Mendengar kata setahun, maka Kelana mulai bimbang. Tak mungkin ia tinggalkan gadis itu di dalam kerak bumi sendirian. Sedangkan tempat itu banyak menyimpan sebuah misteri yang amat berbahaya. Lela mengerti kegelisahan hati pemuda itu. Maka ia segera menyerahkan sebuah batu runcing yang berada di sekitar situ.
"Apa ini?" tanya Kelana sambil menggaruk kepalanya saat menerima batu tersebut.
"Gambarlah sebuah lingkaran di tempatku akan bersemedi. Maka lingkaran itu akan melindungiku selama setahun ke depan."
Lela berjalan tiga langkah di hadapan pemuda itu. Ia lalu duduk bersila di lantai. Menanti Kelana membuat lingkaran.
"Apakah ini berguna? Kenapa harus aku yang membuatnya?"
"Karena kau kekasihku. Setelah esok kau bukan kekasihku lagi. Jadi agar janji itu tidak pudar dan aku tetap dilindungi olehmu. Maka buatlah lingkaran agar aku tetap bisa menjalani semedi tanpa kamu."
"Baiklah," desah Kelana. Ia lalu membuat goresan sebuah lingkaran. "Aduh!" Batu terjatuh, kini ia fokus pada tangan kanan yang berdarah akibat batu yang runcing terlalu ia pegang erat.
Lela terdiam saat melihat darah yang kini menjadi noda di garis yang dibuat oleh Kelana. Namun, diamnya Lela memiliki arti tersendiri yang sulit untuk diartikan.
"Sorry," ucap Kelana. Pemuda ini kembali membuat lingkaran. Setelah usai ia membuang batu itu. Dar! Secara mengejutkan batu meledak sebelum sampai ke dasar lantai. "Ada apa tadi?" Kelana terkejut. Ia mendekati serpihan batu yang meledak tadi. Lalu hendak bertanya kepada Lela. Namun, kekagetannya kembali terjadi. Pakaian Lela berubah menjadi merah polos. Rambut gadis itu tergulung tinggi menyisakan anak rambut yang menghias manis di kedua pipinya. Perlahan Kelana menghampiri wajah cantik nan bidadari itu. "Lela," panggilnya. Namun, Lela tak bergeming. Mata gadis itu terpejam dan posisinya kini duduk sembari meletakkan kedua tangannya di atas pangkuannya.
Perlahan Kelana meraba pipi gadis itu. Noda darah di tangannya mengotori pipi kanan Lela. Kelana kelabakan, ia segera mengeringkan tangannya di kemeja yang sedang ia kenakan. Saat akan membersihkan pipi Lela, ternyata darah itu lambat laun telah memudar dan hilang sama sekali. Kelana terheran. Ia lalu menatapi wajah ayu Lela dengan saksama.
"Hah?" Tiba-tiba di lingkaran yang ia buat, kini hadir sebuah api yang segera melingkar mengurung Lela. "Lela!" Kelana panik. Ia segera berlari ke tempat lain untuk mencari air. Namun, tidak menemukan air hingga ia lelah. Kelana kembali dengan peluh membasahi pakaian. Ia menyadari bahwa keringatnya dapat membantu memadamkan api. Maka ia segera melepaskan kemejanya lalu memerasnya di kobaran api yang hanya setinggi pinggang. Karena keringat itu pula api makin membara. "Bagaimana ini?" Ia panik. Ingin menerobos, tapi langkahnya menjadi lumpuh. Akhirnya bersimpuh di depan lingkaran api yang telah menutupi seluruh celah. Kelana tak sanggup lagi menahan siksa panas dan ketidakberdayaannya. Akhirnya ia tidak sadarkan diri.
***
Setahun berlalu setelah kejadian itu. Seorang pemuda tampan berpakaian polisi sedang duduk di tepian sambil menikmati segelas air kelapa muda. Ia memandangi sekitar. Lalu tersenyum saat seorang gadis manis bertubuh tinggi 165 cm sedang duduk di sampingnya.
"Sendirian saja, Pak?" basa-basi gadis itu. Maira namanya. Orangnya terlihat mudah bercanda.
"Ya," jawab Kelana. Masih sama seperti dulu. Ia ramah dan mudah tersenyum. Dasar dari prilakunya selalu menarik perhatian lawan jenis. Sungguh menggoda. Ditambah ketampanannya yang mendukung semua itu.
"Pak, boleh saya jujur?" Maira melirik Kelana. Terlihat sekali gadis ini sedang memaksakan keberaniannya untuk berbicara.
"Silakan, Bu."
"Bolehkah saya mencintaimu?"
"Uhuk! Apa?" Kelana terkejut. Ia segera mengusap air kelapa yang tadi menyembur dan malah mengenai seragamnya.
"Saya, suka pada Anda," lirih Maira. Ia meremas jemarinya. Untuk mengusir rasa malu.
Kelana berdecak kesal. Ia lalu mengerutkan alis karena melihat seseorang yang ia kenali. Namun, baru ini dapat bertemu lagi. "Cantik!"
Maira tertawa malu sambil menunduk. Dipuji cantik pasti sangat membahagiakan baginya, tetapi ia terkejut saat pemuda itu segera membayar minumannya lalu berlari kecil untuk mendatangi seorang gadis. "Ke-kenapa dia di sana?" Rasanya terkhianati oleh nyali sendiri. Andai tak dinyatakan, ia tak akan semalu ini. Perlahan air mata Maira tumpah melihat betapa senangnya pemuda itu menemukan Laila.
Leila baru turun dari mobil bersama sorang pemuda manis. Kehadiran Kelana membuatnya senang. "Apa kabarmu?"
"Aku baik-baik saja," jawab Kelana. Sebenarnya ia hendak bertanya tentang Lela selama di dasar Bumi. Namun, pemuda berkemeja putih yang sedang berada di samping kiri Lela terlihat tidak senang.
"Oh, kenalkan. Ini calon suamiku." Lela memerkenalkan pemuda itu kepada Kelana.
"Kelana," kata Kelana. Menyambut uluran tangan pemuda itu.
"Rizal," balasnya. Ia lalu beralih kepada Lela. "Kita harus lekas. Pesawatku akan segera berangkat sore ini. Jadi hari ini saja kita menikah."
Lela tersenyum manis. "Terserah kamu saja."
Kelana mematung tak ada artinya di hadapan mereka. Ia hanya mengingat kutukan itu. Sepertinya Lela serius akan mencoba hingga mendapatkan tambatan hati yang sesungguhnya.
"Ayo!" ajak Rizal tanpa peduli dengan Kelana.
Lela pun melakukan hal yang sama kepada Kelana. Mereka pergi tanpa pamit, meninggalkan Kelana yang menatap semu mereka yang telah menjauh.
"Lela!" teriak Kelana. Namun, Lela tak berubah. Masih tetap acuh. "Memang begini, ya, jika berteman. Akan selalu dilupakan jika telah menjadi mantan," lirihnya sambil kembali ke duduknya tadi.
Maira tak adalagi di sana. Pergi dengan hatinya yang patah hati atas sikap Kelana kepadanya.
***
Laila memakai pakaian putih bersih. Itulah gaun pengantin. Setelah mereka menikah gadis ini langsung menginap di hotel.
"Kita menikah tanpa keluarga. Hanya disaksikan oleh hakim dan stafnya. Apakah kamu tidak ingin menggelar pesta resepsi. Agar orang-orang tahu bahwa kita telah menikah, sayang?"
Lela tersenyum sambil menatap dirinya di cermin. Kedua tangan kekar Rizal kini menyentuh kedua pundaknya dari belakang. Lela terpejam meresapi keindahan sentuhan Rizal. Walau hanya sebatas rabaan halus pada punggung dan lehernya.
"Rizal," desah Lela.
Rizal akan mengecup pundak Lela. Namun, ponselnya berdering. Ia merasa terusik, lalu berniat untuk mengakhiri panggilan itu. "Eh, ini dari rekan bisnis yang amat penting. Aku terima dulu, ya, sayang?"
Lela tak menjawab, hanya sebuah anggukan saja. Saat Rizal berbicara sambil melonggarkan kerah baju. Lalu keluar dari kamar. Lela melihat darah mengalir mengotori cermin. Semakin banyak, semakin membanjiri sehingga kini wajah Lela terlihat menyeramkan di sana.
"Lela, aku datang untuk mengambil dia!" desis Lela di dalam cermin.
Lela hanya diam, tidak bergeming. Ia tahu jika bukan jodohnya, maka dia harus tiada.
Tak sadar ia malah masuk ke lift dan menekan angka dasar. "Iya, Bro. Aku baru saja menikah. Tunggu! Aku akan memesan makanan untuk istriku dulu baru kita bicara lagi." Saat akan memesan makanan. Tiba-tiba lift tersentak. Lampu berkedap-kedip. "Ada apa ini? Kenapa aku bisa berada di lift ini?"
Rizal berusaha untuk membuka Lift bahakan mendobraknya. Di sana gelap, yang ada hanya suara aliran listrik yang menyengat.