"Wah, silahkan komandan. Pasti istri sudah menunggu ya di dalam." Jawab bapak itu.
"Sepertinya begitu. Pesan saya belum dibaca olehnya." Jawab Erl. Kebohongan demi kebohongan pun lancar mengalir diberikan oleh pria berseragam tersebut. Sebelum kebohongan yang sudah meluas ini terbongkar, Erl segera berjalan cepat meninggalkan petugas keamanan itu untuk menunggu perempuan yang sudah tidak dilihatnya selama satu bulan ke belakang.
"Mas Erl?" Suara keheranan seorang perempuan memaksa Erlangga untuk memalingkan wajahnya ke suara tersebut.
"Kamu … ?"
"Aku Rara. Mas sudah lupa padaku?" Rara tersenyum getir mengetahui bahwa namanya sudah tidak diingat lagi oleh pria yang pernah kopi darat dengannya itu.
"Oh iya, Rara. Apa kabarnya?" Erlangga tidak ingin menanyakan lebih jauh kabar perempuan yang secara tidak langsung mengenalkannya pada si gadis jutek, Gendhis, tersebut.
"Aku baik-baik saja. Mas … kenapa tidak pernah menerima telpon dariku dan juga tidak pernah membalas pesan dariku?" Dengan suaranya yang lembut, Rara masih berusaha untuk mengambil hati pria berseragam yang memang sudah menjadi incarannya sejak pertama kali mengenalnya. Ditambah lagi, postur dan wajah pria ini sudah sangat sempurna di mata Rara.
"Aku sudah pernah mengirim pesan, bukan? Maafkan aku ya." Jawab Erlangga singkat. Ekor matanya berharap melihat Gendhis muncul dihadapannya atau entah sedang berjalan menuju lobi.
"Oh begitu. Apa ada sikapku yang tidak berkenan di hati mas? Aku janji aku akn berubah." Sorot mata Rara yang sendu, meminta kesempatan kedua pada pria yang sudah tidak konsentrasi diajak bicara.
"Maafkan aku." Hanya dua kata namun langsung meruntuhkan pertahanan Rara untuk tidak terisak menangis. "Hei, kamu kenapa? Jangan menangis! Nanti aku disangka pria kurang ajar." Jawab Erlangga kebingungan.
"Kamu kenapa, Rara?" Suara yang ditunggu-tunggu Erlangga akhirnya muncul. Rara masih menundukkan wajahnya, sementara Gendhis menatap tajam mata pria yang justru mengangkat kedua bahunya kebingungan.
"Aku tidak apa-apa, ndis. Aku hanya … kurang beruntung saja." Jawab Rara sambil menghapus bulir air mata yang jatuh di sudut matanya. "Maaf, aku pergi duluan." Rara bergegas pergi meninggalkan pria yang sudah menolaknya dua kali itu.
"Kamu … ikut aku!" Erlangga memegang lembut telapak tangan Gendhis dan menariknya keluar dari lobi menuju mobil yang terparkir lumayan jauh dari gedung kantor. Gendhis berusaha menarik tangannya namun Erlangga justru mempererat pegangan tangannya.
"Sudah bertemu istri, komandan?" Bapak petugas keamanan yang tadi mengajak ngobrol Erlangga, terkekeh melihat kemesraan yang ditampilkan Erlangga dan Gendhis berjalan saling berpegangan tangan.
"Sudah, permisi pak."
"Istri?" Mulut Gendhis menganga lebar namun Erl tidak memberi kesempatan perempuan ini untuk membantahnya. "Lepaskan aku!"
"Sssh, sebentar, ada yang ingin aku bicarakan padamu tapi kita harus segera masuk mobil." Gendhis tidak tahu apa yang dimaksud pria ini namun dia menurut saja kemana tangannya ditarik.
Akhirnya mereka berdua sudah masuk ke dalam mobil jeep Erlangga dan mobil itu pun bergerak menuju sebuah rumah makan dengan konsep lesehan yang jaraknya cukup jauh dari kantor Gendhis namun lebih dekat dari rumahnya.
"Apa yang ingin kamu katakan?" Gendhis bertanya pada pria yang baru saja selesai memesan menu yang ingin mereka santap sore ini. Erlangga mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan apa yang ada diatas layar benda elektronik berbentuk persegi itu. Gendhis mengernyitkan dahinya. Mau tidak mau dia melihat apa yang muncul disana. Sebuah surat telegram. Gendhis membaca isinya dengan fokus selama beberapa detik dan perempuan itu pun memundurkan kembali punggungnya.
"Kapan kamu akan berangkat?" Tanya Gendhis tiba-tiba. Dia sendiri heran kenapa dia bisa penasaran.
"Paling cepat dua bulan lagi." Jawab Erlangga.
"Ohhh,"
Untuk beberapa detik, keduanya terdiam. Tidak tahu harus berkata apa karena memang diantara mereka tidak ada status mengikat, bahkan mereka pun belum dibilang sedang berpacaran.
"Menikahlah denganku!" Pinta Erlangga tiba-tiba.
"APA? Kamu … melamar aku?" Gendhis kaget bukan main. Lamaran macam apa ini? Bahkan mereka belum mengenal dengan baik satu sama lain.
"Aku tidak ingin pergi tanpa mengikatmu. Aku bahkan tidak bisa menunggu satu haripun untuk tidak mengikatmu untuk menjadi istriku." Jawab Erlangga dengan nada tegas. Gendhis menatap mata pria yang tampak serius itu lalu perempuan itu menyeringai geli.
"Kamu mengajak seorang perempuan untuk menikah, seperti meminta dia untuk dijadikan pacarmu. Sangat menakjubkan."
"Aku tidak pernah pacarana, aku juga tidak pernah berhubungan dengan perempuan manapun tanpa status. Kamu adalah perempuan yang pertama kali aku temui dan langsung aku merasa cocok denganmu." Ucap Erlangga.
"Dengar ya! Aku masih capek pulang kerja. Tolong, jangan prank aku! Ini tidak lucu sama sekali. Aku tidak tahu siapa kamu, dan kamu tidak tahu siapa aku. Pernikahan bukan hanya untuk satu dua hari. Pernikahan bagiku adalah ikatan sehidup semati yang hanya bisa diputuskan dengan kematian. Becanda kamu tidak lucu sama sekali!" Gendhis memalingkan wajahnya ke samping.
"Besok, aku akan minta mami dan papiku untuk kerumahmu melamar kamu. Okay?"
"WHAT? Have you lost your mind?"
"No, I'm just fine till now."
Gendhis memejamkan matanya lelah. Lelah dengan fisiknya setelah bekerja, dan kini ditambah lelah dengan hati yang diajak untuk segera berlari cepat mengikuti alur yang sedang ada dihadapannya.
"Bagaimana kalau aku menolak?" Gendhis menaikkan kedua alisnya sambil menggertak.
"Aku punya cara jitu agar tidak bisa ditolak." Jawab Erl dengan senyuman misteriusnya. Gendhis mengernyitkan alisnya.
"Dasar orang gila!" Gumamnya dalam hati.
"Pulang dari sini, mampir dulu kerumahku ya. Aku akan bicara ke mami dan papi untuk melamarmu besok." Jawab Erlangga dengan nada mantap.
"TIDAK! Aku tidak mau menikah dengan pria yang disukai temanku." Jawab Gendhis dengan berani.
"Sayang, kalau priamu ini disukai semua wanita di seluruh dunia, apakah aku tidak boleh menikah sampai kapanpun?"
"Ih kepedean amat sih! Intinya, aku tidak mau menjadi istri dari seorang pria yang ada seorang dokter cantik berdiri disampingnya dan temanku yang putus asa berdiri di sisi sebelahnya. Kamu paham kan maksud aku?"
"Hmm … tidak!" Jawab Erlangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Berikan aku kesempatan untuk membuktikan kalau aku suami yang baik dan juga ayah yang tepat untuk anak-anak kita." Jawab Erlangga dengan penuh kepercayaan diri yang sangat tinggi.
"Suami? Ayah? Aduh, kulitku merinding mendengarnya. Bisakah kamu berhenti membual?"
"Aku tidak membual. Aku ingin memperistri kamu secepatnya. Aku pria baik-baik dan keluargaku juga dari keluarga baik-baik."
"Memangnya aku bukan perempuan baik-baik dan keluargaku tidak baik?" Jawab Gendhis yang sedikit tersulut emosinya.
"Bukan begitu maksudku. Maksudku, kamu bisa mengecek sendiri seperti apa sikapku pada keluargaku. Atau, kamu ingin aku ajak ke kantorku?" Tanya Erlangga tiba-tiba.