webnovel

Takdir Baru

Di sisi lain, Pangeran Qian dan Panglima Wan telah tiba di gerbang ibukota kerajaan Shujing. Dua pemuda itu masing-masing duduk diam di atas kudanya menatap para prajurit Shujing yang telah bersiaga dengan anak panah mereka. Dengan wajah malas, Panglima Wan membuka gulungan kain di depannya dan menjatuhkan tubuh seseorang dari kudanya. Saat mereka melihat sosok siapa yang tergeletak di tanah, barulah sang komandan gerbang bangkit berdiri.

"Komandan Li, itu Pangeran Chang Bin!" lapor salah seorang prajurit Shu Jing.

Pangeran Qian hanya menatap sang komandan dengan tenang. Dia mengangkat satu alisnya perlahan. Sang komandan tahu, bahwa Sang Pangeran Duan itu bermaksud menawarkannya sebuah negosiasi, tapi semua orang tahu Duan menginginkan wilayah Shujing jadi meskipun bernama negosiasi pada akhirnya Shujing harus tetap tunduk pada Duan. Hal itulah yang tidak diinginkan oleh mereka, penduduk Shujing.

"Laporkan pada Kaisar, Pangeran Chang Bin berada di tangan mereka," perintah Komandan Li mengabaikan Pangeran Qian.

Pangeran Qian menggeleng pelan sambil mengulaskan senyum. Dia melirik ke arah Wan Yan dan keduanya mengangguk.

Panglima Wan turun dari kudanya dan membuka kain yang menutupi kepala Pangeran Chang Bin. Wan Yan mendudukkan pria itu dan menyiram kepalanya dengan air. Seketika pemuda itu terbatuk saat air masuk ke dalam lubang hidungnya. Hal itu disaksikan oleh Komandan Li dari atas gerbang kota.

"Dia masih hidup,"ujar Pangeran Qian sambil melirik pemuda itu.

Dilihat dari wajahnya harusnya dia tidak jauh lebih tua dari dirinya, namun pemuda itu jauh lebih lemah dari dugaannya. Dia bahkan tidka bisa menahan tiga pukulan yang dia berikan semalam dan jatuh terkapar setelah dia menendangnya beberapa kali. Sudut bibir Pangeran Qian sedikit terangkat melihat bekas darah yang mengering di tubuh pemuda itu. Dia kembali mengalihkan wajahnya dan menatap lurus sang Komandan yang berdiri di atas gerbang ibukota Shujing.

"Tapi aku tidak tahu apakah nyawanya masih menjadi miliknya beberapa saat lagi," ucap Pangeran Qian tenang.

Pangeran Chang Bin terlihat panik mendengar ucapan Pangeran Qian. Pemuda itu berusaha melepaskan tali yang mengikatnya dan melarikan diri, namun Panglima Wan segera mencengkeram bahu pemuda itu dan menodongkan sebuah belati di balik leher pemuda itu.

"Komandan Li! Selamatkan aku!" teriak Pangeran Chang Bin panik. "Komandan Li! Tolong aku!"

Kepanikan dan ketakutan jelas terdengar dari suara pemuda itu, Bahkan dengan tubuh terluka parah ternyata dia masih memiliki cukup tenaga untuk berteriak lantang.

"Diam!" perintah Panglima Wan telak. "Komandan Li, aku rasa anak panah kalian tidak diperlukan saat ini."

Komandan Li mengerti maksud dari Panglima Wan dan memerintahkan pasukannya menurunkan senjata mereka. Kini gencatan senjata terjadi di depan gerbang ibukota Shujing. Dia tidak akan menyerah pada Pangeran Duan, tapi saat ini dia harus memikirkan nyawa putra Kaisar Shujing, Pangeran Chang Bin.

Setelah menunggu selama beberapa waktu, suara terdengar langkah kaki tergesa dari arah gerbang kota. Pangeran Qian melirik dan melihat Kaisar Shujing telah berada di sana, ayah dari Pangeran Chang Bin, Kaisar Chang Sui.

Pangeran Qian menunduk sekilas pada pria itu sebagai bentuk hormatnya pada penatua. Begitu juga Kaisar Chang yang menerima salam Pangeran Qian.

"Ayah, selamatkan aku!" teriak Pangeran Chang Bin melihat ayahnya berada disana.

Kaisar Chang melihat putranya dan tanpa tak terkejut. Dia hanya menggeleng pelan melihat keadaan putranya. Sang Kaisar terlihat membisikkan sesuatu pada Komandan Li yang segera mendapat tatapan tidak setuju dari pria itu. Tapi setelah beberapa saat akhirnya Komandan Li mengangguk dan meninggalkan gerbang kota. Dia juga terlihat menarik beberapa pasukan bersamanya.

"Tawaran apa yang diberikan oleh Kaisar Duan?" tanya Kaisar Chang.

"Perjanjian perdagangan dan perlindungan atas seluruh wilayah Shujing," jawab Pangeran Qian lantang.

"Tapi kami bisa melindungi diri kami sendiri, mengapa kami harus meminta perlindungan dari kalian?"

"Karena satu-satunya pewaris Shujing berada di tangan Duan."

Kaisar Chang tersentak saat melihat Panglima Wan menekan belatinya dan melukai leher Pangeran Chang Bin. Pria itu berlari ke pembatas gerbang dan berteriak, "tunggu!"

Pangeran Qian mengangkat tangannya sehingga Panglima Wan menarik belatinya.

Mereka berdua melihat Kaisar Chang terlihat berpikir selama beberapa saat. Wajah pria tua itu jelas terlihat enggan, namun nyawa putra satu-satunya yang dia miliki tidak bisa diabaikan.

"Lepaskan dulu putraku," ucap Kaisar Chang.

"Tidak."

Kaisar Chang terlihat geram tapi dia berusaha menahannya. Dia lantas memerintahkan salah satu prajurit untuk turun dan membuka gerbang kota. Suara deritan panjang dan keras terdengar saat gerbang besar itu terbuka. Dari kejauhan, Pangeran Qian bisa melihat kota yang telah lengang dan barisan panjang prajurit ibukota yang telah siap untuk menyerang.

"Lepaskan putraku atau kalian akan menghadapi lima ribu pasukan Shujing." Tegas Kaisar Chang.

Pangeran Qian tersenyum. Sepertinya pria tua itu telah selesai mengamankan rakyat dan harta berharganya sehingga dia berani melawan. Pangeran Qian menoleh pada Chang Bin yang terlihat ketakutan. Ekspresi pemuda itu sangat berbeda dengan ekspresi angkuh yang dia tunjukkan semalam.

"Lagi pula, dari awal aku memang tidak berencana untuk melepaskanmu," ucap Pangeran Qian pada Pangeran Chang Bin. "Jadi, jangan salahkan aku atau ayahmu."

Pangeran Qian turun dari kudanya dan mendekati Chang Bin. Pemuda itu menarik pedangnya secara perlahan membuat Chang Bin bergidik ngeri. Pemuda itu berusaha mundur menjauh dari Pangeran Qian, tapi Panglima Wan segera menghentikannya.

"Tidak, lepaskan aku! Aku mohon!" rintih Chang Bin melihat pedang panjang Pangeran Qian.

Namun Pangeran Qian mengabaikan ucapan Chang Bin. Dia tetap mengangkat pedangnya sambil melirik sekilas kearah gerbang.

"Ayah!" teriak Chang Bin sekali lagi.

Tapi Kaisar Chang tak berbuat apa-apa. Pria tua itu hanya diam melihat nyawa putranya berada di tangan musuh. Chang Bin semakin panik dan ketakutan. Dia hanya bisa melihat pedang Pangeran Qian yang terus mendekat. Pedang itu terlihat bersinar diterpa cahaya pagi namun terasa ngeri saat pedang itu mulai berayun. Chang Bin memejamkan matanya dan rasa sakit segera terasa di dadanya.

"Putraku!"

Teriakan Kaisar Chang terdengar lantang saat melihat tubuh putranya perlahan luruh setelah pedang Pangeran Qian menembus dadanya. Pangeran Chang Bin hanya bisa melirik ayahnya dengan darah yang terus mengalir deras dari dadanya. Satu tangan pemuda itu terangkat hendak meraih tangan ayahnya, namun tak berapa lama tangan itu pun terjatuh di ikuti mata pemuda itu yang terpejam.

"Jika kau tidak menculiknya, mungkin Pangeran Qian masih bisa mengampuni nyawamu," gumam Panglima Wan setelah Pangeran Chang Bin menghembuskan nafasnya.

***

Di sebuah kuil sederhana di pinggiran kota Yangshuo seorang gadis tengah duduk bersimpuh di depan patung sang budha. Dengan ditemani seorang wanita paruh baya dan dua orang pelayan, gadis itu melakukan ritual sembahyang di sana dengan khidmat.

"Nyonya, apakah Anda akan membiarkan tindakan Nona Pertama? Tidakkah menurut Anda kita perlu menunggu Tuan Besar kembali?"

Wanita yang ditanya itu hanya menunduk diam. Dia adalah Nyonya kediaman Liu, istri Jendral Su dari perbatasan Yangshuo. Wanita itu hanya bisa meremas luaran hanfu birunya dan menariknya merapat menutupi tubuhnya sambil kedua tangannya ia tautkan. Entah apa yang dilakukan oleh putrinya kali ini, dia tidak memiliki pilihan selain mengikutinya.

"Nyonya!" bisikan pelayan pribadinya kembali terdengar namun wanita itu mengabaikannya.

Setelah melihat putrinya selesai melakukan sembahyang, wanita itu bergerak membantu putrinya bangkit. Sebuah senyum lembut terlihat di wajah putrinya. Wanita itu mengusap pelan kepala gadis itu dengan sebuah senyum yang sedikit dipaksakan.

"Apa kau sudah yakin, putriku?" tanya wanita itu.

Lalu sesuai dugaannya, putrinya itu hanya akan mengangguk tanpa berpikir dua kali. Dia hanya menanyakan sesuatu yang sudah pasti ia tahu jawabannya.

"Baiklah," lirih wanita itu lalu membimbing putrinya menuju pendeta untuk meminta berkat.

"Hari ini, hari ke 29 musim gugur tahun 216 Dinasti Hu. Aku, Liu Yan Ran, meminta dewa memberkati ku dengan nama baru untuk keselamatanku."

Gadis itu, putri tunggal Jendral Su, Liu Yan Ran. Memberi salam dan hormat kepada sang pendeta. Setelah berpikir seharian penuh, dia telah membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk melepaskan segalanya. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan, luka, duka, juga masa lalunya. Yan Ran telah memutuskan untuk memulai hidup barunya.

"Nona, Anda adalah seorang yang lembut dan sopan. Keindahan ada dalam diri anda, keteguhan mengalir dalam darah anda, dan keberanian berada di nadi anda. Sama seperti bunga teratai. Tanaman suci tempat sang dewi. Dimanapun dia berada dia akan tetap memancarkan keindahannya meskipun berada di tempat yang tak terduga seperti kolam berlumpur. Semoga dewa memberkati Anda dengan nama baru Anda, Lian Hua."

"Lian Hua?" gadis itu mengulang nama barunya.

"Benar, Lian Hua," ulang sang pendeta.

Gadis itu, Liu Yan Ran tersenyum mendengar nama barunya. Dia menoleh pada sang ibu yang tersenyum haru melihat sang putri. Wanita paruh baya yang hanya bisa menemaninya tanpa sanggup menolak keputusanya. Gadis itu tersenyum menyukai nama barunya. Semoga dengan nama ini, dia memiliki kekuatan dan keteguhan seperti artinya, Lian Hua.

Benar saja, belum lama setelah ia melangkah keluar dari kuil salah seorang pelayan kediamannya berlari ke arah mereka, "Furen! Jendral memenangkan perang!"

***