"Itu Fitiransyah kan?" tanya sang teman editor yang tampak ramah itu untuk memastikannya sekali lagi.
"Iya, benar, bagaimana kau tahu?" tanya sang editor yang tampak ramah itu balik.
"Tentu saja aku mengetahuinya karena Fitriansyah adalah teman kuliahku dulu. Eh, tidak, lebih tepatnya, dia adalah pacarnya temanku, Aini." Jelas sang teman dengan sejujur-jujurnya.
"Eh, berarti, kalian seumuran, dong? Kalau begitu aku juga ...."
"Iya, benar! Kami memang seumuran. Dia dan pacarnya juga masuk kuliah setelah lulus SMA tapi, dulu Fitriansyah tidak masuk jurusan sastra pertama kalinya, gatau sih jurusan apa terus semenjak pacarnya mengalami kecelakaan, akhirnya dia beralih ke fakultas bahasa ... tak kusangka dia sekarang jadi editor dan menjadi temanmu, Di." kata temannya yang memulai pembicaraan dengan menjelaskan masa lalu Fitria di dalam mobil.
"Kecelakaan?"
"Ya, konon kabarnya pacarnya Fitria koma sampai sekarang dan aku tidak tahu apakah hubungan mereka masih berlanjut? Yang jelas yang aku tahu kalau Fitria menebus kesalahannya dengan menjadikan dirinya sebagai bagian dari kantor penerbitan." Sang teman editor yang tampak ramah itu merasa, 'Perasaan bukan di situ tempat Fitria bekerja.'
*Fitria juga pernah berpapasan dengan temannya di jalan dan sempat pernah bilang kalau dia saat itu bekerja di kantor penerbitan tapi, itu saat Fitria masih bekerja di kantor penerbitan yang lama.
'Rupanya di sini ya, kantor tempat Fitria bekerja, tidak menyangka aku ....'
Sementara sang editor yang tampak ramah itu berkata di dalam hatinya, 'Hmm ..., pacar Fitria kecelakaan dan Fitria menebus kesalahannya. Apakah yang menyebabkan pacarnya kecelakaan itu karena ulah Fitria? ... Kalau benar begitu, pantas saja dia bekerja keras sampai memaksakan diri saat bekerja di kantor! Pasti ada alasan kan di balik semua itu?
****
Tak berselang lama akhirnya mereka sampai ke tempat tinggal sang editor ramah itu. Dia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang hanya berlapiskan satu dinding yang membatasi dengan kontrakan tetangganya.
"Pelan-pelan, ya ...." Keduanya membopong Fitria. Tapi, sebelum itu, sang editor ramah ini membuka kunci rumahnya terlebih dahulu.
Para tetangga yang sedikit julid (biasanya emak-emak, sih) terlihat agak kaget begitu melihat sebuah mobil mewah yang berhenti di depan kontrakan Fitria. Mereka mengira itu mobilnya Fitria, kerja apa kok sampai punya mobil begitu? Rupanya itu mobil milik temannya.
....
Begitu masuk, mereka segera membaringkan Fitria di kamar.
Sang teman pun segera pamit setelah menolongnya.
"Terima kasih ya," ucap seorang editor yang ramah itu.
"Ya, sama-sama, semoga Fitria cepat sembuh." kata temannya yang hendak pergi sambil tersenyum tipis. Dia juga berpesan pada editor ramah itu kalau nanti butuh apa-apa bisa kok hubungi dia lagi.
Tubuhnya lemah, dan suhu badannya panas, kulitnya pucat tak seperti Fitria yang biasanya. Kemungkinan besar dia sakit karena terlalu memaksakan diri.
Sang editor yang terbilang ramah yang tinggal sendirian di apartemen ini segera mengambil handuk kecil dan sebaskom air, lalu mengkompresnya.
'Dia demam,' untuk sementara waktu mungkin lebih baik menginap di sini.
Perlahan hari pun mulai gelap, dan kini waktunya memasak untuk makan malam, pikir penghuni apartemen ini. Dia berusaha membuatkan bubur untuk Fitria, setidaknya lelaki itu masih tidur dengan tenang.
Tak berselang lama, saat memasak ....
Terdengar bunyi ponsel yang cukup nyaring dan itu membangunkan Fitria. Tentu saja itu adalah nada dering ponsel milik Fitria sendiri yang berada di saku kantongnya.
"...."
Membuatnya terbangun!
Matanya terlihat sayup saat terbangun, dia melihat langit-langit yang cukup asing yang menandakan itu bukan tempat tinggalnya.
Dia terdiam sejenak, kepalanya cukup berat lalu dia menatap nanar ke arah di mana ponsel tersebut berdering.
Pertanyaan pertama yang terlintas di benaknya adalah, "Di mana aku?"
Lalu, ada lengan seseorang berkulit putih menyodorkan benda pipih yang berdering keras tadi ke arah Fitria saat tengah sibuk mengubah posisi berbaringnya ke posisi duduk.
"...."
Hanya dalam sekali pandang saja meski sedikit buram, dia paham kalau orang yang mengulurkan tangan barusan adalah orang yang telah menolongnya, "Kau ...." Fitria hendak menyapanya.
Penghuni apartemen ini hanya tersenyum dengan lembut di depannya, "Angkatlah!"
"A-ah, ya." Jawab Fitria dengan ragu, akhirnya dia berusaha mengangkat panggilan tersebut yang ternyata dari ayah ibunya. Hari ini adalah hari pertama kalinya Fitria lembur di perusahaan baru tempatnya bekerja tapi, itu gagal dia lakukan. Tapi, tetap saja jauh sebelum itu dia yang merupakan anak penurut pada kedua orang tuanya memberitahu kalau hari ini lembur, orang tuanya begitu perhatian pada Fitria sehingga saat hari menjadi gelap pun mereka menanyakan kabarnya.
"Hmm, ya, tidak apa-apa. Dah, saya tutup dulu teleponnya."
"Hah~" setelah bertelepon, Fitria menghela napas cukup panjang dan hanya menatap kosong ponselnya.
Kemudian, seorang editor yang tampak ramah yang merupakan penghuni apartemen itu membawa beberapa hidangan yang masih hangat. Asapnya terpancar dari hidangan tersebut, lalu meletakkannya di meja kecil dekat tempat tidurnya.
"Apa yang terjadi padaku tadi?" tanya Fitria dengan linglung.
"Kau tibat-tiba pingsan, dan aku membawamu ke apartemenku dengan bantuan temanku. Kau terlalu memaksakan diri dalam bekerja." Jelasnya.
Lalu, seorang editor ramah itu membuka lemari dan mencarikan baju yang sekiranya cocok untuk Fitria, "Menginaplah di sini sampai keadaanmu pulih. Aku bisa merawatmu!"
"Apartemenmu?"
"Ya, aku menyewanya semenjak menjadi editor di sini." Jelasnya sambil sibuk mencari baju santai. Kalau dilihat-lihat lagi, apartemennya cukup bersih dan bagus, terdapat balkon layaknya seperti apartemen kelas elit pada umumnya.
Fitria sungguh tidak enak hati diminta untuk menginap, apa sebaiknya dia pulang saja malam ini? Tapi, itu akan membuat keluarganya khawatir.
"...." Karena dia tidak ingin keluarganya khawatir dan merasa tidak ada pilihan lain, akhirnya dia memutuskan untuk menginap.
'Dia tak hanya ramah, namun juga baik hati.'
"Baiklah, aku akan menginap." Saat mendengar jawaban Fitria yang diucapkan dengan nada yang begitu pelan, sang editor ramah tersebut tersenyum lembut lalu meminta Fitria untuk memakan beberapa hidangan yang telah disuguhkan untuknya.
Tapi, sebelum itu, "Gantilah pakaianmu! Aku meminjamkan ini untukmu. Apakah kau akan beristirahat dengan pakaian seperti itu?"
"Maaf, jadi merepotkanmu."
"Tidak masalah." Jawab sang editor yang cukup ramah itu sambil mempertahankan senyum lembutnya. "Oh, ya, kalau kau butuh obat, aku bisa ambilkan, aku punya cukup persediaan."
"Sejak kapan kau menyadari kalau aku ...?"
"Sejak awal kau masuk kantor, kau terlalu memaksakan diri."
"...." Fitria terdiam sejenak, rupanya tak hanya ramah ternyata editor yang selama ini di dekatnya adalah orang yang baik hati.
Lalu, dia menepuk kedua pundak Fitria, "Meskipun ada hal yang kau kejar, jangan memaksakan diri. Pikirkanlah kondisimu dan sayangi tubuhmu." Saat mengatakan itu, dia menatap Fitria dengan ekspresi khawatir.