemasan Tuan Wynn yang berlebihan."

"Terima kasih atas perhatiannya. Tolong pesan makanan untukku karena aku akan makan malam di kantor."

"Baik, Nona."

Eliz keluar dari ruangan atasannya sambil mendesahkan napas. Dia bisa melihat perbedaan yang signifikan dari Beatrice. Semenjak pernikahan Wynn dan Nasya, atasannya tersebut semakin gila kerja.

"Apa dia ketularan semangat kerja dari abangnya?" gumam Eliz.

Berulang kali Bea menggerak-gerakkan kepala dan meregangkan tangannya yang kelelahan. Dia menguap namun masih menolak untuk tidur. "Kamu pasti bisa, Bea."

Beatrice menyemangati dirinya sendiri tetapi tubuhnya tidak bisa menerima kata-katanya. Beatrice semakin ngantuk dan pada akhirnya kedua tangannya menumpu kepala dan dia tertidur.

Setengah jam tertidur, Beatrice bangun karena pintu ruangannya diketuk oleh seseorang. Bea yakin jika itu adalah satpam yang mengantar makanan.

"Terima kasih, Pak," ucapnya sambil menerima kotak makanan dari pria paruh baya di depannya.

Eliz sengaja membeli nasi goreng kesukaan Beatrice. Beatrice tidak akan pernah bosan menyantap makanan itu sekalipun Eliz akan menyuguhkan itu setiap hari. Namun….

Beatrice merasakan mual saat mencium bau nasi goreng kesukaannya. Aroma makanan itu membuat Beatrice berlari ke toilet dan memuntahkan isi perutnya.

"Kenapa bau nasi gorengnya aneh sekali? apa mereka mengubah resepnya?" Bea berpikir saat membersihkan mulutnya dengan berkumur.

Beatrice keluar dari kamar mandi kemudian menghubungi Eliz. "Kenapa kamu membeli nasi goreng aneh seperti itu? aku nggak mau memakannya lagi. Tolong pesan lele goreng untukku."