Sinar matahari pagi bersinar tak begitu terang. Lucien sedang berbaring di bawah sinar matahari dengan tubuh yang penuh luka dan darah. Setelah menatap langit biru yang jernih dan menghirup udara segar dengan lembut, Lucien lupa akan rasa sakitnya. Pikirannya mulai bergejolak seperti lautan dalam.
Lucien menyadari kalau semua yang dia alami sebelum ini menuntunnya ke keputusan terakhir, yaitu mempelajari ilmu sihir. Meski dia tahu harus lebih hati-hati dan waspada kedepannya, tapi di saat yang sama, dia merasa lebih tenang dari sebelumnya sesudah mengambil keputusan ini.
Bahkan ada senyuman di wajah memar Lucien. Dia merasa dia telah benar-benar tumbuh dewasa dalam beberapa hari terakhir ini, lebih cepat dibanding di dunia asalnya. Rasa marah, tidak berdaya, dan gelisah yang dia rasakan telah menyatu dan mendorongnya untuk mengambil keputusan ini. Dia juga diberkati dengan perpustakaan jiwanya miliknya.
Jadi kenapa tidak? Lucien bertanya dalam hati dan merasa lega dari tekanan yang dia alami cukup lama.
"Evansku yang malang! Oh, Evansku yang malang! Kau tak apa-apa?" Alisa mencoba menggenggam tangan Lucien.
Gerakan kecil dari lengan dan kakinya membuat Lucien meringis kesakitan.
"Aku baik-baik saja, Bibi Alisa. Mereka tak ingin membunuhku, untungnya."
Bibi Alisa memegang lengan Lucien dan membawanya kembali ke rumahnya. Dia terus mengumpat dengan penuh rasa marah, "Para bajingan itu akan digantung dan disiksa di neraka dengan api yang tak ada habisnya!"
Setelah membersihkan luka Lucien, Alisa baru akan bertanya tentang apa yang terjadi hari ini. Tapi sebelum bertanya, Alisa seperti terpikir oleh sesuatu, dan tangannya bertingkah agak canggung.
"Lucien ..."
"Iya, Bibi Alisa?"
"Ini ... ini masalahnya. John kembali hari ini. Bisakah kau merahasiakan ini dan tak memberitahunya? Kau mengenal John ... Kau sahabatnya. Jika dia mendengar tentang ini ... Aku khawatir dia tak akan bisa menahan diri untuk balas dendam. Sebagai pengawal kesatria, dia bisa terkena masalah besar ..."
Karena Lucien mengerti John adalah harapan besar Bibi Alisa dan Paman Joel, Lucien mengangguk.
"Tentu ... tentu saja. Sebenarnya ini bukan masalah besar." Lucien tersenyum paksa.
Alisa menggenggam tangan Lucien dengan air mata berlinang.
"Terima kasih, Nak Evans."
"Kalian berusaha merahasiakan sesuatu dariku?"
Itu adalah suara John. John mengenakan setelan kesatria abu-abu dan sedang berdiri di dekat pintu. Baik Alisa maupun Lucien tidak menyadari kehadirannya.
Alisa buru-buru menjawab, "Tidak ada. Tidak ada apa-apa. Kau kembali lebih awal?"
John masuk dan menarik kursi untuk dirinya sendiri. Dia duduk disamping Lucien.
"Grand Duke1 memanggil Tuan Venn dan aku mengikutinya kembali ke Aalto. Bu, aku pengawal kesatria sekarang. Aku bukan pemuda ceroboh lagi."
Kemudian dia menoleh ke Lucien. "Kau terlihat lebih buruk dari terakhir kali kita dipukuli bersama. Ada apa? Jangan coba-coba bohong. Aku yakin ada banyak tetangga di tempat kejadian dan melihatnya," tambah John.
Lucien memandang Alisa, yang telah bersepakat untuk membuka rahasianya. Kemudian dia menceritakan cerita itu secara rinci kepada John. Selama dia berbicara, dia dapat merasakan ketegangan di udara karena perasaan John. Ketegangan ini sama dengan yang Lucien rasakan dari para pengawal yang bertarung bersamanya di saluran pembuangan.
Tentu saja, John merasa begitu marah, tapi dia berhasil menenangkan dirinya dengan cepat. Dia menepuk tangan Lucien dengan lembut dan tersenyum.
"Kau sangat pandai, orang yang paling pandai di antara kita. Mengais nafkah di tempat sampah ... benar-benar, deh. Baguslah! Aku yakin kau akan mendapat pekerjaan yang bagus jika kau belajar membaca."
Kemudian, sambil mengangkat bahu, John pergi ke luar ruangan dan mengambil tongkat kayu panjang dari dapur.
"Oh, tidak ..." Alisa menghela napas.
"Bu, kau tahu aku harus melakukan ini untuk temanku."
"Tapi John, Tuan Venn tak akan senang dengan ini ..."
"Benar, John ..." Lucien buru-buru menjawab. "Jangan pergi. Ini bukan masalah besar. Lihat aku. Aku baik-baik saja."
John berbalik dan menggelengkan kepalanya.
"Tuan Venn selalu memberitahu kami. Seorang kesatria seharusnya melindungi yang lemah dan bertarung melawan yang kejam. Sebagai seorang pengawal, aku menganggap diriku sendiri sebagai kesatria dan mencoba mengikuti kepercayaan kesatria."
Matanya tajam. Gerakannya tampak bebas.
"Lucien, temanku, diintimidasi, dan tempatnya dihancurkan. Jika aku tetap diam hanya agar Tuan Venn tak marah, perasaan bersalahku tak akan pernah hilang. Iya, mungkin aku tak akan bisa membangkitkan 'berkah' lagi karena aku melanggar peraturan, tapi aku akan setia pada kepercayaanku. Tuan Venn akan berada di pihakku. Aku yakin."
"Aku tahu, John. Aku tahu ... tapi ..." Alisa meneteskan air mata.
John memeluk ibunya dan menghiburnya dengan lembut.
"Tak apa, Bu. Aku tak akan membunuh siapapun. Aku tak akan berlebihan. Lihat, aku membawa tongkat, bukan pisau. Bisakah Ibu percaya padaku?"
Akhirnya Alisa mengangguk dengan terpaksa. "Hati-hati, John."
"Merekalah yang harus hati-hati, Bu" Setelah meraih tongkat itu, John tersenyum dengan penuh percaya diri.
Saat dia hendak pergi, Lucien memanggilnya dari belakang.
"Tunggu, John"
"Ya?" John menoleh ke belakang.
Dengan sisa kekuatannya, Lucien berdiri dari tempat tidur. Dia merasa darahnya mengalir deras, seakan membakar tubuhnya.
"Kita pergi bersama."
Senyum Lucien tampak lucu dengan bibir bengkaknya, tetapi John bisa melihat tekadnya. Dia kemudian tertawa, "Ada tongkat lain di dapur. Ayo pergi, seperti saat kita masih kecil. "
Setelah memegang tongkat, Lucien menghibur Bibi Alisa dengan suara lirih ketika dia melewatinya.
"Aku akan mengawasinya. Jangan khawatir. "
...
Lucien dan John bisa dengan mudah mengetahui kemana Jackson dan anak buahnya pergi dengan bertanya ke sekitar. Ketika mereka sedang dalam perjalanan, John tiba-tiba bertanya pada Lucien.
"Apa kau percaya keadilan, Lucien?" Dia terdengar bingung.
"Iya. Kenapa memang? "
John menundukkan kepalanya tapi dia tak berhenti.
"Aku juga. Tapi Lucien, aku tak semulia dan seberani yang kukatakan. Aku melakukan ini hanya karena kau temanku. Jika itu orang lain, aku tak tahu ... aku tak yakin akan melakukannya. Aku terbiasa memilih dengan siapa aku bertarung dan menghindari melakukan apapun yang berada di luar batas kemampuanku. Aku egois ... Aku hanya ingin melindungi keluarga dan teman-temanku. Aku pengecut, 'kan?"
"Kurasa tidak. Setiap kesatria atau setiap orang pun punya prioritas. Beberapa orang memilih keadilan, beberapa orang memilih kesetiaan, beberapa belas kasihan ... Kau memilih keluarga. Hanya saat seseorang tahu apa yang sebenarnya ingin dia lindungi, dia akan berpegang pada keadilan. Atau keadilan akan sama seperti awan, tidak ada yang substansial. "
Lucien baru menyadari kalau John masih seorang pemuda seperti dirinya, tidak peduli seberapa dewasa dia kelihatannya. Berkat buku tentang semangat kesatria dari perpustakaan dalam kepalanya, dia dapat menyusun kalimat untuk menghibur John. Sekarang dia jauh lebih baik dalam mencari informasi di antara semua buku di perpustakaan itu.
"Kau benar-benar berpikir begitu?" John masih tampak bingung.
"Iya. Jika kau mampu, apa kau akan melindungi yang lemah, berperang melawan yang jahat, dan menegakkan keadilan? "
"Jika aku mampu, tentu saja aku akan melakukannya."
"Jadi, kau masih seorang kesatria keadilan. Jika kau tidak mampu, kau akan berjuang dan mati sia-sia. Kau harus bisa melindungi dirimu terlebih dahulu, baru setelah itu kau bisa melindungi mereka yang membutuhkan bantuanmu." Lucien merasa dia cukup cocok untuk menjadi seorang guru.
John tampak lega dan mulai tersenyum, "Setiap kali aku bertanya kepada Tuan Venn tentang ini, dia memberitahuku kalau pengalamanku terlalu kurang untuk bisa mengerti. Tapi Lucien, kau juga sudah dewasa. Kau pandai menghibur dan mungkin kau benar. Tapi aku masih menginginkan keadilan sejati.
"Suatu kali, Tuan Venn bercerita pada kami sebuah kisah tentang pedang kesatria legendaris. Pedang itu memiliki kekuatan Ilahi di dalamnya, tetapi pedang itu tampak seperti pedang biasa. Gagangnya terbuat dari kayu murni, tanpa permata, mutiara, atau apapun yang istimewa. Para bangsawan dan kesatria tingkat tinggi tak akan melihat pedang itu dua kali." John memandang di kejauhan dan melanjutkan.
"Tapi sebenarnya pedang itu jauh lebih kuat dari yang mereka kira. Apalagi saat digunakan untuk melawan kejahatan. Hal yang paling mengesankan adalah kata-kata yang terukir di pedang itu. 'Keadilan itu putih jika dibandingkan dengan kemuliaan dan kekuatan. Tapi setiap orang bisa mewakili keadilan itu. Kaya atau miskin, cerdas atau buta huruf, pejuang atau petani. Keadilan itu putih, tapi ada di mana-mana'.
"Keadilan Putih, itu nama pedangnya. Pedang itu menghilang bersama dengan Kesatria Arcana Agung di Pegunungan Kegelapan. "
John jadi merasa bersemangat dan rasa sedihnya hilang.
Lucien tertawa, "Maka slogan kita hari ini adalah 'Demi Keadilan'!"
"Demi Keadilan!" John mengayunkan tongkatnya.
Beberapa menit kemudian, mereka melihat Jackson yang sedang berjalan di jalanan pasar yang luas. Banyak pria sedang mengikutinya.